Loading...
DUNIA
Penulis: Bayu Probo 13:42 WIB | Selasa, 05 Agustus 2014

Kekerasan di Gaza Kuatkan Skotlandia Merdeka dari Inggris

Para pendukung kemerdekaan Skotlandia berunjuk rasa. (Foto: AFP)

SATUHARAPAN.COM – Kekerasan yang berlangsung di Gaza mendorong lonjakan dukungan untuk kemerdekaan Skotlandia. Apalagi, di tengah meningkatnya frustrasi atas sikap “lemah” Pemerintah Inggris pada konflik, kata politikus dan aktivis terkemuka setempat.

Sebuah referendum bersejarah untuk masa depan Skotlandia dijadwalkan diselenggarakan pada 18 September, menandai kesempatan sekali dalam satu generasi untuk orang-orang yang memilih berpisah dari Inggris.

Gambaran mengejutkan dari Gaza—dengan lebih dari 1.650 warga Palestina meninggal—serta kurangnya kecaman oleh Perdana Menteri Inggris David Cameron mendorong lebih banyak orang untuk memilih “ya” bulan depan, menurut beberapa pihak pendukung kemerdekaan.

Pemerintah Skotlandia telah aktif dalam tanggapannya terhadap krisis. Mereka menjanjikan £ 500.000 (sekitar Rp 9,24 miliar) bantuan ke Gaza dan merupakan salah satu pemerintah pertama yang berjanji memberikan rumah pengungsi Palestina menyusul gelombang kekerasan baru-baru ini.

Beberapa dari mereka yang mendukung pemisahan penuh dari Inggris mengatakan “ya” akan memungkinkan Skotlandia independen dalam membentuk kebijakan luar negerinya sendiri—dan berpotensi melangkah lebih jauh dalam mengecam tindakan Israel.

Namun, mereka yang mendukung jawaban “tidak”, mengecilkan dampak krisis Gaza pada referendum, dengan beberapa menyatakan bahwa Skotlandia akan lebih berpengaruh pada masalah itu jika tetap menjadi bagian dari Inggris.

Sangat Marah

Shabbar Jaffri dari Konselor Partai Nasional Skotlandia (Scottish National Party for Greater Pollok) untuk wilayah Pollok, Glasgow, mengatakan situasi Gaza mendorong “lebih banyak jumlah” orang untuk memilih kemerdekaan. Partainya, SNP, memimpin kampanye Skotlandia merdeka.

“Orang-orang benar-benar marah pada kurangnya respons atas harapan masyarakat terhadap Pemerintah Inggris,” katanya.

“Israel telah menjadi hakim, persidangan, dan eksekutor. Orang-orang di Skotlandia merasa bahwa selama ini mereka tak berdaya, karena Pemerintah Skotlandia tidak memiliki kontrol atas kebijakan luar negeri kami atau hubungan internasional. Mereka melihat kekejaman di layar TV dan mereka mulai mempertanyakan hal itu. “

Nighet Nasim Riaz, peneliti yang tinggal di Glasgow dan fasilitator kampanye “Skotlandia keturunan Asia untuk jawaban Ya”, mengatakan 30 dari 35 keluarga yang telah dia kunjungi lebih dari 10 hari terakhir kini merencanakan untuk memilih “ya” karena Gaza.

“Seluruh keluarga telah berkata kepada saya, 'kami sebelumnya pasti memilih menjawab tidak',” kata dia.

“Pemerintah Skotlandia mengatakan ingin gencatan senjata; mereka ingin PBB menyelidiki kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang telah berbalik dan berkata, ini adalah masyarakat kita ingin miliki, yaitu masyarakat yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan.”

Kekuasaan Politik

Skotlandia sudah memiliki parlemen sendiri dan kekuatan tertentu melalui proses devolusi yang terjadi di akhir 1990-an. Tapi, kemerdekaan penuh akan memungkinkan negara untuk menghindari apa yang disebut Riaz sebagai “kemunafikan Westminster” atas isu-isu seperti Perang Irak.

“Mungkin, kecil sekali kita mendapatkan kemerdekaan, tapi setidaknya suara kita akan kita sendiri,” kata Riaz.

Humza Yousaf, anggota Parlemen Skotlandia Glasgow, dan Menteri Luar Negeri dan Pembangunan Internasional di Pemerintah Skotlandia, mengatakan ia tidak tertarik pada 'politisasi' isu Gaza mengacu pada referendum.

Namun, dia mengatakan respons Pemerintah Inggris untuk krisis telah “lemah” dan bahwa Skotlandia yang merdeka akan memiliki kesempatan untuk mengajukan kebijakan luar negeri sendiri.

Yousaf menepis kekhawatiran bahwa Skotlandia tidak akan memiliki suara signifikan dalam diplomasi global setelah kemerdekaan. Yang meragukan berargumen Skotlandia tidak akan memiliki tempat—seperti Inggris— di Dewan Keamanan PBB. “Tidak mungkin pengaruhnya lebih kecil dari nol,” katanya.

Tapi, Dr Timothy Peace, akademisi di Universitas Edinburgh, mengatakan kemerdekaan Skotlandia “tidak akan memiliki pengaruh di kancah internasional”. Dan, menurut Peace, Skotlandia mungkin lebih berpengaruh pada isu-isu seperti Gaza dengan tetap bagian dari Inggris.

“Mereka akan menjadi bangsa dengan penduduk lima juta orang, jika Skotlandia merdeka. Bakal  tidak ada orang yang memperhitungkan,” kata dia.

Pilihan Warga Muslim

Skotlandia adalah rumah bagi 77.000 umat Islam, 1,4 persen dari populasi 5,3 juta, menurut data sensus 2011.

Tidak ada perkiraan resmi pada arah mana Muslim Skotlandia cenderung memilih dalam referendum. Tapi, jajak pendapat oleh stasiun radio Skotlandia untuk masyarakat Asia, Awaz FM menemukan bahwa 64 persen dari pendengar mendukung pemisahan dari Inggris.

Yousaf mengatakan bahwa dukungan bisa lebih tinggi dari itu. “Dari pengalaman saya ada setidaknya dua pertiga dukungan untuk 'ya' suara di antara komunitas Muslim. Dan itu perkiraan yang konservatif,” kata Yousaf.

Yvonne Ridley, seorang wartawan dan analis politik, mengatakan reaksi Pemerintah Skotlandia terhadap krisis Gaza telah jauh lebih tegas daripada sikap lemah Pemerintah Inggris di Westminster. Dan yang bisa mendongkrak suara untuk kemerdekaan, katanya.

“Mereka yang ragu-ragu [tentang referendum] lebih baik berdiri dengan pemerintah yang punya sikap yang kuat,” ia menambahkan. “Gaza bukan masalah Muslim, ini merupakan masalah yang dipedulikan banyak orang di Skotlandia.”

Bangga Jadi Warga Skotlandia

Ridley mulai terkenal pada 2001, ketika dia ditangkap oleh Taliban saat memasuki Afghanistan dengan menyamar dalam burqa saat bekerja untuk Sunday Express. Dia masuk Islam setelah dia dibebaskan dan merupakan pendukung kuat dari kemerdekaan Skotlandia saat ia pindah ke kawasan itu dua setengah tahun lalu.

Perempuan berjilbab itu mengatakan sebagian besar Muslim Skotlandia mendukung kemerdekaan dan—karena hasilnya mungkin akan sangat tipis selisihnya—mereka bisa menjadi penentu hasil referendum.

Tapi Dr Peace meragukan apakah Muslim Skotlandia akan membuat banyak perbedaan dalam referendum.

“Ini adalah persentase yang sangat kecil dari keseluruhan populasi, dan tidak semua umat Islam memilih dengan cara yang sama,” kata Peace. “Saya pikir Muslim akan terbagi pada referendum, seperti orang lain.”

Ada “kemungkinan” Skotlandia merdeka akan mengambil garis yang berbeda di Gaza dibanding dengan sikap Inggris, kata Peace. Tapi, Peace meremehkan pentingnya hal ini dalam referendum.

“Saya tidak berpikir Gaza akan membuat perbedaan besar. Saya tidak yakin apakah begitu banyak pemilih—Muslim atau tidak—akan berpikir itu adalah alasan yang baik untuk memilih kemerdekaan,” kata dia. “Ekonomi dan apakah Skotlandia bisa mengatur keuangannya. Mereka lebih peduli pada isu-isu itu.”

Integrasi

Salah satu alasan bagi umat Islam Skotlandia untuk memilih “ya” adalah rasa yang kuat identitas mereka, kata Ridley. “Mereka bangga menjadi Skotlandia. Mereka masih mengenakan jilbab dan memiliki jenggot, tapi menikmati menjadi Skotlandia,“ katanya.

“Komunitas Muslim Skotlandia tahu baik-baik saja jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Inggris. Mereka selalu khawatir pada munculnya Islamophobia.“

Namun, tidak semua orang setuju bahwa integrasi Muslim di Skotlandia adalah seperti yang dijelaskan Ridley. Umbreen Khalid (39), anggota Partai Buruh yang telah tinggal di Skotlandia selama 12 tahun, mengatakan itu adalah negara “paroki”.

“Saya pernah ikut wawancara kerja dan mereka tidak ingin mempekerjakan Anda karena merasa tidak nyaman. Ada sikap yang sangat kuat, ‘Kami tidak ingin Anda terlalu maju,’” kata Khalid.

SNP Alex Salmond, menteri pertama Skotlandia, memiliki rencana untuk meningkatkan migrasi bersih ke Skotlandia untuk sekitar 24.000 setiap tahun setelah kemerdekaan.

Tapi Khalid—yang mengatakan dia memilih “tidak” dalam referendum—skeptis. “Jika orang tidak mendapatkan pekerjaan, maka bagaimana?”

Musuh

Mohammed Razaq, Penasihat Buruh untuk lingkungan Maryhill di Glasgow, mengatakan pandangan pribadinya bahwa umat Islam akan lebih rentan dalam Skotlandia merdeka.

Dia mengatakan orang-orang Skotlandia saat ini memiliki musuh yang sama—Inggris—yang katanya disalahkan “untuk semuanya.” Jika Skotlandia menjadi mandiri, Muslim akan “menjadi sasaran” pada waktu kesulitan, seperti selama masa penghematan ekonomi atau dalam kasus terorisme global, kata Razaq.

“Pasca-kemerdekaan, itu akan menjadi arah yang berbeda, karena musuh bersama tidak akan ada,” katanya. “Siapa yang akan disalahkan kalau begitu?”

Razaq—yang menentang kemerdekaan—mengatakan ia meragukan konflik Gaza akan membuat lebih banyak orang dalam pemungutan suara memilih “ya” meskipun itu akan selalu menjadi isu yang hangat dibicarakan orang Skotlandia.

“Skotlandia telah menghadapi berbagai masalah. Terlepas dari apakah kita akan merdeka atau tidak. Saya kira masalah akan terus ada,” kata Razaq.

Hanzala Malik, anggota dari Parlemen Skotlandia Glasgow, mengatakan orang-orang Skotlandia memiliki “sejarah berdiri dengan mereka merasa belum diperlakukan secara adil.”

Tapi ini tidak berarti masalah Gaza mungkin akan “sangat berpengaruh” dalam referendum kemerdekaan, ia menambahkan.

Malik mengatakan ia percaya orang Muslim “terbagi separuh,” dengan orang-orang muda cenderung mendukung kemerdekaan dan pemilih tua berserikat dengan Inggris.

Seperti partainya, Partai Buruh Skotlandia, Malik dengan tegas bersikap memilih “tidak”. Dia mengatakan suara untuk kemerdekaan akan “kegilaan” karena akan memutuskan hubungan Skotlandia terhadap ekonomi Inggris yang kuat dan makmur.

“Mengapa saya akan mengambil risiko membuang hal yang selama ini saya dapat untuk memperoleh yang kurang enak?” ia bertanya. (alarabiya.net)

Artikel satuharapan.com yang berkaitan dengan pemerintahan Skotlandia dapat Anda baca di:


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home