Kali Ini Jokowi Diyakini Kalahkan SBY Raih Investment Grade
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menjelang kedatangan lembaga pemeringkat Standard & Poor’s ke Indonesia, sejumlah ekonom menyatakan keyakinan bahwa lembaga itu akan menaikkan peringkat Indonesia menjadi investment grade, peringkat yang sebelumnya sudah diberikan juga oleh lembaga rating lain, seperti Moody’s Investors Services dan Fitch Ratings.
Sore tadi, Menko Perekonomian, Darmin Nasution, dijadwalkan mengadakan rapat koordinasi untuk membahas persiapan kunjungan Standard & Poor’s. Turut diundang dalam rapat tersebut, Menko PMK, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner OJK, Ketua KPK, Menteri keuangan, menteri ESDM, Menteri Perdagangan, Menteri Perhubungan, Menteri PUPR, Menteri BUMN, menteri PPN/Ka Bappenas, Kepala Bapepam, Kepala LPS dan Gubernur DKI Jakarta.
Indonesia pertama kali meraih peringkat investment grade sejak krisis ekonomi 1998 adalah di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tahun 2010. Ketika itu, Japan Credit Rating Agency Ltd (JCR) menaikkan peringkat utang valas jangka panjang Indonesia ke level investment grade, menjadi BBB- dari BB+. Disusul oleh Fitch Ratings pada Januari 2011, lalu Moody’s pada Desember 2012.
Namun, sepanjang pemerintahannya, SBY belum berhasil meraih peringkat investment grade dari Standard & Poor’s. Maka apabila Standard & Poor's menganugerahi Indonesia peringkat investment grade tahun ini, Jokowi dapat dikatakan dapat mengungguli SBY di mata lembaga pemeringkat internasional.
Ekonom dan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Destry Damayanti, mengatakan, dirinya optimistis kali ini Standard & Poor’s akan menaikkan peringkat Indonesia. Menurut dia, hampir tidak ada alasan lagi bagi Standard & Poor’s untuk tidak memberikan peringkat investment grade pada Jokowinomics, istilah yang biasa disebut untuk menjuluki kebijakan ekonomi Jokowi.
“Semestinya, kalau kita lihat beberapa concern yang dulu sempat dinyatakan oleh Standard & Poor’s, itu sudah dijawab semua. Misalnya, dulu mereka menyoroti pemerintah yang memberikan subsidi terlalu banyak sehingga anggaran tidak produktif. Nah, sejak tahun lalu kan subsidi sudah dihilangkan, dialihkan ke belanja yang lebih produktif. Jadi sebenarnya ini satu hal yang positif,” kata Destry dalam wawancara dengan satuharapan.com hari ini (28/4).
Yang kedua, kata dia, adalah konteks projek infrastruktur. Sebelumnya, Standard & Poor’s menyoroti projek yang tidak jalan. Namun kini, kata Destry, projek infrastruktur sudah jalan.
“Jadi dua hal yang jadi concern mereka sudah jalan, cuma mungkin, satu hal yang memang jadi concern adalah kelangsungan dari penerimaan pajak sendiri karena penerimaan pajak mungkin yang dianggap akan sulit tercapai,” ia menambahkan.
Sebagai catatan, investment grade adalah peringkat atau rating yang menunjukkan utang pemerintah atau perusahaan yang memiliki risiko yang relatif rendah dari peluang default atau gagal bayar, sehingga memiliki tingkat kepercayaan yang berkelanjutan dalam jangka panjang.
Peringkat investment grade biasanya diberikan kepada suatu negara yang memiliki fundamental ekonomi kuat, stabilitas politik dalam jangka panjang solid, dan memiliki manajemen anggaran pemerintah serta kebijakan moneter yang prudent atau berhati-hati. Ini umumnya ditandai dengan defisit anggaran yang rendah, rasio utang yang rendah dan inflasi yang terkendali.
Lembaga yang memberikan peringkat utang, seperti Standard & Poor's, Moody's dan Fitch Ratings menggunakan peringkat yang berbeda, namun dengan memakai simbol huruf seperti 'A', 'B' atau ‘C’ untuk mengidentifikasi peringkat kualitas kredit suatu perusahaan atau negara. 'AAA' dan 'AA' (kualitas kredit yang tinggi) dan 'A' dan 'BBB' (kualitas kredit menengah) dianggap masuk kriteria investment grade. Peringkat kredit dengan sebutan ('BB', 'B', 'CCC') dianggap kualitas kredit yang rendah.
Menurut Destry, selain dua catatan Standard & Poor’s di atas, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih dapat mencapai 5 persen di tengah perlambatan ekonomi dunia merupakan hal positif lainnya tentang Jokowinomics. “Semestinya Standard & Poor’s dapat melihatnya sebagai sesuatu yang positif bagi Indonesia,” kata Destry.
“Saya melihat peluang untuk mendapatkan investment grade tinggi, apalagi tahun lalu Standard & Poor’s sudah mengubah outlook Indonesia dari netral ke positif. Kalau saya sih melihat potensi ke investment grade sangat besar,” kata dia.
Hal serupa dikatakan oleh ekonom dan matan Deputi Staf Kepresidenan, Purbaya Sadewa. “Kalau dilihat dari kinerja ekonomi kita yang bisa membaik di tengah perlambatan ekonomi dunia, tidak ada alasan bagi Standard & Poor's menunda lagi peringkat investment grade. Tetapi ada kemungkinan mereka akan menggunakan kondisi fiskal kita, target pajak yang terlalu tinggi untuk menunda pemberian investment grade,” tutur dia.
Ekonom Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha, mengatakan kendati Indonesia meraih investment grade, investasi asing langsung tidak akan langsung bertambah secara signifikan. “Ada jeda minimal satu tahun bagi investor mengamati, apakah pemerintah komnsisten mempertahankan berbagai kebijakan untuk memperoleh rating yang lebih tinggi,” kata dia. (kav/mp)
Editor : Eben E. Siadari
Petugas KPK Sidak Rutan Gunakan Detektor Sinyal Ponsel
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar inspeksi mendadak di...