Loading...
HAM
Penulis: Martahan Lumban Gaol 09:42 WIB | Jumat, 04 Maret 2016

Jangankan Semanggi, Peristiwa 65 Aja Masih Ada Saksinya

Ketua SETARA Institute, Hendard. (Foto: Dok. satuharapan.com/Martahan Lumban Gaol)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua SETARA Institute, Hendardi, mengaku aneh dengan pernyataan Jaksa Agung, Muhammad Prasetyo, yang ingin merekonsiliasi sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada masa lalu dengan dalil banyak bukti telah hilang serta saksi meninggal dunia sehingga sulit melangsungkan proses hukum.

Menurutnya, dalil itu menujukkan kemalasan Jaksa Agung menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sebab, kata dia, saksi dan bukti seluruh kasus pelanggaran HAM di Indonesia masih ada, termasuk peristiwa pembantaian orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia pada tahun 1965.

“Jangankan Kasus Semanggi, Persitiwa 1965 saja masih ada saksinya walau memang sudah berkurang,” kata Hendardi saat ditemui satuharapan.com di Kantor SETARA Institute, Kawasan Bendungan Hilir, Jakarta, hari Kamis (3/3).

Oleh karena itu, dia meminta Jaksa Agung tidak langsung menempuh jalur rekonsiliasi untuk menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Jaksa Agung harus melakukan penyelidikan lebih dahulu. “Yang selama ini terjadi asal-asalan, lihat berkas langsung dikembalikan,” kata Hendardi.

“Apa yang dilakukan Kejaksaan Agung selama ini juga hanya me-review,” dia menambahkan.

Penghilangan Paksa 1997/1998

Lebih lanjut, dia mengkritisi sikap Pemerintah yang hingga kini belum melaksanakan rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia terkait Kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998. Menurut Hendardi, Pemerintah harus segera membuat keputusan presiden agar kasus tersebut bisa dibawa ke pengadilan HAM.

“Waktu DPR masih memiliki wewenang menentukan sebuah kasus dibawa ke pengadilan HAM atau tidak, Kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998 sudah direkomendasikan untuk dibawa ke pengadilan HAM. Artinya tidak ada pilihan lain, Pemerintah harus buat keputusan presiden untuk kasus itu,” ucapnya.

Dia menegaskan, Kejaksaan Agung tidak bisa merekonsiliasi Kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998, karena kasus tersebut sudah ada rekomendasi penyelesaiannya. “Sekarang ini mau dibungkus rekonsiliasi juga? Sudah gila apa dia (Jaksa Agung)?” ucap Hendardi.

Semanggi

Seruan penolakan gagasan rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu uga disampaikan salah satu keluarga korban peristiwa Semanggi I di Universitas Atma Jaya, Jakarta, Maria Sumarsih.

Sosok yang jarang absen dalam aksi protes di depan Istana Negara setiap hari Kamis demi menuntut keadilan atas putranya, mendiang BR Norma Irawan, atas nama keadilan menolak gagasan rekonsiliasi yang dilakukan tanpa menempuh jalur hukum.

“Ini (rekonsiliasi) adalah alasan yang mengada-ada. Karena apa? Kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, selesai diselidiki Komnas HAM pada Maret 2002. Jadi kalau memang negara ada kemauan untuk menyelesaikan kasus Trisaksi, Semanggi I, dan Semanggi II secara yudisial, tidak ada kesulitan apa-apa,” kata Sumarsih seperti dikutip BBC, Kamis (3/3) kemarin.

Awal Gagasan Rekonsiliasi

Gagasan rekonsiliasi kasus pelanggaran HAM berat masa lalu muncul dalam rapat terbatas soal keamanan dan HAM di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, hari Selasa (5/1) silam. Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Luhut Binsar Pandjaitan, usai ikut dalam rapat terbatas itu mengatakan Pemerintah tidak ingin penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu terus berlarut-larut.

Katanya, Pemerintah tengah mempertimbangkan untuk melakukan pendekatan non-yudisial terhadap penyelesaian enam kasus pelanggaran HAM besar di Indonesia.

"Non-yudisial pendekatannya, kita lagi mencari kalimat yang pas untuk itu, apakah mungkin ‘menyesalkan’ atau bagaimana, tapi saya kira dalam waktu dua-tiga bulan ke depan kita akan selesaikan, tak mau berlama-lama lagi, enam pelanggaran HAM itu karena sudah terlalu lama ditunda,” ucap Luhut saat itu.

Menurut Luhut, arah rekonsiliasi diambil karena Kejaksaan Agung sudah tidak memiliki alat-alat bukti dan fakta yang mampu menyeret penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di pengadilan.”Itu bagian gelap dari sejarah kita dan itu juga bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi di banyak negara, bisa juga terjadi,” kata Luhut.

Ada enam kasus pelanggaran HAM masa lalu yang hendak dituntaskan oleh komite yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo itu, yakni peristiwa 1965, Talangsari, Semanggi I, Semanggi II, penghilangan paksa aktivis, dan Wasior Papua.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home