Loading...
BUDAYA
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 13:44 WIB | Kamis, 28 November 2013

Film Die Wand: Bertahan Hidup di Tengah Kesepian

Film Die Wand: Bertahan Hidup di Tengah Kesepian
Die Wand yang dibintangi oleh Martina Gedeck. (foto: nochnfilm.de)
Film Die Wand: Bertahan Hidup di Tengah Kesepian
Dian dan kawan-kawannya dari Universitas Indonesia rutin datang ke Goethe-Institut untuk menonton film. (foto-foto: Diah Anggraeni Retnaningrum)
Film Die Wand: Bertahan Hidup di Tengah Kesepian
Suasana sebelum pemutaran film Die Wand.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Bagaimana jika hidup Anda tiba-tiba terisolasi. Bagaimana Anda bertahan? Film “Die Wand” memotret dengan tepat pertanyaan tersebut sekaligus jawabannya. “Die Wand” atau “The Wall” pada Selasa (26/11) lalu diputar di GoetheHaus yang bertempat di kawasan Sam Ratulangi dalam program ArtHouse Cinema. Film ini mewakili Austria dalam nominasi Film Berbahasa Asing Terbaik pada Academy Awards ke-86. Puncak festival film yang pialanya disebut Oscar akan diselenggarakan pada 2 Maret 2014.

Film berbahasa Jerman garapan sutradara Julian Roman Pölsler ini berdurasi 108 menit dan telah diterjemahkan ke dalam teks Bahasa Indonesia. Sehingga memudahkan penonton untuk memahami isi cerita tersebut.

ArtHouse Cinema merupakan program film Goethe-Institut yang diselenggarakan tiap hari Selasa minggu kedua dan keempat mereka memutar film-film independen, avantgard, retrospeksi, eksperimental atau dokumenter dari Eropa dan Indonesia. Semua genre film diputar di tempat tersebut kecuali film blockbuster.

Die Wand, Hidup Terbentur Dinding Misterius

Di dalam sebuah rumah perburuan yang tersembunyi di balik pegunungan di Austria, seorang perempuan (Martina Gedeck) menuliskan pengalaman-pengalamannya untuk mengalihkan pikirannya dari kesepian. Dua tahun sebelum ia memulai catatannya, ia tiba di rumah itu bersama sepasang suami istri (Karlheinz Hackl dan Ulrike Beimpold) dan anjing mereka, Luchs.

Rencana mereka hari itu sangat sederhana, menghabiskan akhir pekan di tengah alam. Kedua pasangan suami istri tersebut pamit untuk berjalan-jalan sore ke desa terdekat, namun mereka tak kunjung kembali sampai hari berikutnya. Si perempuan berusaha mencari tahu ditemani Luchs.

Mendadak langkah-langkahnya terhenti. Tubuhnya seolah menabrak selapis dinding misterius yang tak kasat mata yang menghalanginya di tengah alam yang membentang. Sebuah batas yang tak bisa dijelaskan, memisahkan si perempuan dari dunia. Dan, ia pun menyadari bahwa ia hanya seorang diri di tempat itu.

Ia tahu ia harus bertahan, mengalahkan ketakutan-ketakutan yang selalu mengancamnya. Tanpa manusia di sekitarnya, ia berusaha mempertahankan hidupnya sambil menghadapi pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai arti kehidupan.

Pendapat Penonton

Dalam pemutaran film ini, ada sekitar 200 orang yang menonton. Beberapa di antaranya adalah mahasiswa, pekerja kantoran dan ekspatriat. “Film ini keren banget!” kata Dian, salah satu mahasiswa dari Universitas Indonesia kepada reporter satuharapan.com. “Kita bisa melihat film ini dengan kacamata yang berbeda. Dimana mungkin orang lain akan memilih untuk bunuh diri daripada harus bertahan hidup sendirian dan terisolasi. Keren!” tambahnya.

Dian dan beberapa temannya mengaku sering datang ke GoetheHaus setiap Selasa kedua dan keempat. Mereka senang dengan film-film yang diputar karena film tersebut berbeda dengan yang ada di bioskop.

Jika Anda penggemar film, Anda dapat menonton film-film yang berbeda ini setiap hari Selasa kedua dan keempat di Goethe-Institut, Jl. Sam Ratulangi no 9-15 secara gratis.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home