Loading...
INDONESIA
Penulis: Reporter Satuharapan 23:30 WIB | Selasa, 20 September 2016

Kualitas Teroris di Indonesia Menurun

Pekerja menguburkan jenazah Ibrohim, DPO Teroris Poso yang ditembak mati Satgas Operasi Tinombala di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Poboya Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (19/8). Ibrohim yang diidentifikasi sebagai warga suku Uighur Tiongkok tewas dalam kontak senjata di pegunungan Padopi, dusun Maros, Desa Kilo, Kecamatan Pos Pesisir Utara, Kabupaten Poso pada Rabu (17/8) lalu. (Foto: Antara)

SURAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Mantan kombatan Afganistan, Moro, dan Ambon, Ali Fauzi mengatakan kualitas kemampuan kelompok teroris di Indonesia mulai 2009 hingga 2016 jauh menurun dibandingkan kelompok teroris pada periode sebelumnya.

"(Dibanding saat ini) memang jauh berbeda, kalau periode 2000-2009 mereka `high class`. Mereka dilatih di beberapa negara dan standar militer, mereka kuasai," kata Ali Fauzi seusai menjadi pembicara dalam "Short Course Penguatan Perpektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme" yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai di Surakarta, hari Selasa (20/9).

Ali Fauzi menjelaskan untuk pelaku teror belakangan ini rata-rata hanya mendapatkan pendidikan singkat yang dilakukan di beberapa pegunungan di Indonesia. Sementara para pelaku teror pada periode awal sebagian besar mendapatkan pendidikan bertahun-tahun di sejumlah camp milik Al-Qaeda di Afghanistan dan Mindanau.

"Jadi secara kualitas kemampuan individu kelompok teroris pada periode awal jauh lebih matang dibanding yang sekarang," kata Ali yang merupakan mantan kepala instruktur perakitan bom Jamaah Islamiyah (JI) itu.

Hal itu merujuk sejumlah peristiwa teror bom di Indonesia pada periode 2000-2009 yang menggunakan bom seberat 350 kilogram hingga satu ton dengah jumlah korban ledakan puluhan hingga ratusan.

Sementara belakangan ini meskipun secara kuantitas aksi teror lebih banyak, namun korban yang ditimbulkan jauh lebih sedikit. Ini karena bom yang dirancang berbeda dengan periode awal. "Seperti yang terjadi di Mapolresta Solo itu, (bagi saya) bukan bom, melainkan mercon," kata Ali.

Kendati demikian, Ali berharap jajaran aparat Kepolisian, TNI, dan Badan Intelijen Negara (BIN) lebih jeli dalam melakukan deteksi dini, mengingat tidak menutup kemungkinan akan banyak kelompok ISIS asal Indonesia yang pulang dari Suriah.

"Pemerintah tentu harus melakukan deteksi dini baik individu maupun kelompok yang berpotensi memiliki akses untuk membuat teror bom," kata dia.

Ia menambahkan dari sisi pendanaan jaringan terorisme pada periode sekarang ini lebih mengarah menggunakan dana dari sumber-sumber lokal, sebab kebijakan pencegahan dan pelacakan pencucian uang (money laundering) sebagai sarana aliran dana terorisme di Indonesia cenderung lebih diperketat oleh pemerintah.

"Sampai-sampai mereka (kelompok teroris) merampok Bank CIMB Niaga di Medan untuk mengkover dana yang mereka butuhkan," kata dia.

Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Solahudin menilai peristiwa teror bom yang terjadi belakangan ini lebih disebabkan persaingan antarpimpinan kelompok radikal seperti Jemaah Ansharut Tauhid (JAT) dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) untuk mendapatkan pengakuan ISIS.

"Ini menguntungkan karena mereka tidak kompak lagi dan saling bersaing. Tetapi di sisi lain perlu diwaspadai karena mereka bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan pengakuan ISIS," kata dia. (Ant)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home