Loading...
OPINI
Penulis: Ulil Abshar-Abdalla 09:49 WIB | Senin, 27 Januari 2014

Mengenang Kiai Sahal

SATUHARAPAN.COM - Ada banyak cara untuk mengenang Kiai Sahal Mahfudz, dari yang sangat sederhana hingga yang canggih. Kita mulai saja dari cara yang sederhana -- ciri-ciri fisiknya. Beliau mempunyai perawakan yang sama sekali tak menonjol: badan kurus, tak terlalu tinggi, serta raut yang menampakkan tonjolan tulang pipi di kedua sisi wajahnya. Tak ada jenggot di sana, baik tebal maupun tipis.

Suaranya khas: suara bariton yang amat dalam. Saya selalu menikmati ceramah Kiai Sahal, selain karena isinya yang berbobot, “enlightening”, juga karena alasan suaranya yang khas ini. Di dalam suaranya itu, ada otoritas, wibawa, “commanding”. Menilik dari badannya yang kurus, tak ada yang mengira Kiai Sahal memiliki suara yang sangat berwibawa seperti itu.

Tidak seperti ulama-ulama besar lain, setahu saya Kiai Sahal jarang sekali memakai sorban, apalagi jubah. Sorban biasanya hanya beliau kenakan saat melaksanakan salat Idul Fitri di masjid di desanya, Kajen. Di luar momen itu, beliau selalu memakai songkok nasional: peci hitam yang konon diciptakan oleh Bung Karno sebagai simbol nasionalisme itu. Dalam forum resmi, Kiai Sahal selalu mengenakan peci hitam, termasuk pada saat menyampaikan apa yang dikenal dengan “khutbah iftitah”, yaitu sambutan penting oleh Rois Am PBNU saat pembukaan muktamar (kongres lima tahunan).

Mari kita mengenang Kiai Sahal dengan cara yang sedikit lebih “meta-fisik”, maksudnya melampui ciri-ciri fisik yang nampak di permukaan. Siapapun yang kenal dekat dengan Kiai Sahal, akan mengenang beliau dengan ciri pokok: kiai yang sangat menguasai fikih atau hukum Islam. Saya bisa mengatakan, mungkin Kiai Sahal adalah satu-satunya kiai yang tersisa di NU saat ini yang paling mendalam penguasaannya atas fikih. 

Kekuatan dan sekaligus ciri khas pesantren NU di Jawa (terutama Jawa Tengah dan Timur) adalah kajian fikih. Kiai Sahal tumbuh dalam tradisi semacam itu. Beliau memulai karir pendidikannya di sebuah pesantren di Bendo, Pare, Jawa Timur, kemudian dilanjutkan di pesantren Sarang, Rembang. Kiai Sahal adalah kiai yang murni “produk lokal”, dengan wawasan pengetahuan yang sama sekali supra-lokal, sebagaimana akan saya tunjukkan nanti.  

Banyak kalangan mengkritik kiai-kiai NU sebagai cenderung berpikir kaku, tekstual, dan fikih-oriented. Kiai-kiai NU dianggap berpikir terlalu legal-formalistik, terikat secara rigid dengan teks-teks yang ada dalam buku-buku fiqh. Tuduhan ini begitu marak di tahun 70an dan 80an, terutama dari kalangan para intelektual di IAIN. Tuduhan itu memang tidak seluruhnya meleset. Hingga sekarang pun, ada beberapa kalangan pesantren NU yang masih berpikir dengan ciri-ciri seperti itu. Sepeninggal Gus Dur, tampaknya kecenderungan semacam ini menguat di sebagian kalangan NU.

Tetapi ciri-ciri itu tak berlaku untuk Kiai Sahal. Beliau justru mengembangkan corak berpikir fikih yang kontekstual. Maksudnya: berpikir dengan mempertimbangkan konteks dan keadaan sosial di suatu masa. Karena cara berpikir inilah, Kiai Sahal dikenal dengan gagasannya mengenai Fikih Sosial (al-fiqh al-ijtima’i). Ciri-ciri fikih kontekstual adalah: terlibat dengan persoalan-persoalan nyata yang dihadapi rakyat; teks dalam kitab-kitab fikih dipahami dalam terang konteks sosial yang ada pada suatu waktu; dinamis dan progresif, dalam pengertian berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan zaman; tidak hitam-putih; fleksibel, tanpa kehilangan komitmen pada suatu prinsip pokok.

Kiai Sahal berfikih secara kontekstual, baik pada tingkat teoritis maupun praktis. Secara teoritis, itu ditunjukkan melalui banyak makalah atau artikel lepas yang beliau tulis, termasuk teks penting, yakni pidato penerimaan gelar Doctor Honoris Causa yang dianugerahkan oleh UIN Syarif Hadayatullah, Jakarta, pada 2003.

Secara praktis, ada dua contoh menarik. Pertama adalah kasus KB (Keluarga Berencana). Kita tahu, saat pemerintah Orba melancarkan program ini pada 70an, banyak resistensi dari kalangan Islam, termasuk dar kalangan kiai-kiai NU. Program ini dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, sebab KB adalah sebentuk intervensi terhadap kehendak Tuhan. Sebuah ayat dalam Quran biasa dikutip untuk menentang KB -- “Jangan kalian membunuh anak-anak kalian karena takut miskin.” (QS 6:151; bdk. QS 17:31).

Kiai Sahal justru berpendapat lain. Bagi beliau, KB tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam. KB adalah upaya merencanakan sebuah keluarga yang sehat, berkualitas, dan sejahtera. KB justru berkaitan dengan konsep “sakinah” atau kesejahteraan/kebahagiaan/ketenteraman yang menjadi gagasan sentral dalam keluarga yang dihendaki agama Islam. Keluarga yang tak direncanakan dengan baik, sehingga melahirkan generasi yang lemah, menderita defisit kasih sayang, miskin, justru sama sekali tak dikehendaki oleh Islam. Bahkan Tuhan memperingatkan agar umat Islam tak terjerembab dalam jebakan seperti itu (QS 4:9).

Tentu saja, pada awalnya, pendapat Kiai Sahal ini mendapat kritikan dari beberapa kiai. Tetapi beliau kokoh dengan pendapatnya, dan tentu saja beliau bisa mempertanggung-jawabkan pendapat itu berdasarkan standar tradisi keilmuan yang ada di Pesantren. Kiai lain yang patut disebut karena punya pandangan serupa dalam masalah ini adalah Kiai Ali Yafie yang, sama dengan Kiai Sahal, juga dikenal dengan gagasan tentang fikih sosial.

Contoh kedua lebih relevan dengan konteks sekarang. Tak pelak lagi, Kiai Sahal adalah salah satu kekuatan intelektual yang berada di balik keputusan penting NU pada 1984 untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur. Selain Kiai Sahal, figur penting lainnya tentu adalah Kiai Ahmad Siddiq dan Kiai Abdurrahman Wahid  alias Gus Dur.

Pada Muktamar itu, sebuah keputusan penting yang mempunyai bobot kebangsaan yang begitu besar diambil oleh NU: menerima Pancasila, serta menerima NKRI sebagai bentuk negara yang sudah final. Dengan kata lain, NU tak akan menerima upaya-upaya sebagian kelompok Islam untuk mencari bentuk negara alternatif di Indonesia, seperti negara Islam atau negara khilafah yang akhir-akhir ini dipopulerkan oleh sebuah gerakan bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Kiai Sahal tentu mempunyai argumen fikih yang kokoh untuk mendukung keputusan politik yang sangat penting ini. Saya anggap, keputusan ini adalah “hadiah politik” yang sangat penting dari NU untuk Indonesia. Tokoh-tokoh penting yang bertanggung-jawab untuk menyiapkan “hadiah” ini tiga kiai di atas: Kiai Ahmad Siddiq, Kiai Sahal dan Gus Dur.

Apakah Kiai Sahal mempunyai gagasan yang khusus berkenaan dengan dialog antar-agama? Setahu saya, tidak seperti Gus Dur, Kiai Sahal memang jarang terlibat dalam kegiatan dialog antar-agama. Saya kurang tahu, kenapa beliau tak memiliki minat yang menonjol dalam diskursus ini. Pada 2005, MUI mengeluarkan fatwa yang sangat kontroversial, antara lain mengharamkan pluralisme. Saat itu, Kiai Sahal menjabat sebagai Ketua Umum MUI. Pertanyaannya: Apakah Kiai Sahal memiliki peran dalam perumusan fatwa itu? Sejauh informasi yang saya terima, Kiai Sahal sama sekali tak terlibat dalam perumusan fatwa ini. Saat menjabat sebagai Ketua Umum MUI, fisik Kiai Sahal sudah mulai melemah karena faktor umur. Beliau lebih banyak melewatkan waktunya di Kajen, di tengah-tengah pesantrennya, jauh dari keriuhan “politik” nasional di Jakarta.

Saat konflik Syiah pecah di Sampang, Madura, baru-baru ini, konon ada sejumlah kiai NU yang mendatangi beliau di kediamannya di Kajen. Kiai-kiai itu tampaknya hendak meminta dukungan dari Kiai Sahal agar Syiah dinyatakan sebagai kelompok sesat. Kiai Sahal menjawab tegas dan pendek, “Saya tak mau ikut-ikutan dalam soal ini.” Kemudian beliau berlalu, meninggalkan mereka.

Apa yang bisa kita pahami dari kejadian ini? Walau Kiai Sahal tak memperlihatkan minat yang menonjol dalam isu dialog antar-agama seperti Gus Dur, tetapi saya bisa memastikan bahwa sikap beliau dalam hal hubungan antar-agama adalah sama dengan sikap kiai NU pada umumnya: yakni tasamuh, toleran.

Kiai Sahal yang sedang saya kenang dalam tulisan ini, meninggal pada Jumat lalu, 24 Januari 2014. Umat Islam memandang hari Jumat sebagai hari “suci” yang istimewa. Meninggal pada hari itu dipandang sebagai kematian yang indah.

Bangsa Indonesia, terutama warga nahdliyyin, telah kehilangan salah satu kiai-pemikir yang penting. Jika ada satu harapan yang pantas dikemukakan di sini, adalah satu: semoga murid-murid Kiai Sahal bisa mengembangkan warisan penting beliau -- fikih sosial yang dicirikan dengan corak berpikir yang kobtekstual dan dinamis.

Penulis adalah intelektual NU, pernah menjadi santri Kiai Sahal Mahfudz


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home