Loading...
BUDAYA
Penulis: Ignatius Dwiana 16:46 WIB | Senin, 02 Desember 2013

Randai, Kesenian Tradisional Minangkabau

Randai, Kesenian Tradisional Minangkabau
Pertunjukan Randai. (Foto: Ignatius Dwiana)
Randai, Kesenian Tradisional Minangkabau

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Randai adalah kesenian tradisional daerah Minangkabau, Sumatra Barat, yang dimainkan secara berkelompok dengan membentuk lingkaran, kemudian melangkahkan kaki secara perlahan, sambil menyampaikan cerita dalam bentuk nyanyian secara berganti-gantian. Randai menggabungkan seni lagu, musik, tari, drama, dan silat menjadi satu. Semua gerakan randai dituntun oleh aba-aba salah seorang di antaranya yang disebut dengan janang.

Pada awalnya randai adalah media untuk menyampaikan kaba, cerita rakyat, melalui gurindam atau syair yang didendangkan dan galombang atau tari yang bersumber dari gerakan-gerakan silat Minangkabau. Karenanya, cerita yang dibawakan biasanya diambil dari legenda seperti Cindua Mato, Malin Deman, atau Anggun Nan Tongga. Tetapi dalam perkembangannya mengadopsi gaya penokohan dan dialog dalam sandiwara-sandiwara, seperti kelompok Dardanela. Cerita yang dibawakan pun ikut berkembang dengan mengangkat kisah-kisah keseharian seputar kenyataan-kenyataan hidup yang ada di tengah masyarakat.

Dalam pertunjukan di pergelaran ‘Cipta Budaya’ di Plaza Planetarium Taman Ismail Marzuki Jakarta pada Kamis (28/11), Randai yang disutradarai Bambang Mara Sampono ini membawakan lakon berjudul ‘Malakok’.

Lakon ini menceritakan tentang seorang bernama Sarifudin yang akrab dipanggil Udin. Udin hidup bersama mamaknya dengan kondisi pas-pasan di sebuah perkampungan di ranah Minang. Masa kecil dan remajanya dilewatkan di surau. Di tempat itu, Udin belajar mengaji, silat, dan randai. Sampai pada suatu ketika sebuah peristiwa membuat hati dan perasaannya terusik hingga dia memutuskan merantau.

Di rantau, Udin ditampung sahabat semasa kecil yang bernama Buyuang Tunduik. Buyuang merupakan pedagang kaki lima di Pasar Tanah Abang Jakarta. Udin yang mau diam menganggur mendorongnya berdagang kaki lima. Suatu hari ketika sedang berjualan, seorang perempuan China mengunjungi lapaknya dan menawar dagangannya. Sewaktu sedang tawar-menawar, tiba-tiba perempuan itu dicopet tasnya, dan tidak seorang pun menolong. Udin mengejar pencopet itu dan berkelahi dengan mereka. Udin mengalahkan pencopet itu dan tas yang dicopet itu dikembalikan ke perempuan China itu. Mereka lalu berkenalan, perempuan China itu bernama Lingling.

Berangkat dari situ Udin lalu menjalin hubungan dengan Lingling. Namun perjalanan cinta mereka tidak mulus. Latar belakang budaya yang berbeda menimbulkan penolakan dari keluarga Lingling. Lingling dibuang dari keluarga. Tetapi hubungan keduanya terus berlanjut dan mereka menikah.

Suatu ketika keluarga Udin pun mengetahui bahwa menantu mereka bukan orang Minang. Hal ini memunculkan perdebatan dan penentangan dari keluarga besar Udin. Karena itu istri Udin harus dijadikan orang Minang, dengan mengadakan suatu upacara atau prosesi yang disebut Malakok. Malakok secara harafiah berarti melekat. Tradisi ini yang mengilhami pertunjukan ini.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home