Loading...
EKONOMI
Penulis: Reporter Satuharapan 20:18 WIB | Kamis, 12 September 2013

Kewirausahaan Komunitas Contoh Konkret Ekonomi Hijau

Salah satu produk alas kaki seperti sepatu dan sandal yang terbuat dari bahan baku tumbuhan eceng gondok. (Foto: Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kewirausahaan komunitas adalah contoh konkret ekonomi  “hijau”. Model ini yang bisa menghidupkan ekonomi rakyat  sekaligus menjamin keberlangsungan kelestarian lingkungan hidup dengan nyata. Inilah yang terungkap dalam cerita proses dan pembelajaran yang diungkap 20 komunitas dari berbagai daerah Indonesia yang mengikuti acara Kewirausahaan Komunitas Menuju Gerakan Indonesia Hijau, 10-12 September, di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta.

Kewirausahaan komunitas adalah sebuah usaha kelompok masyarakat yang melihat adanya potensi ekonomi yang muncul belakangan setelah  mereka melakukan gerakan (movement) dalam menjawab permasalahan lingkungan atau pun  sosial di sekitar mereka. Keuntungan ekonomi yang mereka dapatkan tidak pernah untuk keperluan kapital besar (industri/perusahaan), melainkan dikembalikan kepada kebutuhan ekonomi harian komunitas yang sederhana, dan diperuntukkan untuk memperluas perbaikan lingkungannya kembali.

Salah satu contoh konkretnya telah ditunjukkan Kelompok Perempuan Muara Tanjung, Serdang Bedagai, Sumatra Utara (Sumut), yang digerakkan oleh para istri nelayan di Desa Sei Nagalawan, yang dimotori ibu rumah tangga bernama Jumiati. Delapan tahun lalu mereka berjuang dalam menumbuhkan kembali hutan mangrove di pesisir pantai desa mereka. Pikiran mereka hanya sederhana, agar desa mereka bisa selamat dari hantaman ombak, dan banjir rob. Lebih dari itu ingin memastikan keselamatan dan kenyamanan hidup bagi anak-anak mereka. Dalam proses menanam mangrove, mereka sempat dicela dan dicibir oleh sebagian tetangga mereka sendiri. Sejumlah mangrove bahkan sempat dirusak. Namun mereka teguh. Kini mangrove yang mereka tanam seluas 12 ha tumbuh subur menjadi hutan mangrove yang menghidupkan kembali kehidupan sekitar. Ikan-ikan, kepiting mangrove yang semula tidak ada, kini bermunculan. Hutan mangrove mereka kini juga disukai berbagai jenis burung migran dunia sebagai tempat singgah. Lebih dari itu hutan mangrove yang mereka lahirkan itu kini menjadi tempat wisata menarik bagi mahasiswa dan masyarakat luar yang ingin menikmati kehidupan alam asli. 

Usaha ekowisata hutan mangrove ini kemudian disebutkan sebagai Wisata Kampung Nipah. Dari mangrove  yang mereka tanam ini pula menghasilkan kerupuk, dodol, sirup, teh dan tepung kue. Para istri nelayan ini pun tidak pernah lagi tergantung dengan rentenir ketika suami mereka tidak melaut, karena angin barat. Mereka bahkan bisa membeli perahu sendiri untuk suami dan membebaskan diri dari ketergantungan toke ikan. Keuntungan yang mereka hasilkan diperuntukkan untuk membeli bibit mangrove, cemara, membuka usaha lain yang akhirnya menyerap tenaga kerja dari desa mereka sendiri.

Contoh lainnya adalah cerita sekelompok perempuan dari Yogyakarta yang peduli terhadap kelestarian tenun dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka pun mendirikan perusahaan sosial yang diberi nama dengan Lawe. Tujuannya sederhana, hanya ingin memastikan tenun yang ada di pelosok Indonesia tidak punah, dan para pembuatnya tetap semangat dalam menghasilkan tenun khas mereka tersebut, serta mau  menurunkan pengetahuan membuat tenunnya kembali kepada kaum mudanya. Dari sini Lawe pun memberikan berbagai pelatihan dalam meningkatkan kapasitas penenun yang sebagian besar adalah perempuan, sehingga bisa menghasilkan tenun yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Lawe tidak hanya  memperkenalkan tenun khas Indonesia kembali dengan berbagai karya fashion yang dihasilkan, tapi hasil keuntungannya juga dikembalikan kepada pembuat tenunnya. Masih banyak cerita dari komunitas lainnya dalam kegiatan ini, sehingga bisa memberikan pembelajaran antara satu dengan lainnya.

“Ini bukanlah UKM. Ini soal kerja-kerja komunitas, apa yang dilakukan adalah dari komunitas, oleh komunitas, untuk komunitas, Jika mereka dapat keuntungan maka itu akan kembali ke komunitas dan perbaikan lingkungan. Karena awalnya adalah mereka bergerak untuk perbaikan lingkungan serta sosial dan bukan mencari keuntungan karena itu. Potensi ekonomi baru mereka lihat belakangan, dan itu pun guna memelihara keberlanjutan yang telah mereka perjuangkan,” jelas Catharin Dwihastarini, Koordinator Nasional GEF-SGP Indonesia.

Dia berharap kewirausahaan komunitas yang diawali dengan pergerakan perjuangan untuk memperbaiki lingkungan dan sosial tidak lagi dianggap sebagai perlawanan, tetapi sebagai menjawab solusi atas tantangan persoalan yang dihadapi suatu wilayah tersebut. Jadi seharusnya, terutama pemerintah, justru bisa memberikan dukungan penuh terhadap gerakan tersebut. Karena ternyata terbukti, justru telah membawa kesejahteraan masyarakat dan juga keberlanjutan lestarinya lingkungan dan perdamaian.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home