Loading...
INDONESIA
Penulis: Reporter Satuharapan 11:40 WIB | Selasa, 31 Januari 2017

Febriana Firdaus Raih Penghargaan Oktovianus Pogau

Febriana Firdaus ketika meliput kebakaran hutan pada bulan Oktober 2015 buat Rappler dari Palangka Raya. (Foto: Yayasan Pantau)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Febriana Firdaus, seorang wartawan yang punya nyali meliput beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, mendapatkan Penghargaan Oktovianus Pogau untuk Keberanian dalam Jurnalisme dari Yayasan Pantau hari ini (31/1).  

“Febriana Firdaus meliput tragedi 1965, sesuatu yang sulit sekali, sampai diskriminasi terhadap kaum LGBT, yang banyak tak dimengerti wartawan. Dia haus pengetahuan dan berani. Dia punya kualitas wartawan bermutu,” kata Imam Shofwan, ketua Yayasan Pantau, dalam siaran pers yang diterima satuharapan.com hari ini (31/1). Ia juga yang akan menyerahkan plakat penghargaan dari kayu dan logam buat Febriana.

Penghargaan Oktovianus Pogau dimulai pertama kali hari ini –persis setahun sesudah meninggalnya Oktovianus Pogau, wartawan asal Papua Barat, yang mendirikan portal Suara Papua di Jayapura pada 10 Desember 2011.

“Orang Papua bangga pada Okto Pogau. Dia pemuda berani, kritis dan punya prinsip kuat. Di Suara Papua, kami menyuarakan apa yang terjadi di Papua dari kacamata orang Papua. Ini niat besar Pogau untuk ubah cara berpikir orang di luar sana. Penting untuk mengabadikan karya, keberanian, prinsip dan daya kritis tajam yang dimiliki Okto Pogau,” kata Arnold Belau, pemimpin redaksi Suara Papua, di Jayapura.

Febriana Firdaus kelahiran Kalisat di Kabupaten Jember pada 1983. Pada 2007, Febriana lulus dari Universitas Airlangga, Surabaya, dan bekerja buat harian Jawa Pos, lantas lima tahun bekerja buat Tempo di Jakarta, termasuk ikut bagian investigasi Tempo.

Dia pindah ke multimedia Rappler, perusahaan asal Manila, cabang Jakarta pada 2014. Pada Juni 2016, ketika meliput protes Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia terhadap seminar anti-pengungkapan tragedi 1965, Febriana diintimidasi segerombolan milisi Front Pembela Islam. Rappler dituduh pro-komunis maupun pro-LGBT. Febriana memutuskan mundur dari Rappler karena beda pendapat soal prosedur liputan. Dia kini menulis freelance buat BBC, Jakarta Post, Time dan Vice serta ikut tim redaksi blog Ingat 65.

Adapun Yayasan Pantau adalah organisasi yang bertujuan meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia. Ia didirikan pada 1999, mulanya berupa majalah hingga 2003, lantas lebih banyak bikin pelatihan jurnalisme, riset media dan penerbitan buku soal jurnalisme.

Penghargaan Oktovianus Pogau tak diberikan uang maupun diadakan acara agar ia bisa melulu diskusi soal seleksi penerima. Yayasan Pantau ingin penghargaan ini berumur selama mungkin tanpa dibebani pendanaan.

Juri penghargaan ini lima orang: Alexander Mering (Gerakan Jurnalisme Kampung di Kalimantan Barat, Pontianak), Andreas Harsono (Human Rights Watch, Jakarta), Coen Husain Pontoh (Indo Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru) dan Yuliana Lantipo (Jubi, Jayapura).

“Kami memilih hari ini, persis setahun sesudah kepergian sahabat kami, Oktovianus Pogau, guna memulai penghargaan di bidang jurnalisme dan keberanian. Febriana Firdaus mencerminkan keberanian yang juga diperlihatkan Oktovianus Pogau. Ini upaya kecil memajukan jurnalisme dan menyemangati wartawan-wartawan muda untuk setia pada jurnalisme yang bermutu,” kata Imam Shofwan.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home