Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 07:08 WIB | Sabtu, 11 Februari 2017

Hidup Menurut Standar Allah

Dasar segala keinginan untuk melaksanakan hukum Tuhan bukanlah karena perintah itu sendiri, tetapi karena keinginan untuk mengasihi Allah.
Musa dengan Sepuluh Firman Allah (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Hukum makin melemah daya cengkramnya di Indonesia belakangan ini. Pelanggaran hukum terkesan lumrah. Tak hanya dilakukan oleh kalangan eksekutif, tetapi juga kalangan legislatif, bahkan yudikatif. Tak heran, muncul pemahaman baru: hukum dibuat untuk dilanggar.

Pada zaman Yesus sebaliknya. Di masa itu orang Yahudi, khususnya orang Farisi dan ahli Taurat, sangat getol dengan hukum. Namun, persoalan yang dikritik Yesus ialah mereka menjalani hukum sekadar legalitas formal. Mereka menaati hukum hanya dengan satu niat: agar jangan dihukum. Sehingga mereka merasa sudah nyaman apabila tidak melanggar hukum. Dan hanya sampai di situ.

Yesus berbeda. Bagi Dia, dasar segala keinginan untuk melaksanakan hukum Tuhan bukanlah karena perintah itu sendiri, tetapi karena keinginan untuk mengasihi Allah. Jadi, dasar melakukan perintah itu bukan agar tidak dihukum, namun karena mereka memang mengasihi Allah. Karena itu, Yesus membenci segala hal yang berbau formalisme. Jika hanya berdasarkan formalisme, maka orang sudah merasa puas jika dia tidak melakukan pembunuhan.

Karena itu, Yesus menegaskan: ”Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.” (Mat 5:22).

Dalam Alkitab BIMK (Bahasa Indonesia Masa Kini) tertera: ”Tetapi sekarang Aku berkata kepadamu, barangsiapa marah (beberapa naskah kuno: barangsiapa marah tanpa sebab) kepada orang lain, akan diadili; dan barangsiapa memaki orang lain, akan diadili di hadapan Mahkamah Agama. Dan barangsiapa mengatakan kepada orang lain, ’Tolol,’ patut dibuang ke dalam api neraka.”

Mengapa? Karena semua tindakan tadi sejatinya merupakan penghinaan terhadap harkat dan martabat orang lain. Dan merendahkan harkat dan martabat orang lain sama halnya dengan menghina Sang Pencipta.

Juga Yesus memperluas dan memperdalam dosa seksual. Dalam pandangan Yesus dosa seksual itu juga mencakup pandangan dan khayalan yang berahi. Mengapa? Sebab, memandang orang lain dengan berahi pada dasarnya telah menjadikan orang yang kita pandang itu sebagai benda yang bisa dipermainkan sekehendak hati kita. Pada titik ini sejatinya telah terjadi penghinaan yang luar biasa terhadap ciptaan Allah.

Lagi pula, perbuatan-perbuatan onar biasanya didahului khayalan-khayalan onar. Dan menggeloranya imajinasi dimulai merupakan akibat dari mata yang tidak terkendali. Tak heran, jika Yesus langsung mengajarkan hal yang sering ditafsirkan secara harfiah.

Sebenarnya, menurut John Stott, yang dimaksud Yesus dengan pencungkilan mata, pemenggalan tangan dan anggota tubuh yang lain adalah jika mata menyebabkan kita berbuat dosa, janganlah lihat; jika tangan menyebabkan kita berbuat dosa, janganlah jamah; dan jika kaki menyebabkan kita berbuat dosa, janganlah pergi. Dengan kata lain, kita harus menolak membaca buku tertentu, melihat film tertentu, dan mengunjungi tempat-tempat yang membuat kita memerosokkan diri ke dalam lubang dosa.

Selanjutnya, Yesus berbicara soal kesetiaan terhadap perkawinan dan kejujuran dalam ucapan. Pada bagian kesetiaan terhadap perkawinan, sejatinya Yesus hendak menekankan agar para pengikut-Nya sungguh-sungguh mampu mengasihi orang lain sebagaimana mereka mengasihi diri mereka sendiri. Yesus tidak ingin para pengikutnya menganggap pasangan hidupnya boleh diberlakukan semena-mena, tak ubahnya benda.

Sekali lagi menurut John Stott, jika perceraian terjadi akibat ketegaran hati manusia, maka sumpah adalah akibat dari ketidakjujuran manusia. Banyak orang bersumpah karena takut orang tidak percaya kepadanya. Sumpah biasanya timbul karena orang begitu sering berbohong. Karena itulah, Yesus mengajarkan hal sederhana: jika ya katakana ya, jika tidak katakan tidak. Dan lagi, kalau satu kata sudah cukup, mengapa pula harus memakai dua kata?

Yesus menekankan bahwa standar moral yang diberikannya itu merupakan konsekuensi logis dari jalan yang mereka tempuh sebagai pengikut-Nya! Dan semuanya itu dilakukan bukan karena keterpaksaan, tetapi karena semua itu merupakan keniscayaan sebagai pengikut Kristus.

Dan orang yang mengikuti jalan Kristus semestinya berbahagia karena mereka dianggap layak berada di jalan tersebut. Itu jugalah yang ditekankan pemazmur: ”Berbahagialah orang-orang yang hidupnya tidak bercela, yang hidup menurut Taurat TUHAN” (Mzm. 119:1).

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home