Loading...
RELIGI
Penulis: Bayu Probo 17:39 WIB | Selasa, 11 Maret 2014

Gunung Slamet Pusat Spiritualitas di Jawa

Embusan asap mengepul dari kawah Puncak Gunung Slamet, Jateng, Senin (11/3). Pusat Vulkanologi, Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan sejak Senin pukul 21.00 WIB, status aktivitas Gunung Slamet dinaikkan dari level Normal, menjadi Waspada, dan mengimbau agar tidak ada aktivitas dalam radius dua kilometer dari kawah Gunung Slamet. (Antara/Idhad Zakaria)

SATUHARAPAN.COM – Gunung Slamet (3.428 meter di atas permukaan laut, dpl) adalah gunung berapi aktif. Dari catatan, frekuensi letusan antara lima puluh tahun hingga beberapa kali dalam setahun. Gunung yang dikelilingi berbagai mitos ini namanya terkait erat dengan penyebaran Islam di Jawa. Hingga kini jadi salah satu pusat spiritualitas di Jawa.

Pada Senin (10/3), Pusat Vulkanologi, Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mengumumkan Gunung Slamet berstatus waspada—sebelumnya normal. Selain Slamet ada empat gunung lain yang juga berstatus waspada, yaitu Kelud (Jawa Timur), Raung (Jawa Timur), Ibu (Halmahera), Lewotobi (NTT). Sedangkan, Gunung Karangetang (Sulut), Rokatenda (NTT), dan Lokon (Sulut) berstatus siaga. Gunung Sinabung yang sudah lebih dari enam bulan aktif, masih berstatus awas.

Gunung Slamet terdapat di Pulau Jawa, berada di perbatasan Kabupaten Brebes, Banyumas, Purbalingga, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah. Gunung tertinggi di Jawa Tengah, serta kedua tertinggi di Pulau Jawa ini, punya empat kawah. Kawah IV merupakan kawah terakhir yang masih aktif sampai sekarang, dan terakhir aktif hingga pada level waspada pada Maret 2014 .

Gunung Slamet cukup populer bagi pendaki gunung meskipun medannya dikenal sulit. Di kaki gunung ini terletak kawasan wisata Baturaden yang menjadi andalan Kabupaten Banyumas karena hanya berjarak sekitar 15 km dari Purwokerto.

Sebagaimana gunung api lainnya di Pulau Jawa, Gunung Slamet terbentuk akibat subduksi Lempeng Indo-Australia pada Lempeng Eurasia di selatan Pulau Jawa. Retakan pada lempeng membuka jalur lava ke permukaan. Catatan letusan diketahui sejak abad ke-19. Gunung ini aktif dan sering mengalami erupsi skala kecil.

Erupsi Gunung Slamet tercatat pertama kali pada 1772. Sebelum itu, erupsi tidak tercatat. Saat meletus Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro, 53 tahun kemudian, Gunung Slamet kembali “batuk”.

Berikut adalah tahun-tahun erupsi Gunung Slamet: 1772, 1825, 1835, 1847, 1849, 1860, 1875 (2 kali), 1885, 1890, 1904, 1923, 1926, 1927, 1928, 1929, 1930, 1932, 1933, 1934(?), 1937, 1939 (2x), 1940, 1943(?), 1944, 1948, 1951 (2 kali), 1953, 1955, 1957, 1958(2x), 1960-61, 1966, 1967 (Jun-Jul), 1969 (Jun-Agt), 1973 (Agt), 1974 (Mei), 1988 (Jul), 1999 (Mei-Sep), 2000 (Jul-Okt) (?), 2009 (April-Sep).

Berganti Nama

Sejarawan Belanda, J Noorduyn berteori bahwa nama "Slamet" adalah relatif baru, yaitu setelah masuknya Islam ke Jawa (kata itu merupakan pinjaman dari bahasa Arab—aslam, yang artinya selamat). Ia mengemukakan pendapat bahwa gunung yang disebut sebagai Gunung Agung dalam naskah berbahasa Sunda—mengenai petualangan Bujangga Manik—adalah Gunung Slamet, berdasarkan pemaparan lokasi yang disebutkan.

Berdasar cerita rakyat setempat, Syeh Maulana Maghribi-lah yang mengubah nama gunung itu menjadi Gunung Slamet. Ia  adalah penyebar agama Islam dari negeri Rum-Turki.  Saat ia melewati daerah Banjar, Maulana menderita sakit gatal di sekujur tubuh dan sulit disembuhkan.

Suatu malam setelah menjalankan salat tahajud, Maulana mendapat ilham bahwa ia harus pergi ke gunung di dekat daerah itu. Setiba di lereng gunung, ia menemukan sumber air panas yang mempunyai tujuh buah pancuran. Syeh Maulana memutuskan tinggal di tempat itu untuk berobat dengan mandi secara teratur di sumber air panas yang memiliki tujuh buah mata air. Akhirnya ia sembuh. Kemudian Syeh Maulana memberi nama tempat itu Pancuran Tujuh. Karena Syeh Maulana mendapat kesembuhan penyakit gatal dan keselamatan di lereng gunung itu, ia mengganti nama menjadi Gunung Slamet. Namun, secara historis, kisah tersebut belum dapat dipastikan.

Mitos

Gunung Slamet dikenal sebagai salah satu pusat kegiatan spiritual Jawa, seperti Gunung Lawu.  Banyak orang dari berbagai daerah datang ke Gunung Slamet untuk misi spiritual berdoa agar keinginan dan apa yang cita-citakan terkabul.

Mereka yang ingin melaksanakan kegiatan spiritual diwajibkan membawa persyaratan kembang dan kemenyan, selain itu pendaki harus bersama juru kunci. Jika tidak membawa persyaratan, pendaki akan melihat kejadian aneh, tapi tidak berbahaya.

Menurut informasi mereka yang datang ke Gunung Slamet bukan saja dari kalangan biasa. Ada pula kalangan pejabat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan istrinya Ani Yudhoyono pada 21 Februari 2013 juga mengunjungi wilayah Gunung Slamet.

Konon, Gunung Slamet dihubungkan dengan penggantian presiden Indonesia. Presiden yang berkunjung ke daerah sekitar Gunung Slamet, tidak lama kekuasaannya berakhir. Sastoro, anggota DPR RI periode 1999-2004 yang berasal dari Tegal mengungkapkan bahwa Presiden Soekarno sekitar 1964 datang mampir ke Waduk Cacaban (di utara Gunung Slamet). Tidak lama setelah itu terjadi kekacauan 1965 dan Soekarno tumbang.

Serupa hal itu, yakni Gus Dur sehabis berkunjung ke pesantren temannya di Tegal tak lama kemudian lengser. Megawati tanggal 4 Juli 2004 meresmikan TPI di Tegal, setelah itu kalah pilpres.

Spiritualis Ki Joko Bodo juga bercerita, tujuan spiritual dari kunjungan SBY ke Gunung Slamet, justru akan membawa malapetaka bagi SBY.  

Menurutnya Presiden Soeharto sesaat sebelum lengser juga melakukan kunjungan ke Gunung Slamet. (volcanodiscovery.com/volcanolive.com/wikipedia.org/kompasiana.com/tribunews.com)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home