Loading...
INSPIRASI
Penulis: H Hans Panjaitan 07:48 WIB | Jumat, 15 Juli 2016

Makan Malam yang Menyedihkan

Saya merasa dia memendam kecewa dan sedih karena tidak diberi kesempatan mencicipi makanan mewah tersebut.
Foto: istimewa

SATUHARAPAN.COM – Untuk merayakan hari jadi pernikahan, saya dan istri makan malam di sebuah restoran yang membuka gerai di sebuah mal. Seperti biasa, tempat tersebut ramai oleh pengunjung, kebanyakan orangtua dan anak. Semua orang yang bersantap di restoran itu tampak bersukacita. Agaknya, mereka sadar bahwa makan bersama keluarga, di tengah kesibukan pekerjaan, merupakan momen spesial.

Tanpa sengaja saya memperhatikan sebuah keluarga yang begitu happy menikmati makanan dan minuman yang mereka pesan. Sambil menyantap hidangan dan menyeruput minuman, mereka tiada henti berbincang dan bercanda. Senyum dan tawa renyah seolah tidak pernah terhenti dari keluarga itu yang terdiri atas: kakek, nenek, ayah, ibu, anak-anak yang beranjak remaja, dan seorang bayi.

Sementara seluruh anggota keluarga itu menikmati makanan dan minuman, bayi tersebut terlihat nyaman di gendongan seorang gadis yang bisa jadi adalah babysitter mereka. Perasaan saya mulai terusik karena sedari tadi saya tidak melihat gadis itu turut menikmati makanan atau minuman. Dia hanya konsen menyuapi bayi dalam pangkuannya. Tidak ada makanan tersaji di dekatnya, selain makanan bayi itu. Dengan raut muka sabar dan tabah dia menyuapi si bayi, sambil sesekali melirik keluarga majikannya yang melahap makanan dengan riang.

Sudah hampir satu jam kami di situ, istri saya mulai mengajak pulang. Namun, saya belum mau beranjak. Terus terang, saya penasaran bagaimana ”adegan” selanjutnya. Saya ingin tahu apakah Si Mbak itu akhirnya dipesankan makanan atau minuman oleh keluarga yang mempekerjakannya itu, atau tidak sama sekali!

Saya baru mengiyakan permintaan istri untuk pulang setelah rombongan keluarga itu pun mulai bersiap-siap pulang. Dan hingga sejauh itu saya tidak melihat Si Mbak mendapat makanan. Tadinya saya berharap keluarga yang tampaknya mapan itu memesankan makanan bagi dia, setelah mereka selesai bersantap.

Saat meninggalkan meja, saya masih sempat melirik wajah Si Mbak yang lugu. Saya hanya bisa iba dan kasihan. Saya merasa dia memendam kecewa dan sedih karena tidak diberi kesempatan mencicipi makanan mewah tersebut. Ingin rasanya saya memesan makanan untuknya. Dalam keprihatinan, saya berdoa dalam hati semoga dia itu suatu hari nanti diberi rezeki yang melimpah oleh Tuhan. Sehingga dia pun bisa menikmati hidangan lezat di restoran mewah dan berkelas.

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home