Loading...
INDONESIA
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 16:09 WIB | Senin, 06 Juni 2016

ICJR: Mekanisme Praperadilan Harus Direformasi Total

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). (Foto: icjr.net)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai Mahkamah Agung dalam Peraturan MA (Perma) belum cukup komprehensif mengatur soal praperadilan. ICJR memandang reformasi total perlu dilakukan dalam mekanisme praperadilan di Indonesia.

Perma yang dimaksudkan oleh ICJR ialah Perma yang dikeluarkan tanggal 18 April 2016 Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali (PK) putusan praperadilan. Dengan terbitnya Perma ini, maka mengajukan PK atas putusan perkara praperadilan kini dilarang. Perma larangan PK perkara praperadilan ini menjadikan setiap perkara praperadilan tidak bisa diajukan kasasi, PK, atau banding.

Menurut MA, larangan itu dibuat untuk menghindari kesimpangsiuran berbagai pendapat tentang boleh atau tidak pengajuan PK perkara praperadilan. Perma ini juga berisi tentang objek perkara apa saja yang saat ini dapat diajukan praperadilan, khususnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memperluas objek praperadilan menjadi melingkupi pula sah tidaknya penyitaan, penggeledahan dan penetapan tersangka.

“Perma telah mencoba menjaga kesatuan hukum dalam menghadapi perkembangan hukum mengenai praperadilan, tapi belum komprehensif mengatur soal praperadilan. Perma Praperadilan  justru harus mengakomodir seluruh permasalahan di seputar Praperadilan termasuk pasca Putusan MK, terutama soal pembatasan hak praperadilan bagi buronan (DPO),” kata Supriyadi Widodo Eddyono, Direktur Eksekutif ICJR, dalam siaran pers, hari Minggu (5/6).

ICJR merekomendasikan lebih lanjut beberapa pengaturan yang lebih kaku soal praperadilan terkait kepastian jangka waktu pelaksanaan praperadilan.

Menurut Supriyadi, saat ini tidak ada pengaturan lanjutan terkait jangka waktu praperadilan. Ia menilai antara praktik dan norma hukum terjadi disparitas yang cukup tinggi terkait jangka waktu pelaksanaan praperadilan.

Kedua, masih dibutuhkan pengaturan khusus terkait dengan hukum acara dalam praperadilan.

“Secara umum pengaturan mengenai hukum acara praperadilan di dalam KUHAP kurang memadai dan tidak jelas, sehingga dalam praktiknya hakim banyak menggunakan pendekatan asas-asas hukum acara perdata. Akibatnya, seringkali muncul kontradiksi di antara dua hukum acara tersebut, yang tentunya melahirkan situasi ketidakpastian hukum dan tidak menguntungkan bagi tersangka dalam memanfaatkan mekanisme praperadilan. Mekanisme pengajuan praperadilan memang tidak secara tegas dan rinci diatur dalam KUHAP,” tuturnya.

MA diharapkan memberikan perhatian khusus atas praktik hukum acara yang terjadi dalam praperadilan.

Ketidakpastian antara penggunaan hukum acara pidana atau hukum acara perdata dalam persidangan praperadilan harus diminimalisasi dengan hukum acara yang lebih pasti, termasuk prosedur-prosedur hukum acaranya maupun standar hukum pembuktian praperadilan penahanan, ketidakjelasan siapa pihak yang dibebankan untuk membuktikan dalam praperadilan tersebut dan soal ruang lingkup pembuktian dua alat bukti yang sah.

Ketiga, perlu pengawasan secara umum terhadap praktik praperadilan. Ketersediaan informasi saat ini dianggap tidak signifikan, baik dari akses informasi maupun laporan terkait praktik praperadilan di tiap pengadilan.

Keempat, perbaikan manajemen perkara praperadilan di tingkat Pengadilan Negeri.

“Sistem manajemen yang saat ini harus dibenahi. Permasalahan lain yang mengemuka dalam praktik praperadilan adalah terkait dengan mekanisme beracara yang dipakai dalam sidang praperadilan hingga kini belum menemui kata sepakat, apakah memakai mekanisme peradilan pidana, peradilan perdata, atau memiliki mekanisme sendiri yang berbeda dari dua mekanisme peradilan sebelumnya,” kata dia menambahkan.

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home