Loading...
INDONESIA
Penulis: Sotyati 12:30 WIB | Rabu, 25 Juni 2014

Alfred Simanjuntak dalam Kenangan

Alfred Simanjuntak dalam Konser Malam Dana menyambut ulang tahun Yayasan Musik Gereja (Yamuger) bertema “Bernyanyi dan Bersorak bagi Tuhan”, 10 Februari 2010. (Foto: Dok Suara Pembaruan)

SATUHARAPAN.COM – Usia Alfred Simanjuntak 90 tahun saat ia naik panggung, tampil menyanyi di Balai Sarbini, Jakarta Selatan, 10 Februari 2010. Ia tampil menyanyi bersama 12 anggota Tim Inti Nyanyian Gereja dalam Konser Malam Dana menyambut ulang tahun Yayasan Musik Gereja (Yamuger) bertema “Bernyanyi dan Bersorak bagi Tuhan”.

Suara baritonnya terdengar lantang. Artikulasinya jelas, saat mendapat bagian menyanyikan satu bait lagu secara solo.

Pada kesempatan itu, ia bahkan spontan mengutarakan keinginannya menyumbang lagu. Alfred memilih lagu ciptaannya, Jika Padaku Ditanyakan, yang dimuat dalam Kidung Jemaat nomer 432. Dengan kualitas suara yang terjaga, ia bernyanyi, “Jika padaku ditanyakan/apa akan kub’ritakan/pada dunia yang penuh penderitaan/’kan kusampaikan kabar baik/pada orang-orang miskin/pembebasan bagi orang yang ditawan….” Pianis Adelaide Simbolon mengiringinya dengan piano.  

Memasuki bait berikut, Alfred hanya bergumam. Ia lupa syairnya. Tanpa dikomando, penonton yang memenuhi Balai Sarbini, langsung meneruskan syair itu bersama-sama, membentuk paduan suara akbar, “…Yang buta dapat penglihatan/yang tertindas dibebaskan/sungguh tahun rahmat Tuhan sudah tiba/K’rajaan Allah penuh kurnia/itu berita bagi isi dunia.”    

Alfred menjadi bintang dalam malam dana dari lembaga yang ia dirikan pada 11 Februari 1967 bersama EL Pohan, Ruben Budhisetiawan (Yap Heng Ghie), JL Aulia (Lauw Kian Joe), dan Prof Dr JLC Abineno, yang kesemuanya telah mendahuluinya saat itu.

Semangat Hidup

Semangat sudah menjadi bagian dari kehidupan Alfred sejak kecil. Tanpa semangat hidup, tak akan mungkin baginya melepaskan diri dari kenyamanan hidup untuk meratau ke Tanah Jawa dari Tapanuli, pada usia 14 tahun.

Ia mengalami hidup dalam suasana perang, masa penjajahan Belanda dan penjajahan Jepang. Layaknya pemuda saat itu, Alfred yang kemudian berkarier sebagai pendidik dan wartawan, turut dalam perjuangan.    

Lagu gubahannya, Bangun Pemudi Pemuda, lahir dalam semangat perjuangan itu. Ia menjadi guru di Semarang pada waktu itu, dan sekolah tempatnya mengajar memerlukan lagu untuk menyulut semangat.

Lagu itu, Bangun Pemudi Pemuda, menurut pengakuannya, lahir di kamar mandi. “Proses penciptaannya di kamar mandi. Saya seperti mendengar sebuah lagu. Kok enak? Saya cepat-cepat keluar untuk menuliskan syairnya. Kira-kira satu jam, sudah jadi lagu itu,” Alfred menjelaskan.

Ia sengaja menuliskan ”pemudi” terlebih dulu ketimbang ”pemuda”, mengikuti kelaziman yang berlaku di seluruh dunia, ”ladies and gentlemen”, bukan kelaziman yang berlaku di negeri ini yang lebih dulu menyebut ”bapak” dibandingkan ”ibu”. ”Pemudi lebih penting daripada pemuda,” kata Alfred dalam wawancara saat itu, “Adakah yang lahir tanpa pemudi?” ia berargumentasi.

Selain Bangun Pemudi-Pemuda, Alfred juga menggubah lagu lain yang memberi semangat. Lagu Di Manakah Tanah Airku, ia ciptakan untuk memberi semangat kepada anak-anak muda.

Dalam menciptakan lagu, Alfred sangat memperhatikan tekanan kata dalam lagu. Dalam suatu wawancara, ia menilai banyak lagu Indonesia serbasalah pada tekanan kata-katanya. “Tidak ada aturannya, yang penting suku katanya sesuai dengan jumlah not lagu,” katanya.  

Masa Kecil

Mengasyikkan berbincang dengan Alfred Simanjuntak. Dalam beberapa kali perbincangan pada kurun 2005 - 2010, ia masih mengingat jelas masa kecilnya di Parlombuan, tempat kelahirannya, desa sederhana di wilayah Sipahutar, Tapanuli.

Alfred, anak sulung dari delapan bersaudara anak pasangan Lamsana Simanjuntak, seorang guru, dan Kornella Silitonga, punya panggilan masa kecil “Pared”. "Kami hidup sangat sederhana,” katanya saat itu.

Ia menggambarkan baru mengenal mobil pada 1926. Sebagai anak kecil, ia justru takut ”dilihat” mobil. ”Begitu melihat mobil dari jauh, kami, anak-anak desa, langsung lari tunggang langgang bersembunyi,” ia berkisah.

Usianya baru 14 tahun ketika Alfred dilepas orangtuanya untuk bersekolah di Tanah Jawa. Untuk pertama kali ia keluar dari “kenyamanan” mengarungi kehidupan. Alfred menempuh perjalanan dengan naik kapal, dari Pelabuhan Belawan di Medan, menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Kemudian menyambung perjalanan dengan kereta api ke Solo. “Naik kapal belum pernah, naik kereta api juga belum pernah," katanya, saat itu, menggambarkan.

Ia bersekolah di Holands Inlandse Kweekschool (HIK), dan tinggal di asrama. Itu untuk pertama kalinya ia mengenal hidup dalam keberbagaian, tinggal di asrama campur laki-laki dan perempuan, bersama teman-teman dari seluruh penjuru Tanah Air.

Walau mengecap kehidupan sebagai wartawan, dunia pendidikan menjadi kepedulian utama Alfred. Dalam salah satu percakapan, ia pernah menyatakan kerinduannya untuk membangun manusia pembangun.

Alfred menerima gelar doktor kehormatan dari Saint John University.

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home