Loading...
HAM
Penulis: Francisca Christy Rosana 15:07 WIB | Sabtu, 13 Desember 2014

Ibu Korban Tragedi Semanggi Dihadirkan di Opera Gandari

Telah 378 aksi payung hitam kami lakukan, 339 surat kami kirim pada presiden yang lalu, 8 pucuk surat pada presiden Jokowi, dan kami tidak tahu akan berapa kali lagi aksi Kamisan akan kami lalui, berapa pucuk surat lagi kami tulis dan kami kirim pada Presiden.”
Ibu korban tragedi Semanggi 1 Bernadinus Realino Irawan, Maria Catarina Sumarsih saat menaburkan bunga kepada foto anaknya yang meninggal akibat tertembak dalam tragedi Semanggi I tahun 1998. (Foto: Dok.satuharapan.com/Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ibu korban Tagedi Semanggi 1 Bernadinus Realino Irawan, Maria Catarina Sumarsih, dihadirkan di tengah-tengah pertunjukan Opera Tari Gandari, sebuah pertunjukan multidisiplin yang diangkat dari sajak gubahan Goenawan Mohammad (GM) di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta, Jumat (12/12) malam.

Kehadiran Maria diiringi instrumentasi orkestra Asko|Schönberg – Slagwerk Den Haag, membawa penonton larut dalam kepiluan.

Landung Simatupang, sastrawan yang menjadi narator sajak GM ketika ditemui satuharapan.com seusai pertunjukan menduga kemunculan Maria ini untuk memperjelas dan menggarisbawahi pesan pertunjukan yang ingin disampaikan oleh sutradara, Yudi A Tajudin.

“Dalam cerita Gandari itu, digambarkan seorang ibu kehilangan anak-anaknya. Setiap hari ia melihat anaknya mati karena perang,” kata Landung.

Gandari ialah tokoh dari cerita pewayangan Mahabarata yang melahirkan 100 anak dan merasakan kepiluan karena melihat anaknya mati satu per satu dalam perang ternyata relevan dengan apa yang terjadi saat ini.

“Sebagai ibu yang kehilangan anak ini, tragedi itu terjadi sekarang di depan kita,” kata Landung.

Dihadirkannya Maria untuk bermonolog selama kurang lebih lima menit merupakan benang merah dari pertunjukan.

Kisah Korban Semanggi 1

Masih dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) internasional yang diperingati pada 10 Desember, Maria di tengah panggung bercerita tentang kronologi kematian anaknya dalam tragedi kemanusiaan Semanggi 1.

“Wawan anak saya, hidupnya terhenti 16 tahun yang lalu, tepatnya pada hari Jumat 13 November 1998,” kata Maria membuka monolog dengan dramatis.

Wawan dijelaskan Maria telah menjadi korban di tengah arus demonstrasi mahasiswa menolak sidang istimewa MPR dan menuntut turunnya rezim Soeharto sebagai penguasa selama 32 tahun.

Saat itu, Wawan memilih menjadi tim relawan kemanusiaan untuk membantu demonstran.

Kemudian saat aksi demo dilancarkan di depan kampus Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Wawan melihat salah seorang temannya tertembak.

“Wawan sontak meminta izin dari seorang petugas militer untuk menolong temannya. Ketika itu Wawan mengangkat bendera putih sebagai tanda untuk memberi bantuan. Namun, ia tiba-tiba ditembak. Hasil otopsi dokter menyebutkan Wawan meninggal karena terkena peluru tajam standar militer,” kata Maria.

Selama bertahun-tahun, Maria mengaku hanya terkungkung dalam suasana duka, menangis, berdoa, dan membaca Kitab Suci.

Selanjutnya, kata Maria, ia memutuskan untuk berbuat sesuatu, bergabung dengan para orangtua korban yang anaknya ditembak, hilang, atau dibunuh dalam tragedi kemanusiaan 1998 itu.

“Kami mencoba mencari kebenaran dan keadilan  atas apa yang terjadi pada anak-anak kami. Semua telah kami lakukan, namun sampai hari ini tak membuahkan hasil,” ujar Maria.

Maria mengaku, ia dan para orangtua lain sesungguhnya lelah dan putus asa. Sejak tujuh tahun lalu, persisnya sejak Kamis 18 Januari 2007 didukung masyarakat berbagai lapisan melakukan aksi damai di depan Istana Presiden. Aksi itu disebut aksi Kamisan.

Kamisan telah berjalan hampir delapan tahun. “Kami berdiri di sepanjang police line, diam di depan istana yang megah itu. Telah 378 aksi payung hitam kami lakukan, 339 surat kami kirim kepada presiden yang lalu, 8 pucuk surat pada Presiden Jokowi, dan kami tidak tahu akan berapa kali lagi aksi Kamisan akan kami lalui, berapa pucuk surat lagi kami tulis dan kami kirim kepada Presiden,” kata Maria.

Menutup monolognya, Maria mengatakan negara bertanggung jawab atas kejadian kemanusiaan ini. “Setiap Kamis kami akan tetap berdiri di sana menggunakan pakaian hitam dan berpayung hitam, sampai keadilan ditetapkan,” ujar Maria. 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home