Loading...
EKONOMI
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 06:13 WIB | Kamis, 15 Mei 2014

AFTA 2015: Peluang atau Ancaman bagi UKM

Para pembicara dalam seminar “Small and Medium Enterprises in ASEAN Economic Community: Agents or Victiom of Development?” (Foto: Diah A.R)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Desember 2015 mendatang negara anggota ASEAN akan berkompetisi untuk bersaing di perdagangan pasar bebas ASEAN Free Trade Area (AFTA). Namun, kesiapan Indonesia dalam menyambut AFTA 2015 masih jauh tertinggal dengan beberapa negara anggota ASEAN yang lain seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Bagi Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia hal ini bisa menjadi tantangan sekaligus ancaman jika mereka tidak bisa bersaing dengan negara anggota ASEAN lainnya

“Indonesia masih berada di tengah-tengah di antara negara ASEAN,” kata Verdinand Robertua kepada satuharapan.com usai memberikan presentasi tentang penelitiannya di Universitas Kristen Indonesia, Rabu (14/5).    

“Sehingga pemerintah Indonesia perlu lebih serius untuk menangani pemberdayaan UKM ini dan lebih siap untuk menyambut perdagangan bebas 2015 nanti.”

Dalam seminar tentang “Small and Medium Enterprises in ASEAN Economic Community: Agents or Victiom of Development?” yang diadakan di UKI, salah satu pembicara yaitu Dr. Alexander Chandra menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang membuat pengembangan UKM ini terhambat. Diantaranya adalah birokrasi yang rumit, finansial dan teknologi.

Senada dengan Alexander, Verdinand juga mengungkapkan bahwa UKM di Indonesia masih sulit untuk mendapatkan informasi mengenai komunitas ekonomi ASEAN dan bagaimana cara memanfaatkannya. Faktor lain yang ikut berpengaruh yaitu finansial. Pengusaha UKM masih sulit untuk memulai usahanya terkait dengan dana awal yang harus dimiliki. Jika pengusaha tersebut meminjam kepada bank, biasanya harus ada syarat-syarat tertentu seperti memberikan jaminan dan minimal jumlah permodalan yang harus mereka miliki.

Bahkan, Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang merupakan program dari pemerintah Indonesia masih belum efektif berjalan karena dana yang dipinjamkan hanya terbatas. Menurutnya, yang sangat disayangkan adalah ada beberapa UKM yang tidak bisa pergi ke bank dan mereka lebih memilih renternir sebagai jalan keluar untuk mendapatkan modal.

Verdinand berpendapat bahwa hal yang paling memprihatinkan adalah tidak semua masyarakat Indonesia bisa memanfaatkan kecanggihan teknologi di abad ini. Dia memberi gambaran bahwa di Singapura, alat-alat yang dihasilkan oleh peneliti dan mahasiswa di universitas dapat diberdayakan. Adanya sinergi antara penemuan universitas dengan pelaku UKM mendukung perkembangan UKM di negara tersebut. Sangat disayangakan jika Indonesia tidak bisa melakukan hal yang sama. Pemerintah harus menyadari bahwa UKM adalah salah satu penopang ekonomi negara yang besar.

“97 persen, orang di Indonesia bekerja di sektor UKM dan 0,03 persen bekerja di perusahaan besar,” kata dia. “Kalau UKM ini tidak siap, maka dampaknya akan sangat besar bagi Indonesia.”

 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home