Loading...
INSPIRASI
Penulis: Mario Diwanto 01:00 WIB | Rabu, 09 September 2015

Sssttt... Dengar!

Luangkan waktu untuk mendengar kisah orang-orang di sekitar!
Foto: istimewa

SATUHARAPAN.COM – Entah kenapa belakangan ini duniaku terasa sunyi. Tiada lagi kicau burung pada pagi hari, suara jangkrik pun nyaris tak terdengar lagi. Tawa bocahku kini hanya terdengar samar; sapaan manja istri tersayang juga terdengar semakin pelan. Apa yang salah dengan diriku? Mengapa mereka semua terasa jauh?

Kuputuskan untuk menyendiri, mencoba introspeksi. Syukurlah! Semua baik-baik saja. Tiada yang perlu disalahkan, apalagi disesali. Yang salah hanyalah telinga kiri, yang kehilangan fungsi menangkap bunyi. Singkat kata, budek sebelah. Itulah sebabnya daya dengar menurun, sehingga yang dekat pun seolah ada di balik sekat.

Jujur, lama sudah ku tak bersihkan telinga. Sejak kudengar bahwa cotton bud bisa membuat telinga tersumbat, tusuk gigi berujung kapas itu tak pernah lagi mengilik-ngilik daun telingaku. Sebagai penggantinya, kusobek selembar tissue, membalutkannya di sekeliling kelingking, lalu memutar-mutar jari mungilku ke dalam lubang telinga yang basah seusai mandi pagi dan sore. Dry and clean, seperti habis di-laundry.

Berhari-hari kunanti pendengaranku kembali, namun itu hanya membuatku patah hati. Telinga kiri tetap asyik sendiri, tak pedulikan suara di sekeliling. Khawatir ada yang serius, diri pun segera mendaftar menjadi pasien dokter THT. ”Hmm…kotor,” gumam Sang Dokter sembari menyenter dan menggali-gali lorong telingaku.

”Hmm…keras,” lanjutnya. Ternyata ”harta karunnya” sudah lama membatu sehingga mustahil dievakuasi saat itu juga. Pada akhir pemeriksaan, dokter tua itu memberi resep berupa dua botol mini cairan peluruh ”fosil telinga” dan se-strip antibiotik untuk ditelan habis selama pengobatan berjalan. Tak kusangka, hanya karena masalah korek-mengorek, delapan ratus ribu harus keluar dari kocek.

Budek bisa bikin aktivitas jadi mandek. Dengar musik jadi nggak terasa soul-nya, nonton film nggak ngerti jalan ceritanya. Itulah sebabnya kita rela bayar mahal agar pendengaran kita bisa kembali normal; supaya semua yang merdu dan seru bisa kembali menderu. Namun ironisnya, saat indra pendengar kita baik-baik saja, kita sering menutup telinga terhadap kebutuhan sesama. Kita sering kali menolak ketika anak, ortu, atau sahabat ngajak curhat. ”Sorry banget nih, aku lagi repot, lagi meeting, lain waktu saja gimana,” kilah kita.

Tak jarang tampak pemandangan ini: orang pacaran bukan dengerin cerita pacarnya, tetapi malah sibuk main gawai. Pasang kuping untuk dengerin balasan PING! Atau menanti dentang-denting yang nggak penting.

Mata punya kelopak, mulut punya bibir, namun telinga tak memiliki pintu. Tuhan sengaja ciptakan telinga yang tak ditutup, agar kita bisa saling mendengarkan satu sama lain. Mendengar dengan telinga, bukan semata-mata diam sambil menganga. Mendengar dengan telinga, juga bukan menguping. Mendengar dengan telinga, berarti mau memberi diri sepenuhnya untuk turut merasakan apa yang dialami orang lain: mungkin komedi, bisa jadi tragedi.

Mari, kita luangkan waktu untuk mendengar kisah orang-orang di sekitar! Suara siapa yang sudah lama tak kita dengar?

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home