Loading...
INDONESIA
Penulis: Bayu Probo 08:23 WIB | Senin, 28 Oktober 2013

Tokoh Sumpah Pemuda: Johannes Leimena

Dr. Leimena saat bertindak sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia. (Foto: Arsip Nasional).

SATUHARAPAN.COM – Tahun ini adalah peringatan ke-85 Sumpah Pemuda. Pada 1928, kaum muda wilayah koloni Hindia Belanda menyadari bahwa perjuangan mereka untuk meraih kemerdekaan tidak akan berhasil jika dilakukan sendiri-sendiri dan sporadis. Maka, walaupun mereka punya latar belakang begitu beragam, memutuskan untuk menyatukan diri dan mengikat ikrar bersama. Salah satu tokohnya ada pemuda Ambon, Johannes Leimena.

Kaum muda Indonesia modern tampaknya perlu belajar dari Johannes Leimena. Terutama untuk integritas dan kejujurannya dalam berpolitik dan memandang kekuasaan. Sebab, media akhir-akhir ini banyak menyoroti para pemuda Indonesia gagal dalam hal ini. Buktinya, sebagian penghuni tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah pemuda.

Gemar Membaca

Johannes Leimena yang akrab disapa Om Jo (1905-1977) lahir dalam keluarga guru di Ambon. Ayah dan ibunya guru SD. Baru saja ia berusia lima tahun, sang ayah meninggal dunia. Lalu, ia nekat ikut pamannya pindah ke Pulau Jawa pada umur sembilan. Leimena selanjutnya diasuh oleh pamannya yang juga adalah guru. Di Jakarta Leimena bersekolah di SD Belanda di Jln. Batutulis, dan beribadah di Gereja Pniel, di Jln. Pintu Besi. Sejak masa kecil ia sudah gemar membaca banyak buku.

Memasuki usia pemuda, Leimena mulai aktif dalam kegiatan pemuda terutama di GKI Kwitang. Ia juga mengikuti pertemuan-pertemuan tentang gerakan ekumene dan gerakan nasionalisme.

Kongres Pemuda Pertama dan Kedua

Upaya mempersatukan berbagai organisasi pemuda dalam satu wadah telah dimulai sejak Kongres Pemuda Pertama 1926. Maka, pada 20 Februari 1927 diadakan pertemuan, namun pertemuan ini belum mencapai hasil yang final. Kemudian pada 3 Mei 1928 diadakan pertemuan lagi, dan dilanjutkan pada 12 Agustus 1928. Pada pertemuan terakhir ini dihadiri semua organisasi pemuda dan diputuskan untuk mengadakan Kongres pada bulan Oktober 1928, dengan susunan panitia dengan setiap jabatan dibagi kepada satu organisasi pemuda (tidak ada organisasi yang rangkap jabatan). Ketua panitia adalah Sugondo Djojopuspito dari Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI). Johannes Leimena sebagai wakil Jong Ambon menjadi  Pembantu IV dalam kepanitiaan tersebut.

Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari PPPI, sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.

Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan

Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.

Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan. Rumah di Jalan Kramat Raya ini adalah milik seorang Tionghoa, Sie Kok Liong.

Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.

Pada saat bersamaan, diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan Arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab. Johannes Leimena masih berumur 23 tahun.

Menjadi Dokter

Dua tahun kemudian, Leimena lulus dari Sekolah Kedokteran di Jakarta dan langsung bekerja di RSCM (dulu CBZ) Jakarta. Pernah pula ia menjadi dokter di RS Immanuel Bandung. Ketika ia menjadi dokter di RS Bayu Asih Purwakarta, ia ditangkap oleh tentara Jepang. Setelah dibebaskan, ia ditempatkan di RS Tangerang. Kemudian hari ia pernah menjadi direktur RS PGI Tjikini Jakarta.

Sejak itu jalan hidup Leimena adalah dunia politik. Dengan sistem pemerintahan pada waktu itu, kabinet sering berganti, bahkan dua kali setahun. Tetapi hampir selalu Leimena dipilih lagi sebagai menteri. Perdana menterinya berganti-ganti antara PNI dan Masyumi, namun Leimena tetap dipakai sebagai menteri, sehingga ada ucapan ”Siapa pun perdana menterinya, menterinya Leimena.” Bukan hanya sebagai menteri kesehatan dan menteri sosial,

Leimena pun lima kali menjadi wakil perdana menteri. Secara keseluruhan ia 18 kali menjadi menteri dalam rentang waktu 20 tahun. Lagi pula Leimena pernah sampai tujuh kali memegang fungsi Pejabat Presiden RI.

Apa yang membuat Leimena dipercaya baik oleh kalangan Nasionalis, Islam, dan Komunis? Berbagai narasumber dalam buku ini menyebut karakter Leimena yang menonjol, yaitu sederhana, jujur, dan tenang. Roeslan Abdulgani, mantan wakil perdana menteri menulis, ”Mengenang Dr. Leimena atau Om Jo adalah mengenang seorang pribadi sederhana. Sederhana dalam cara berpikirnya dan sederhana dalam cara hidupnya. Sederhana tidak dalam arti dangkal, tetapi sederhana dalam arti mendalam. Lurus dan tidak berliku-liku. Wajar seadanya. Tidak dibuat-buat. Om Jo juga seorang pribadi yang setia.

Setia kepada cita-citanya. Setia kepada keyakinannya … setia tidak dalam arti ’kepala batu’, tetapi setia dalam arti kata tidak tergoyahkan, lurus, dan tidak berliku-liku. Juga dalam kesetiaannya itu terdapat kewajaran seadanya tanpa dibuat-buat.”

Roeslan juga menceritakan pengalaman ketika mereka terluka dan ditangkap tentara Belanda di Yogyakarta. Tulisnya, ”Beliau dapat gusar mengenai nasib buruk orang lain. Tetapi manakala dirinya sendiri menghadapi kesulitan atau bahaya, dia bersikap tenang.

Watak demikian itulah yang saya lihat secara konsisten dalam karier Om Jo.” Tentang faktor penentu kepribadian Leimena, Roeslan menulis, ”Akar keluarga mereka yang berkecimpung di bidang pendidikan yang religius kristiani tampak tumbuh dalam pribadinya.”

Berkali-kali Jadi Pejabat Presiden

Setiap kali Presiden Sukarno mendelegasikan wewenang jabatannya sebagai kepala negara, maka orang yang dipilihnya adalah Leimena. Bung Karno menyebut Leimena sebagai mijn dominee, yaitu “pendeta saya”. Leimena menjadi hati nurani bagi Bung Karno. Apakah Leimena tutup mata terhadap kesalahan-kesalahan Bung Karno?

Roeslan menjawab, ”Om Jo mengetahui adanya kekurangan dan kekhilafan orang lain. Demikian pula kepada Bung Karno dan kawan-kawan lainnya. Beliau selalu berusaha mendekati mereka dengan baik-baik.

Tidak untuk menggurui, tetapi sekadar untuk memberi pertimbangan dan nasihat. Om Jo tidak pernah melempar batu kepada mereka itu. Ada pesan Kitab Injil yang selalu menyertai tingkah laku hidupnya. Kalau saya tidak salah dalam Injil Yohanes … yang beliau sering kutip dengan berbisik-bisik kepada saya dan kolega lainnya: Barang siapa di antara kamu tanpa dosa, lemparkanlah batu yang pertama.” (dari berbagai sumber)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home