Loading...
OPINI
Penulis: Martin Lukito Sinaga 14:57 WIB | Kamis, 24 Maret 2022

Gereja Ortodoks dalam Perang Rusia-Ukraina

Gereja Ortodoks dalam Perang Rusia-Ukraina
Patriark Gereja Ortodoks Rusia Kirill menyampaikan Misa Natal di Katedral Kristus Sang Juru Selamat di Moskow, Rusia, Kamis, 6 Januari 2022. (Foto: dok. AP/Alexander Zemlanichenko)
Gereja Ortodoks dalam Perang Rusia-Ukraina

SATUHARAPAN.COM-Pada 2 Maret 2022 lalu, pelaksana tugas Sekretaris Umum Dewan Gereja se-Dunia (DGD), seorang imam pada gereja ortodoks, menulis surat permohonan kepada Patriark Kirill, Pemimpin tertinggi gereja Ortodoks Rusia. Iaon Sauca, selaku wakil gereja-gereja Protestan se-dunia itu mencatat dalam surat resmi DGD bahwa perang antara Rusia dan Ukraina telah menimbulkan penderitaan yang teramat dalam.

  Martin Lukito Sinaga

Ia menghimbau kepada Patriark yang memimpin umat gereja Rusia dengan warga 59 juta jiwa dengan berkata, “angkatlah suaramu demi saudara-saudara kita yang menderita, yang hampir semuanya adalah anggota gereja Ortodoks yang setia.”

Di Ukraina terdapat juga Gereja Ortodoks Ukraina yang bergabung dalam Persekutuan Kanonik dengan Patriarkat Moskow. Status gereja Ortodoks Ukraina otonom, walau dalam kesatuan rohani dengan gereja Moskow di bawah pimpinan Patriark Kirill.

Memang gereja Ortodoks ini telah mengeluarkan diri dari asuhan rohani Rusia, dan pada tahun 2019 mendapat pengakuan “autocephaly” atau otonomi dari Patriark Bartolomeus dari Konstantinopel atauI stambul, selaku kepala kehormatan gereja Ortodoks se-Dunia.

Sekali pun lembaga keumatan di Ukraina telah otonom dan berpisah akibat perang pendudukan Krimea tahun 2014 lalu, namun perang kali ini tetap mendera warga jemaat ortodoks itu sendiri, terlebih yang hidup di Ukraina; 72% dari 42 juta warga Ukraina adalah anggota gereja Ortodoks. Inilah keprihatinan Iaon Sauca sehingga ia mendesak Patriark Kirill agar bersuara menghentikan perang. Suara gereja di Indonesia dalam hal ini diwakili oleh surat DGD tersebut.

Atas surat yang dikirim tersebut,Patriark Kirill menjawab pada 10 Maret 2022 bahwa sikap gereja ortodoks Rusia, selaku anggota yang setara dengan gereja lainnya selalu untuk rekonsiliasi, juga dalam konteks dramatis di Ukraina. Namun Patriark Kirill mencoba menjelaskan akar konfliknya, yaitu pada model hubungan Eropa Barat dan Rusia. Ia menegaskan bahwa Barat berjanji menghormati keamanan dan martabat Rusia, sejak komunisme Soviet hancur. Tapi Barat melalui NATO malah membangun kehadiran militer yang telah mencemaskan bangsa Rusia.

Lalu Patriark Kirill menambahkan analisisnya bahwa Barat telah pula mencoba membuat orang-orang yang semula bersaudara dan berakar dalam kesatuan rohani, yaitu Rusia dan Ukraina menjadi bermusuhan. Hal itu menurutnya melalui membanjiri Ukraina dengan senjata dan instruktur perang serta ideologi anti-Rusia. Ini adalah suatu strategi geopolitik skala besar yang bertujuan, pertama dan terutama, untuk melemahkan Rusia. Di situlah akar peperangan ini, tegas Patriark Kirill.

Sikap Barat yang terus menggerus Rusia ini, menurutnya makin nyata dengan sanksi ekonomi terhadap Rusia belakangan ini. Patriak Kirill pun mengakhiri surat balasannya dengan harapan agar DGD tetap menjadi platform untuk dialog yang tidak bias, bebas dari preferensi politik dan pendekatan sepihak.

Russkiy Mirr

Sikap tegas Patriark Kirill di atas bisa mengejutkan, walau kalau kita mengaitkan dengan perkembangan mutakhir bangsa Rusia, hal itu bisa dijelaskan. Terutama perkembangan yang bersifat ideologis.

Ideologi Russkiy mirr telah dihidupkan sejak 20 tahun lalu, khususnya oleh Presiden Vladimir Putin; gagasan ideologis “Kerusiaan” atau “Rusia Suci” ini bersifat restoratif  yang berisikan wawasan kerusiaan yang luas. Bahkan untuk itu dipakai gagasan rohani “Trinitas Rus” untuk menunjuk jangkauannya: Rusia, Ukraina dan Belarusia sebagai “tiga yang satu”.

Namun demikian, ideologi ini suatu posisi reaktif atas dunia unipolar Barat-Amerika, dan hal itu disebut Putin dalam konferensi keamanan di Munich tahun 2007. Ideologi ini jadinya suatu sintesa: antarak ebangsaan yang jaya dan keamanan dalam negeri Rusia, serta spiritualitas gereja ortodoks yang mengakar ribuan tahun.

Jejak rohani yang member asupan pada ideologi mutakhir Rusia ini dapat digali sejak konversi bangsa Slavik ke dalam kepercayaan gereja ortodoks. Mereka mengikuti spiritualitas gereja Ortodoks Timur, yang berpusat di Konstantinopel dan member mereka suatu ritus mistik kehadiran ilahi dan monastisme dengan para imam sebagai “startsy”. Para “startsy” itui alah pemandu hidup rohani yang sekaligus konselor bagi umat.

Saat revolusi Bolshevik 1917, para imam gereja ortodoks sungguh menderita, 85.000 imam gereja ini dibunuh oleh rezim komunis tersebut (Tim Grass, Modern Church History, 2008). Leon Trosky bahkan meruntuhkan katedral Moskow pada tahun 1930 dan menjadikannya kolam renang. Padahal di katedral itulah bahasa Slavionik klasik yang merdu dinyanyikan, mengisi 75% ibadah gereja itu. Kejahatan yang tak terperi telah ditanggung oleh gereja ini dengan kelentingan rohani yang sedemikian vital.

Makanya beberapa waktu lalu, juru bicara gereja ortodoks Rusia, Vsevold Chaplin mengatakan bahwa presiden Vladimir Putin adalah pemimpin negara yang paling simpati pada gereja sejak 1917. Dan hal ini terbukti dengan banyaknya gereja yang dibangun di era pasca-Soviet di bawah kepemimpinan Putin. Pada 1987 hanya ada tiga biara di Rusia; kini ada 478. Dulu hanya ada duas ekolah teologi,sekarang ada 25. Yang paling mencolok adalah pertambahan jumlah gereja, dari sekitar 2.000 pada masa Gorbachev, kini mendekati 13.000. Di kota Moskow setiap hari diupayakan agar gereja ortodoks selalu ada di sekitar rumah, sejauh kaki melangkah.

Maka jelaslah bahwa kini gereja ortodoks itu sedang menempuh restorasinya di Rusia, hal yang bagi gereja itu suatu momen kembali lagi kepada inti kerohanian bangsanya. Bahkan gereja ini berhasil pada tahun 1997 meminta pemerintah Rusia agar membatasi kehadiran dan upaya-upaya berkembangnya gereja-gereja Barat dan Amerika yang banyak masuk ke Rusia. Semangat gereja ini cocok dengan ideologi Russkiy Mirr yang diajukan Putin tersebut; hal ini untuk mengisi kekosongan ideologi pasca runtuhnya komunisme Soviet.

Jalan Damai Gerejawi

James H. Billington, seorang ahli Rusia mencatat bahwa tantangan gereja Ortodoks Rusia pasca-komunisme ialah mengambil jarak dengan negara dan menjadi hati nurani bangsanya, sambil menjadi bagian dari gerakan masyarakat sipil di dalam Rusia yang demokratis. Hal ini tentu tidak mudah, apalagi dalam pengertian diri gereja Ortodoks yang muncul di sepanjang sejarah ialah bahwa mereka ingin menegaskan diri bukan seperti sikap gereja Katolik yang berpusat pada hirarki yang puncaknya pada Paus. Bukan pula seperti gereja Protestan yang sedemikian lepas satu dengan lainnya dan kerap jadi anarki. Gereja Ortodoks penjaga ajaran Kristen yang benar sembari membangun harmoni dengan negara tempatnya tumbuh.

Teolog gereja ortodoks Pantelis Kalaitzidis (Ortodoxy and Political Theology, 2012) sudah lama mengingatkan bahwa dunia modern bukanlah ancaman bagi iman gerejaortodoks. Ada sikap anti-Barat yang terus didengungkan di gereja Rusia, seperti sekularisasi dan maraknya dukungan gereja Barat atas orientasi seksual sesama jenis (LGBT).  Bagi Kalaitzidis tidak bisa lagi suatu memori ideal “simfoni” kekaisan dan gereja di zaman abad pertengahan Bizantium dijadikan dasar sikap sosial politik gereja. Ini suatu konservatisme yang yang undur. Secara teologis, katanya karya ilahi selalu bersifat eskatologis, bukan status quo. Kalau bayangan ideal masa lalu Bizantium hendak dikembalikan, maka yang muncul adalah modeletno-nasionalisme masa kini.

Kekhasan rohani gereja Ortodoks bahwa transformasi telahber langsung karena Tuhan menyucikan manusia perlu diterjemahkan dalam arah kemanusiaannya. Kalau gereja ini menolak dualism antara yang suci dan yang duniawi, maka kesucian kiranya bisa mentransformasi keadaan-keadaan miskin dan tertindas dari setiap manusia, catat Kalaitzidis.

Gereja ini juga terkenal dengan prinsip “liturgy after liturgy”, atau ibadah setelah ibadah. Dan itu berarti realitas dunia di luar atau setelah ibadah sama sucinya dengan penyucian ilahi yang berlangsung saat ibadah. Kesucian kiranya jadi daya yang mengubah perang jadi damai, permusuhan jadi kerja sama, dendam jadi pengampunan.*

Penulis adalah Anggota Komisi Hubungan Antaragama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)

Editor : Sabar Subekti
 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home