Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben Ezer Siadari 17:29 WIB | Rabu, 17 Juni 2015

Dunia Masuki Era Orang Kaya Makin Kaya

Ilustrasi tentang ketimpangan kekayaan di Indonesia (Foto: finance.yahoo.com)

METRO, MANILA, SATUHARAPAN.COM – Dunia kini sedang memasuki era dimana orang kaya semakin kaya. Orang-orang yang berada di puncak piramida kekayaan dunia, menikmati pertumbuhan kekayaan lebih cepat dibanding yang di bawahnya. Semakin orang mencapai kekayaan di atas satu juta dolar AS semakin mereka menikmati pertumbuhan kekayaan yang lebih cepat dibanding mereka yang berpendapatan kurang dari itu.

Hal ini terungkap dalam studi yang dilakukan oleh Boston Consulting Group (BCG) yang berjudul Global Wealth, sebagaimana dilansir oleh CNN, hari ini (17/6).
 
Menurut studi tersebut, kekayaan pribadi rumah tangga paling kaya dunia, yang disebut ultra-high-net-worth (UHNW) (yaitu meerka yang memiliki kekayaan lebih dari US$ 100 juta) mencatat pertumbuhan dua digit, tepatnya 11 persen. Kelompok ini menguasai US$ 11 triliun kekayaan pada tahun 2014, yang berarti 6 persen dari total kekayaan rumah tangga dunia.

Riset itu juga mencatat bahwa segmen ini akan menjadi yang paling cepat berkembang baik dalam jumlah rumah tangga maupun jumlah kekayaan pribadi di masa mendatang. Riset itu memprediksi bahwa rumah tangga yang memiliki kekayaan US$ 100 juta ke atas bisa tumbuh sebanyak 19% selama lima tahun ke depan.

Studi itu juga menemukan bahwa pada tahun 2014, 41 persen dari kekayaan pribadi rumah tangga  dunia berada di tangan para jutawan dunia -- mereka yang memiliki kekayaan US$ 1 juta ke atas. Pada tahun 2019, kekayaan mereka diperkirakan akan meningkat menjadi 46 persen dari total kekayaan pribadi rumah tangga dunia.

Jumlah rumah tangga dengan kekayaan pribadi US$ 1 juta ke atas mencapai 17 juta pada tahun 2014, naik dari 15 juta pada tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut didukung oleh kinerja pasar aset yang solid, kata studi tersebut.

AS memiliki jutawan paling banyak di tahun 2014 (7 juta), diikuti oleh Tiongkok (4 juta), yang juga memiliki jumlah tertinggi jutawan baru (1 juta). Jepang berada tempat ketiga dengan 1 juta rumah tangga jutawan.

Namun, Swiss menempati peringkat tertinggi dalam hal kepadatan jutawan - 135 dari 1.000 rumah tangga memiliki kekayaan US$ 1 juta ke atas. Disusul oleh Bahrain (123), Qatar (116), Singapura (107), dan Kuwait (99) melengkapi.

Jumlah kekayaan rumah tangga secara global tahun lalu tumbuh 12 persen, mencapai US$ 164 triliun. Ini sedikit lebih tinggi dibanding tahun 2013 yang sebesar 12 persen. Kawasan Asia-Pasifik, termasuk Jepang, membukukan tingkat pertumbuhan tercepat, melonjak sebesar 29%. Namun, Amerika Utara memegang pangsa terbesar (31%) dari kekayaan global. AS adalah negara terkaya, mencapai US$ 46 triliun atau 28% dari total kekayaan global.

Namun demikian, BCG memperkirakan kawasan Asia-Pasifik akan menyalip Amerika Utara sebagai daerah terkaya di dunia pada tahun 2016, mencapai US$ 57 triliun kekayaan pribadi. BCG memperkirakan kekayaan global total akan mencapai US$ 222 triliun pada 2019.

Membahayakan Pertumbuhan

Mei lalu, riset yang bernada serupa dipublikasikan oleh OECD, yang menggambarkan bahwa dunia kini memasuki ketimpangan paling parah, terutama di negara-negara maju. Ketimpangan pendapatan itu, menurut riset OECD, tengah memasuki titik kritis yang dapat merusak pertumbuhan ekonomi dunia.

Menurut riset OECD, dua perlima dari populasi negara-negara maju menikmati pertumbuhan pendapatan lebih rendah selama beberapa dekade terakhir.

Menurut studi OECD, terdapat kecenderungan yang konsisten akan semakin melebarnya ketimpangan pendapatan di negara-negara maju anggota OECD. Penelitian itu mengungkapkan terdapat peningkatan tenaga kerja nonstandar dan sebaliknya, terjadi penurunan yang sangat tajam dalam proporsi tenaga kerja berpendapatan dan berketrampilan menengah. Hal ini dipandang menjadi salah satu pemicu ketimpangan.

"Dalam beberapa dekade terakhir, sebanyak 40% dari populasi di ujung bawah distribusi telah menikmati keuntungan yang lebih sedikit di banyak negara," kata OECD sebagaimana dilansir oleh The Wall Street Journal.

"Dalam beberapa kasus, mereka yang berpenghasilan rendah bahkan mendapati pendapatan mereka jatuh secara riil. Ketika sebuah kelompok besar dalam populasi hanya mendapatkan keuntungan yang begitu sedikit dari pertumbuhan ekonomi, maka akan terjadi kerenggangan dalam tatanan sosuial dan saling percaya pun melemah."

OECD mengatakan kenaikan ketimpangan dalam beberapa dekade terakhir telah berlangsung hingga  krisis keuangan tahun 2008 dan sampai kini terus membayangi.Pada tahun 1980, sebanyak 10% dari penerima pendapatan tertinggi memiliki pendapatan tujuh kali lebih besar dari 10 persen yang berada di golongan paling bawah. Rasio itu meningkat tajam menjadi 9,6 pada tahun 2013 di 34 negara anggota OECD. Di Amerika Serikat, rasio itu naik dari 15,1 pada tahun 2008 menjadi 18,8  pada tahun 2014.

Setelah melansir tiga laporan utama mengenai ketimpangan dan implikasinya sebelum ini, OECD menyatakan pihaknya kini semakin lebih yakin bahwa meningkatnya ketimpangan pendapatan tidak hanya mengancam kohesi sosial, tetapi  juga menggerogoti pertumbuhan ekonomi, yang telah lama sangat lemah di banyak negara besar dalam beberapa dekade terakhir.

"Kita telah mencapai titik kritis," kata Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria. "Ketimpangan di negara-negara OECD berada pada titik tertinggi sejak pencatatan dimulai. Bukti menunjukkan bahwa ketimpangan yang tinggi buruk bagi pertumbuhan."

Itu sebabnya, Gurria menekankan bahwa ketimpangan pendapatan harus menjadi agenda kebijakan negara-negara maju, bukan hanya melalui kebijakan sosial tetapi juga kebijakan ekonomi.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home