Loading...
DUNIA
Penulis: Kris Hidayat 14:49 WIB | Sabtu, 15 Februari 2014

Badai Salju di Jepang, Patung Anjing Hachiko Mendapat Topi dan Teman Baru

Badai Salju di Jepang, Patung Anjing Hachiko Mendapat Topi dan Teman Baru
Patung anjing Hachiko di Stasiun Shibuya, Tokyo (Foto: ist)
Badai Salju di Jepang, Patung Anjing Hachiko Mendapat Topi dan Teman Baru
Hachiko yang diberi topi dan teman baru (Foto: japanbrprobe.com)
Badai Salju di Jepang, Patung Anjing Hachiko Mendapat Topi dan Teman Baru
Badai Salju di Jepang, Patung Anjing Hachiko Mendapat Topi dan Teman Baru
Stasiun Shibya dan patung Hachiko, yang menjadi meeting point bagi pasangan di Jepang.

TOKYO, SATUHARAPAN.COM - Sekitar dua minggu Tokyo dilanda badai salju. Pada Jumat (14/2), ketika banyak orang merayakan hari kasih sayang, seseorang memberikan topi dan selendang bagi sebuah patung terkenal di jepang, anjing Hachiko, serta membangun sebuah pendamping patung anjing dari salju untuknya.

Hachiko adalah seekor anjing yang setia menantikan tuannya. Kisah penantian ini sangat mengharukan banyak orang khususnya masyarakat Jepang. Terinspirasi dari kisahnya maka dibuatlah sebuah patung untuk mengenang kesetiaan Hachiko di depan Stasiun Shibuya, Tokyo.

Tempat ini pun segera menjadi meeting point yang penting di Shibuya, juga menjadi tempat para pasangan bertemu, seakan ingin menyatakan bahwa mereka juga akan setia seperti Hachiko.

Kisah Hachiko

Profesor Hidesaburo Ueno adalah seorang yang penyayang anjing, dia mengambil dan memelihara  anjing kecil dan menamainya Hachi, sebuah kata Jepang yang berarti ’angka 8’, yang sering diartikan Keberuntungan yang baik. Profesor Ueno yang mengajar ilmu pertanian di Universitas Kekaisaran Tokyo, waktu itu berusia 53 tahun, sedangkan istrinya, Yae berusia 39 tahun.

Ketika Profesor Ueno berangkat bekerja, Hachi selalu mengantar kepergiannya di pintu rumah atau pintu gerbang. Hachi kadang-kadang mengantar majikannya hingga ke Stasiun Shibuya. Di petang hari, Hachi kembali datang ke stasiun untuk menjemput.

Dan sebelum berpisah biasanya Prof Ueno akan menepuk-nepuk dan membelai dengan lembut kepala Hachi, dan berjanji bahwa ia akan kembali sore harinya. Dan pada sore harinya Hachi akan kembali ke stasiun menantikan tuannya kembali, dan bersama-sama berjalan kembali ke rumah.

Kebiasaan itu berjalan selama 16 bulan, hingga suatu hal terjadi.

Pada 21 Mei 1925, seusai mengikuti rapat di kampus, Profesor Ueno mendadak meninggal dunia karena serangan stroke yang fatal jenazahnya tidak dibawa ke Tokyo, tetapi langsung dibawa ke kampung halamannya untuk dimakamkan di sana.

Hachi terus menunggui majikannya yang tak kunjung pulang, dan tidak mau makan selama 3 hari. Anjing Hachi selalu ke stasiun untuk menjemput majikannya. Dan ternyata tuannya tetap tidak kunjung kembali.

Nasib malang ikut menimpa Hachi, Yae, istri profesor harus meninggalkan rumah almarhum Profesor Ueno, dan mulai saat itu Hachi pun berpindah-pindah kepemilikan. Tetapi Hachi tetap tidak dapat melupakan majikannya, Ueno.

Pada musim gugur 1927, Hachi kemudian dititipkan di rumah Kikusaburo Kobayashi, mantan tukang kebun bagi keluarga Ueno. Rumah keluarga Kobayashi terletak di kawasan Tomigaya yang tak jauh dari Stasiun Shibuya. Setiap harinya, sekitar jam-jam kepulangan Profesor Ueno, Hachi terlihat menunggu kepulangan majikan di Stasiun Shibuya.

Ketika penumpang yang satu persatu, tetapi sampai penumpang terakhir meninggalkan stasiun, Profesor Ueno tetap tidak muncul. Hachi tetap menanti, setiap hari, dari pagi sampai malam hari, sampai kereta terakhir meninggalkan stasiun, Hachi setia menunggu dan datang kembali pada keesokan harinya.

Awal-awal, anjing Hachi yang selalu setia ini sering mendapat perlakuan kasar, dari para penumpang dan orang-orang di stasiun Shibuya. Namun, lama-kelamaan, mereka mulai mengetahui kisah penantian Hachi. Mereka tahu bahwa penantian Hachi adalah penantian yang sia-sia, tetapi banyak orang yang mulai tersentuh dengan kesetiaan dan pengharapannya, juga rasa hormat kepada majikannya, profesor Ueno.

Selama 7 tahun kisah Hachi menunggu majikan di stasiun ini mulai beredar dari mulut ke mulut, sampai pada tahun 1932, sampai kepada penulis Hirokichi Saitō dari Asosiasi Pelestarian Anjing Jepang.

Saito menulis beberapa artikel tentang kisah sedih Hachi. Artikel tersebut dikirimkannya ke harian Tokyo Asahi Shimbun, dan dimuat dengan judul Itoshiya roken monogatari (“Kisah Anjing Tua yang Tercinta”).  Juga ada artikel dengan judul “A Faithful Dog Awaits Return of Master Dead for Seven Years”.

Publik Jepang akhirnya mengetahui tentang kesetiaan Hachi yang terus menunggu kepulangan majikannya. Setelah Hachi menjadi terkenal, pegawai stasiun, pedagang, dan orang-orang di sekitar Stasiun Shibuya mulai menyayanginya.

Sekitar tahun 1933, kenalan Saito, seorang pematung bernama Teru Ando tersentuh dengan kisah Hachiko. Ando ingin membuat patung Hachiko.

Diprakarsai oleh Ando, diselenggarakanlah acara pengumpulan di Gedung Pemuda Jepang 10 Maret 1934. Sekitar 3.000 penonton hadir untuk melihat Hachiko.

Patung perunggu Hachiko akhirnya selesai dan diletakkan di depan Stasiun Shibuya. Upacara peresmian diadakan pada bulan April 1934, dan disaksikan sendiri oleh Hachiko bersama sekitar 300 hadirin. 

Ando juga membuat patung lain Hachiko yang sedang bertiarap. Setelah selesai pada 10 Mei 1934, patung tersebut dihadiahkannya kepada Kaisar Hirohito dan Permaisuri Kojun.

Kehidupannya yang mulai berubah, yang kini tak lagi selalu mendapat perlakuan kasar, tidak membuat Hachi melupakan tuannya. Walau kini ia disayangi banyak orang, Hachi tetap setia menanti di stasiun Shibuya.

Selepas pukul 06.00 pagi, tanggal 8 Maret 1935, Hachiko, 13 tahun, ditemukan sudah tidak bernyawa di jalan dekat Jembatan Inari, Sungai Shibuya. Tempat tersebut berada di sisi lain Stasiun Shibuya. Hachiko biasanya tidak pernah pergi ke sana. Berdasarkan otopsi diketahui penyebab kematiannya adalah filariasis.

Berita kematiaanya segera menyebar, dan Hachi diberikan upacara pemakaman layaknya seorang manusia dengan ritual Budha yang berlangsung selama 49 hari.

Dan nama Hachi secara resmi diubah menjadi Hachiko (akhiran ‘ko’ dalam kebudayaan Jepang, adalah sama seperti ‘sir’ di Inggris).

Hachiko dimakamkan di samping makam Profesor Ueno di Pemakaman Aoyama. Bagian luar tubuh Hachiko diopset, dan hingga kini dipamerkan di Museum Nasional Ilmu Pengetahuan, Ueno, Tokyo.

Pada 8 Juli 1935, patung Hachiko yang kedua didirikan di kota kelahiran Hachiko di Odate, tepatnya di di depan Stasiun Odate. Patung tersebut dibuat serupa dengan patung Hachiko di Shibuya. Dua tahun berikutnya (1937), kisah Hachiko dimasukkan ke dalam buku pendidikan moral untuk murid kelas 2 sekolah rakyat di Jepang, judulnya adalah ”On o wasureruna"  yang berarti Balas Budi Jangan Dilupakan.

Tidak panjang pengalaman Hachiko berjalan bersama tuannya, namun kisah Hachiko menjadi terkenal ketika Hachiko bertahan dalam penantian selama 10 tahun.

Bahkan sampai matipun, ia mati dalam penantian. Suka ataupun duka yang dialaminya tidak mengubahkan kesetiaanya. Perlakuan kasar yang diterimanya di stasiun Shibuya, tidak mampu memudarkan semangat penantiannya. Bahkan ketika tiba-tiba semua orang berbalik menyayanginya, Hachiko tidak pernah melupakan tuannya.

Tujuan hidupnya adalah bertemu dengan tuannya. Menanti sampai akhir.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home