Loading...
OPINI
Penulis: Teuku Kemal Fasya 00:00 WIB | Senin, 03 Februari 2014

Popularitas Jokowi dan Ambiguitas Megawati

SATUHARAPAN.COM - Sulit menolak realitas politik saat ini tentang “efek Jokowi”. Figur Jokowi menjadi simbol politik baru yang sulit dibantah. Dari beragam survei memperlihatkan fakta popularitas sekaligus dukungan publik terhadap gubernur Jakarta itu semakin genap sebagai calon presiden idaman 2014. 

Sejak tahun lalu elektabilitas Jokowi semakin menanjak. Survei Soegeng Sarjadi School of Government pada 24 Juli 2013 menempatkan Jokowi teratas (25,48%), jauh mengungguli tokoh lain seperti Prabowo Subianto (10, 52%), Jusuf Kalla (5,69%), Aburizal Bakri/ARB (4,23%), dan Megawati (2,8%). Survei Indobarometer di akhir tahun lalu (4-15 Desember 2013) menunjukkan angka yang sama untuk Jokowi (25,2%), dengan variasi tokoh-tokoh setelahnya, yaitu ARB (10,5%), Prabowo (9,7%), Wiranto (6,1%), dan Megawati (6%).

Hasil survei terbaru Kompas 8 Januari memperlihatkan sosok Jokowi telah menjadi la galācticos dengan elektabilitas meroket 43,5%. Tokoh-tokoh lain naik-turun dengan statistik tidak terlalu signifikan seperti Prabowo (11,1%), Aburizal (9,2%), Wiranto (6,3%), dan Megawati (6,1%).

Faktor Jokowi

Meskipun demikian, kebesaran Jokowi tidak akan berarti banyak jika tanpa restu Megawati sebagai ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai patron politiknya. Sayangnya Megawati masih macet memberikan sinyal. 

“Bukti” terakhir dapat terlihat pada acara Mata Najwa (22 Januari 2014). Semiotika visual para acara talkshow itu memperlihatkan bagaimana sesungguhnya alam bawah sadar politik Megawati beroperasi. Melalui jawaban dan gestur ia masih enggan merestui Jokowi sebagai calon presiden. Di sisi lain gestur dan pernyataan Jokowi juga menyiratkan “sesuatu”.

Dalam perspektif Barthesian, semiotika visual Megawati menunjukkan tanda “mempercepat” (relaying) pengetahuan pemirsa (the spectator) tentang pribadinya. Pesannya  bercabang antara keinginan tersimpan untuk kembali maju, menyiapkan puteri mahkota, atau menunggu masa-masa krusial baru menentukan sikap. Pesan lain yang juga dapat dibaca adalah “membatasi” (anchoraging) publik untuk memaknai sikap berbeda atas pernyataan Jokowi.

Tak dapat dipinggirkan, model kepemimpinan Jokowi menjadi antitesis dari model feodalisme politik yang selama ini dipraktikkan pemimpin saat ini, baik di tingkat nasional atau daerah. Kepribadian Jokowi yang tidak banyak beretorika, mudah turba (turun ke bawah, istilah yang dulu populer di masa Soeharto), menyelesaikan masalah dengan jalan pragmatis tapi tuntas, dan mementingkan program kesejahteraan sosial dibandingkan proyek mercusuar menjadikannya sosok komplit untuk memimpin bukan sekedar Jakarta. Publik menunggu tangan midasnya mengubah wajah bopeng Indonesia.

Namun visualisasi di acara itu juga telah memberikan pesan kepada publik untuk tidak terlalu berharap kepada Jokowi. Ia telah menunjukkan loyalitasnya yang tinggi kepada Megawati. Jokowi hanya cantrik bagi pandita Mega. Maju tidaknya Jokowi sangat tergantung kepada instruksi Megawati.

Faktor Megawati

Faktor yang paling krusial memang pada diri Megawati. Mengubah wataknya bukan perkara mudah. Problem terbesar adalah relasi Megawati dan PDI-P yang memberikan makna ambiguitas bagi demokrasi. 

Di antara semua partai peserta pemilu, PDI-P lah yang dianggap paling lekat dengan penampakan demokrasi formal. Rilis Lembaga Survei Nasional (LSN) pada Juli tahun lalu menempatkan PDI-P sebagai partai yang paling konsisten membela wong cilik. Pilihan PDI-P untuk menjadi oposisi ketimbang koalisi dengan partai pemenang pemilu 2014 juga sebuah pilihan ideologis untuk menjaga marwah demokrasi, bukan serta-merta pilihan taktis atau emosional, akibat retaknya hubungan Megawati dan SBY.

Namun PDI-P selama kepemimpinan Megawati belum melakukan institusionalisasi demokrasi substansial dan kultur demokratis. Megawati adalah ketua umum PDI-P (dulu PDI) selama 21 tahun terakhir dan menjadi ketua partai politik terlama di Indonesia. Beberapa alasan mungkin dapat dibenarkan misalnya faktor transisi dan rentan antara rejim Orde Baru dan reformasi yang bisa mengarah kepada fragmentasi dan faksionalisasi politik jika Megawati turun. Namun era tersebut telah berlalu cukup lama. Seharusnya ada proses regenerasi yang bisa menyegarkan kepemimpinan dan visi memajukan partai kepala banteng itu lebih besar. Kesan klan Soekarno yang harus memimpin – meskipun belum diungkap secara eksplisit – akan menjadikan PDI-P sebagai rumah besar budaya politik patrimonialisme.

Seperti penelitian Harold Crouch dalam Patrimonialism and Military Rule in Indonesia (1979) patrimonialisme menjadi kultur politik yang sulit dilepaskan di negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand, Filipina, Thailand, dan Indonesia, dimana sistem politik belum menjadi panduan dalam bernegara secara modern. Praktik politik negara masih dijalankan dengan semangat tradisional yang menuntut Herrschaft – memakai istilah Max Weber – yaitu kombinasi kewenangan, dominasi, “kasta raja” (kingship), dan rutinisasi karisma. Secara khusus Crouch mengkritik model Soeharto yang menjadikan dirinya “sumber otoritas kekuasaan yang tergantikan”. 

Patrimonialisme adalah budaya politik yang lebih dalam dibandingkan patronasi, dimana hubungan kuasa bukan saja keterikatan patron dan klien, tapi bentuk ketundukan total yang melibatkan jaring-jaring kekerabatan sang penguasa sebagai sumber utama “pemerintahan” (Edward Aspinall and Greg Fealy (ed), Soeharto’s New Order and Its Legacy : Essays in Honour of Harold Crouch, 2010).

Jika dulu Megawati menjadi tokoh reformasi yang menolak model otoriterisme Soeharto, kultus individu, dan otoritas tak tergantikan, kini ia mempraktikkan budaya politik tersebut bagi diri dan menginfeksi partai. Membangun imajinasi (atau teror pikiran) bahwa tidak ada yang bisa menggantikan Megawati juga bentuk patrimonialisme yang mematikan keterampilan demokrasi kader-kader PDI-P.

Perubahan ini tergantung pada sejauh mana sisi ambiguitas Megawati dapat terurai. Ada dua pesan penting yang harus dipikirkan dengan kepala dingin dan jiwa besar, merelakan partai dipimpin oleh kader yang lebih muda dan visioner, tidak melulu musti bergenetik Soekarno; dan mendorong Jokowi mempersiapkan diri sebagai calon presiden Indonesia 2014. Persiapan lebih awal penting untuk menghindari gempa politik yang bisa memberantakkan rencana. Tanpa melakukan langkah itu, ambiguitas demokrasi tetap mendekam di diri Megawati dan PDI-P.

Penulis adalah Dosen antropologi politik Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home