Loading...
OPINI
Penulis: Rainy MP Hutabarat 00:00 WIB | Senin, 28 Oktober 2013

Bahasa Indonesia: Fakta Keragaman Kita

SATUHARAPAN.COM - Buku bertajuk Loan-Words in Indonesian and Malay (YOI, 2008) cukup menyentak saya:  bahasa Indonesia   meminjam  sekitar 20.000 bahasa mancanegara! Buku setebal 360 halaman ini merupakan etimologi 20.000 kata Indonesia yang dipinjam dari bahasa Sansekerta, Arab, Persia, Tiongkok, Belanda dan Inggris.

Bayangkan, betapa banyak bahasa Indonesia meminjam (baca: menyerap!) bahasa-bahasa dunia. Sebenarnya Remy Sylado pernah mengatakan ini secara gamblang lewat tajuk bukunya, 9 dari 10 Kata Indonesia adalah Asing (KPG, 2006). Namun fakta  kata-kata yang dipinjam baru ditunjukkan oleh buku Loan-Words in Indonesian and Malay tersebut. Mengingat dunia kini semakin terhubung oleh internet, tentu masih banyak lagi kata asing pinjaman yang belum terekam dalam buku itu. Belum terhitung bahasa-bahasa etnis yang juga diserap menjadi bahasa Indonesia.

Menengok Sejarah

Kata-kata pinjaman tersebut sebenarnya berbicara banyak tentang  pluralitas kita sebagai satu bangsa. Fakta ini bahkan diperkuat oleh catatan  historis, bahwa bahasa Melayu sebagai fondasi bahasa Indonesia dikembangkan dan disebarkan ke seluruh Nusantara oleh berbagai tangan dan (suka atau tidak) juga  oleh Belanda.  

Memang, sejak Kerajaan Sriwijaya bahasa Melayu sudah umum dipakai sebagai lingua franca di kepulauan Indonesia maupun di semenanjung Malaka bahkan sampai ke Filipina. Tetapi sejarah juga mencatat, persebaran bahasa Melayu sebagai  lingua franca  berkait-erat dengan  sejarah penerjemahan (bagian-bagian) Alkitab ke dalam  Melayu di tanah air. Penerbitan  Alkitab itu disertai revisi bahasa dan penelitian yang intensif. Pencetakannya dilakukan di Belanda  karena mesin-mesin cetak belum tersedia di tanah air, pun teknisi yang mampu mengoperasikannya. Tatkala seluruh Alkitab  berhasil diterjemahkan  ke dalam Melayu, revisi terhadap penerjemahan terus-menerus dilakukan.

Catatan singkat berikut kiranya dapat memberi gambaran perjalanan penerjemahan Alkitab: Tahun 1612 adalah  tonggak pertama  penerjemahan Injil Matius ke dalam  Melayu oleh Albert Corneliusz Ruyl. Pada 1629 terjemahan ini  dicetak oleh Jan Jacobiz Palenstein di Enkhuizen, Belanda, dalam  dwibahasa.  Pada bagian akhir dimuat juga Sepuluh Perintah Allah, Pengakuan Iman Rasuli, Doa Bapa Kami, dan lain-lain. Tahun 1638, Injil Markus diterjemahkan ke dalam Melayu dan diterbitkan bersama Injil Matius, juga dalam dwi-bahasa Melayu dan Belanda.

Jan van Hasel, seorang pegawai VOC, menerjemahkan Lukas dan Yohanes,  sementara  Justus Heurnius, seorang pendeta di Batavia, menerjemahkan Kisah Rasul. Heurnius kemudian merevisi terjemahan Ruyl, lalu keempat kitab Injil digabung dan dicetak di Amsterdam tahun 1651. Jan van Hasel dan Justus Heurnius juga menerjemahkan kitab Mazmur dan diterbitkan tahun 1652.

Kitab Kejadian diterjemahkan oleh Daniel Brouwerius  tahun 1662, dilanjutkan penerjemahan seluruh Perjanjian Baru pada 1658. Perjanjian Baru terjemahan Brouwerius banyak memakai kata-kata Portugis sehingga sulit dipahami. Pdt. Melchior Leijdecker kemudian mengalihbahasakan Alkitab ke dalam Melayu pada 1733 dan dicetak di Amsterdam.  Tahun 1879 Klinkert  selesai menerjemahkan Alkitab dalam Melayu dan diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Belanda. Terjemahan Klinkert lebih disukai ketimbang Leijdecker (LAI, Menabur Firman Di Nusantara).

Mesin cetak didatangkan dari Belanda tahun 1624 ke Indonesia,  tapi tak langsung bisa beroperasi karena ketiadaan  teknisi  yang terampil. Gereja meminta pemerintah Belanda untuk mengirimkan  teknisi, dan tahun 1639 barulah  terbit cetakan yang pertama namun tak terkait dengan bacaan gerejawi.  Pada 1743 berdiri percetakan pertama milik komunitas gereja, yakni Seminarium Theologicum. Ada catatan bahwa percetakan ini menerbitkan Perjanjian Baru dan Buku Doa dalam bahasa Melayu. Pada 1819  percetakan juga tiba di Maluku, milik  misonaris Joseph Kam.

Selanjutnya sejarah pers Indonesia mencatat, media Kristen merupakan bagian dari pers awal Indonesia. Biang-Lala (1867) dan Tjahaja Sijang (1868/1869) tercatat sebagai media Kristen yang pertama kali terbit dalam bahasa Melayu. Pada periode ini hampir semua surat kabar yang terbit di tanah air dimiliki oleh Belanda. Bataviasche Nouvelles, surat kabar berbahasa Belanda, adalah koran modern pertama yang terbit di Hindia Belanda (baca: Indonesia), terbit 7 Agustus 1744 di Batavia. Sedangkan surat kabar pertama   berbahasa Melayu bernama Slompret Melaijoe, diterbitkan tahun 1860 oleh H.C. Klinkert di Semarang (A History of Christianity in Indonesia, 2008).

Mestinya Berkorelasi

Catatan historis singkat di atas adalah bagian dari narasi besar sejarah bangsa Indonesia, bahwa menjadi Indonesia melalui bahasa berutang budi kepada  banyak tangan dan budaya  termasuk pihak Belanda. Yang disebut bahasa Indonesia sendiri meminjam lebih 20.000 kata dari bahasa-bahasa dunia. Artinya, persebaran dan pengembangan bahasa Indonesia tidak dilakukan oleh satu pihak saja dan sumber-sumbernya juga  plural  bukan tunggal.

Kenyataan ini mestinya berkorelasi dengan pengakuan dan penghormatan terhadap pluralitas bangsa khususnya suku, agama, dan ras.   Sayangnya, tidak demikian: fakta kebahasaan tak berkorelasi dengan meluas dan menguatnya sikap toleransi. Angka kekerasan berbasis agama dan penutupan rumah ibadah tetap tinggi. Setara Institute mencatat, periode Januari-Juni 2013  tercatat 122 pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan tersebar di 16 provinsi separuhnya di Jawa Barat (61) peristiwa, Jawa Timur (18) dan DKI Jakarta (10).

Persoalan bertambah karena perjuangan para pendahulu untuk menyempurnakan bahasa Indonesia  menjadi bahasa yang setara dengan bahasa-bahasa dunia tak berbuah rasa bangga khususnya di kalangan kaum muda kini. Mampu berbahasa Inggris lebih penting  ketimbang bahasa Indonesia.  The New York TimesAs English Spreads, Indonesians Fear for Their Language”, 25 Juli 2010) melaporkan bahwa para orang tua Indonesia lebih mengutamakan anak-anaknya menguasai bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia.

Seorang pernah mengeluh, “Saat berada di perkotaan, apalagi di kota-kota  besar, serasa berada di luar negeri saking banyaknya kata dan nama asing di sekeliling.” Padahal orang kerap mengingatkan, “Bahasa menunjukkan bangsa!” Cinta bahasa Indonesia adalah wujud dari cinta tanah air.**

Penulis adalah pemerhati bahasa, bekerja di YAKOMA-PGI


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home