Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 13:58 WIB | Senin, 29 Agustus 2016

Pelarangan Burkini Pengaruhi Perempuan Seluruh Dunia, Tak Hanya Muslimah

Mantan anggota parlemen Skotlandia dari Partai Sosialis, Carolyn Leckie. (Foto: thetimes.co.uk)

EDINBURGH, SATUHARAPAN.COM – Pelarangan pemakaian baju renang muslimah, atau burkini, di Prancis beberapa waktu lalu, tidak hanya berdampak bagi muslimah namun berdampak buruk bagi perempuan di seluruh dunia.   

Dalam pandangan mantan anggota parlemen Skotlandia dari Partai Sosialis (Scottish Socialist Party/SSP), Carolyn Leckie, yang dia ungkapkan di kolom opini situs berita Skotlandia, The National, hari Senin (29/8), pelarangan burkini di Prancis, sama artinya dengan polisi di Iran yang menangkap perempuan yang tidak mengenakan hijab.

“Sebagai seorang perempuan, saya menderita karena peristiwa itu (pelarangan Burkini, Red) merupakan penindasan terhadap gender saya,” kata Leckie.

Leckie mengatakan walau dia bukan muslimah, namun dia menganggap dengan pencopotan burkini di sebuah pantai di Prancis beberapa waktu lalu, dan pelarangan burkini di negara tersebut merupakan simbol kematian perempuan di seluruh dunia.

“Saat ini seolah perempuan tidak dapat melakukan negosiasi atau melakukan kompromi terhadap aturan-aturan yang berlaku di sekitar tempat tinggalnya,” kata perempuan berusia 51 tahun itu.

Menurut Leckie dalam hukum, sistem, peraturan apa pun di dunia yang membahas  perempuan selama ini masih melibatkan laki-laki.

Dalam pandangan dia, laki-laki masih dapat membuat aturan yang menyangkut perempuan, bahkan beberapa membuat kebijakan yang terbilang patrilineal (pola pikir laki-laki).

“Seharusnya perempuan harus lebih dilibatkan tentang apa yang mereka kenakan dan  tidak bisa kenakan. Seharusnya dimanapun perempuan berada harus menyadari tentang apa yang dapat mereka lakukan dan tidak,” kata Leckie.

Menurut dia, tindakan dua polisi Prancis yang memaksa muslimah yang sedang santai di pantai untuk melepas burkini yang dikenakan adalah sebuah bentuk penindasan.

Leckie mengatakan walau dia adalah perempuan kulit Putih dan sejak dahulu dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi Kristiani yang kental, dia tidak berpikir bahwa pemahaman pemikiran masyarakat Barat adalah yang paling benar.

Dalam pandangan Leckie sikap yang ditunjukkan Prancis dengan melarang burkini merupakan sikap yang rasisme secara sistematis, karena banyak muslimah dari berbagai negara yang menganggap Prancis adalah negara yang maju dalam konstitusi dan demokrasi.

“Muslimah di segala penjuru memiliki kebebasan untuk mengekspresikan imannya, salah satunya dengan burkini atau hijab,” kata dia.

Bila banyak negara di dunia, dalam pandangan Leckie, menyamakan semua tanda-tanda yang berkaitan dengan Islam identik dengan terorisme adalah sebuah pemikiran di Eropa yang  berbahaya dan  kontra-produktif. “Negara  tidak bisa memaksa orang meninggalkan simbol-simbol agama mereka tanpa menghadirkan kedamaian,” kata Leckie.

Banyak Muslim Prancis saat ini berasal dari Aljazair, dan seperti banyak orang di Inggris asal Irlandia, dengan bangga mempertahankan identitas etnis mereka dan agama mereka.

Pekan lalu, menurut Al Arabiya, memuat foto di media sosial yang populer karena memperlihatkan beberapa adegan yang menunjukkan seorang perempuan yang sedang duduk santai di Promenade des Anglais, Nice yang mengenakan legging, tunik (jubah gaun pendek) dan jilbab yang sedang berbaring di pantai memicu perdebatan setelah empat aparat berwajib mengelilinginya.

Diduga kuat polisi itu meminta wanita tersebut melepaskan burkininya.

Rangkaian foto itu menunjukkan perempuan tersebut membuka tuniknya – tidak jelas apakah ia diperintahkan untuk melakukannya atau melakukannya atas kemauan sendiri – sementara seorang polisi lainnya muncul untuk menuliskan denda.

Nice merupakan salah satu dari sekitar 15 kota di Prancis yang melarang pemakaian burkini di pantai. Otoritas setempat menyatakan larangan tersebut karena burkini bertentangan nilai-nilai sekuler Prancis dan mengancam ketertiban umum.

Seorang ibu mengatakan hari Selasa (23/8), ia telah didenda di pantai di resor Cannes, Prancis karena mengenakan legging, tunik dan jilbab. Dalam ketetapan di Cannes, siapa pun yang tertangkap melanggar larangan burkini, diancam denda sebesar 38 euro (sekitar Rp 550.000).

"Saya sedang duduk di pantai dengan keluarga saya. Saya mengenakan jilbab klasik. Aku tidak berniat berenang," kata Siam, 34-tahun, yang hanya memberikan nama depannya.

Prancis memang melarang burkini, di sisi lain Perdana Menteri (PM) Kanada Justin Trudeau mengatakan negaranya menghormati muslimah atau perempuan non-muslim yang ingin mengenakan burkini di Pantai.

 (thenational.scot/alarabiya.net)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home