Loading...
LAYANAN PUBLIK
Penulis: Dewasasri M Wardani 14:32 WIB | Senin, 14 Maret 2016

Kenaikan Iuran BPJS Kebijakan Kontra Produktif

Ilustrasi: antrean panjang di rumah sakit dan Kantor BPJS. (Foto: shiftindonesia.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kebijakan menaikkan tarif iuran BPJS untuk peserta mandiri adalah kebijakan yang kontraproduktif dan tidak mempunyai empati pada saat sedang lesunya pertumbuhan ekonomi dan menurunnya daya beli masyarakat.

Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengeluarkan siaran pers pada Senin (14/3), berkaitan dengan Perpres No 19 Tahun 2016, tentang rencana pemerintah menetapkan kenaikan iuran BPJS yang diberlakukan per 1 April 2016, demi menutup defisit operasional yang mencapai lebih dari Rp 7 triliun sejak 2014.

Sampai detik ini, mernurut Tulus, BPJS belum mempunyai standar pelayanan minimal yang jelas, sehingga hampir di semua lini pelayanan BPJS masih sangat mengecewakan masyarakat. Masih banyak pasien yang ditolak opname di rumah sakit tanpa alasan yang jelas. Sekalipun diterima rumah sakit, tapi pelayanan rumah sakit terhadap peserta BPJS sangat timpang dibanding dengan peserta non BPJS. Dan masih banyak kekecewaan lain, seperti obat tertentu yang tidak ditanggung, antrean panjang, hingga pasien menjemput ajal karena belum ada tindakan medis.

Kenaikan tarif BPJS juga merupakan pelanggaran prinsip kegotongroyongan yang menjadi "jiwa" asuransi sosial dalam BPJS. Jika tarif BPJS terus dinaikkan, apa bedanya BPJS dengan asuransi komersial? Kenaikan iuran BPJS bisa dikategorikan melanggar NAWACITA.

Kalaupun pemerintah ingin menaikkan iuran BPJS, seharusnya yang dinaikkan adalah peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang menjadi tanggungan negara. Pemerintah harus menambah besaran iuran PBI, sebagai tanggung jawab konstitusional negara, bahwa kesehatan adalah hak asasi warga negara. Seharusnya pemerintah justru berterima kasih pada peserta BPJS mandiri, bukan malah mengeskploitasinya dengan menaikkan tarifnya. Pemerintah bisa menggunakan separuh dari dana cukai rokok yang diperolehnya.

Manajemen BPJS dan juga pemerintah, jangan beranggapan setelah ada BPJS tidak serta merta masyarakat tidak mengeluarkan belanja kesehatan, selain BPJS. Justru yang terjadi sebaliknya, masyarakat lebih banyak mengeluarkan budget kesehatan (fee for service), sebagai akibat masih buruknya pelayanan BPJS.

Berapa pun iuran yang diberikan BPJS, finansial BPJS akan tetap defisit, bahkan jebol jika belum ada perbaikan fundamental dari sisi hulu, yakni memperbaiki perilaku hidup sehat masyarakat (dengan tindakan preventif promotif), dan mengembalikan distrust (ketidakpercayaan) masyarakat pada pelayanan kesehatan tingkat dasar.

Oleh karena itu YLKI mendesak pemerintah untuk membatalkan kenaikan iuran BPJS, dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut. (PR)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home