Loading...
EKONOMI
Penulis: Melki Pangaribuan 07:18 WIB | Rabu, 24 Agustus 2016

Sri Mulyani: Kenaikan Cukai Rokok Tak Lebih dari 57 Persen

Ilustrasi. Karyawan menyelesaikan lintingan rokok di pabrik rokok Desa Munjung Agung, Tegal, Jawa Tengah. (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, mengatakan kenaikan cukai tembakau tidak akan melebihi 57 persen merujuk pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.

“Kalau Undang-Undangnya ada maksimun cukainya, tapi itu relatif terhadap berapa harga jualnya. Kalau harga jualnya tidak dinaikan, ya berarti cukainya kan kenaikan persentasenya sudah ada batas maksimalnya,” kata Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, hari Selasa (23/8).

“Makanya kalau kita mau naikkan sesuai dengan nominalnya yang dibayangkan, naik seperti berapa pun yang disebutkan, itu berarti harga jualnya juga harus naik tinggi supaya cukainya tidak lebih dari 57 persen,” dia menegaskan.

Pasal 5 ayat (1) UU 39/2007 itu menyebutkan barang kena cukai berupa hasil tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi: (a) untuk yang dibuat di Indonesia: 275 persen (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau 57 persen (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

Sementara (b) untuk yang diimpor: 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau 57 persen (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

“Begitu ya kira-kira, jadi 57 persen dari sesuatu yang bisa saja dinaik-naik turunkan,” kata Menkeu.

Sedang Dikaji

Sri Mulyani mengatakan tengah melakukan kajian dan konsultasi dengan berbagai pihak sebelum memutuskan kebijakan kenaikan harga jual dan cukai rokok.

“Jadi hari ini tahapannya kita melakukan konsultasi dengan berbagai pihak. Termasuk melihat kajian, melihat peraturan perundang-undangan, bicara dengan pelaku, konsumen, Departemen Kesehatan, Departemen Perindustrian, Departemen Tenaga Kerja dan masing-masing Kementerian nanti akan memberikan pandangan,” kata Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, hari Selasa (23/8).

Menkeu memastikan dalam dua bulan ke depan tidak akan mengeluarkan kebijakan atau keputusan terkait cukai rokok dengan demikian harga jual maupun cukai rokok tidak mengalami kenaikan.

“Kemudian kita lihat kebijakan selama ini sudah seperti apa dan apa langkah-langkah untuk dituangkan di dalam keputusan mengenai dua hal: harga jual maupun cukainya. Itu mungkin yang akan dilakukan dua bulan ke depan,” dia menegaskan.

Sri Mulyani mengatakan dalam menetapkan cukai rokok, pemerintah merujuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai dan mempertimbangkan pandangan dari berbagai pihak.

“Tentu dalam menetapkan kebijakan mengenai cukai rokok. Pertama ada Undang-Undang cukai yang menjadi pegangan. Dan yang kedua tentu berbagai pandangan dan pertimbangan seperti yang disampaikan,” kata Menkeu.

Sri Mulyani mengaku menghargai studi yang disampaikan sejumlah pihak mengenai sensitivitas dari pelaku perokok terhadap harga rokok. Dia memastikan tetap memperhatikan sisi kesehatan bagi generasi muda untuk mengurangi jumlah perokok.

“Jadi saya menghargai adanya studi yang disampaikan mengenai bagaimana sensitivitas dari pelaku perokok terhadap harga (rokok),” kata dia.

“Dari sisi kesehatan, concern mengenai jumlah perokok terutama, generasi muda, anak-anak muda, dari sisi industri, dari sisi ketenagakerjaan, dari sisi pendapatan negara, semuanmya nanti harus dibuat secara komprehensif,” dia menambahkan.

Turunkan Angka Kemiskinan

Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), mendukung adanya wacana kuat untuk menaikkan harga rokok secara signifikan, yakni Rp 50.000 per bungkus. YLKI memandang, harga rokok mahal justru akan bermanfaat bagi masyarakat dan negara.

“Harga rokok mahal mampu menurunkan tingkat konsumsi rokok di rumah tangga miskin. Ini hal yang sangat logis, karena 70 persen konsumsi rokok justru menjerat rumah tangga miskin,” kata Ketua Pengurus Harian YLKI dan Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau, Tulus Abadi, di Jakarta, hari Minggu (21/8).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahunnya menujukkan bahwa pemicu kemiskinan di rumah tangga miskin adalah beras dan rokok. Dengan harga rokok mahal, keterjangkauan terhadap rokok akan turun.

Menurut YLKI, menurunnya konsumsi rokok di rumah tangga miskin akan berefek positif terhadap kesejahteraan dan kesehatan rumah tangga miskin.

“Budget untuk membeli rokok langsung bisa dikonversi untuk membeli bahan pangan. Selain berefek negatif, rokok tidak mempunyai kandungan kalori sama sekali,” tuturnya.

Bagi negara, lanjut dia, harga rokok mahal akan meningkatkan pendapatan cukai, yang bisa meningkat 100 persen dari sekarang. Harga rokok mahal selain berfungsi untuk memproteksi rumah tangga miskin, juga mengatrol pendapatan negara dari sisi cukai. Apalagi, saat ini cukai dan harga rokok di Indonesia tergolong terendah di dunia.

“Sudah seharusnya rokok dijual mahal, sebagai instrumen pembatasan, pengendalian. Di negara maju harga rokok lebih dari Rp 100.000,” ujar Tulus.

YLKI memandang harga rokok mahal tidak akan membuat pabrik rokok bangkrut atau PHK buruh. “Karena PHK buruh rokok karena pabrik melakukan mekanisasi, mengganti buruh dengan mesin,” katanya.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home