Pemerintah Ajukan RAPBNP 2016
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah resmi mengajukan RAPBNP 2016 untuk dibahas dengan DPR, yang di antaranya mencakup sejumlah perubahan asumsi maupun target penerimaan dan rencana belanja negara.
"RAPBNP ini mencakup beberapa perubahan," kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro seusai melakukan rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI terkait pengajuan RAPBNP 2016 di Jakarta, hari Kamis (2/6).
Bambang mengatakan sejumlah asumsi makro yang mengalami perubahan dari APBN 2016 adalah laju inflasi dari sebelumnya 4,7 persen menjadi 4,0 persen serta nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dari Rp 13.900 menjadi Rp 13.500.
Kemudian, harga minyak mentah Indonesia (ICP) dari 50 dolar AS menjadi 35 dolar AS per barel, lifting minyak dari 830 ribu barel menjadi 810 ribu barel per hari dan lifting gas dari 1.155 ribu barel menjadi 1.115 ribu barel setara minyak per hari.
Hanya asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3 persen dan tingkat bunga SPN 3 bulan sebesar 5,5 persen yang tidak mengalami perubahan dan masih menjadi angka asumsi dalam RAPBNP 2016.
"Penyesuaian asumsi dilakukan khususnya dengan semakin terjaganya inflasi dan menguatnya nilai tukar. Di sisi lain, harga minyak mentah diperkirakan akan mengalami penurunan cukup signifikan," kata Bambang.
Dengan perubahan asumsi tersebut, maka terjadi revisi target pendapatan negara dari sebelumnya Rp 1.822,5 triliun menjadi Rp 1.734,5 triliun dan rencana belanja negara dari Rp 2.095,7 triliun menjadi Rp 2.047,8 triliun.
Penerimaan perpajakan diperkirakan mengalami perubahan dari sebelumnya Rp 1.546,7 triliun menjadi Rp 1.527,1 triliun dan penerimaan negara bukan pajak mengalami revisi turun dari Rp 273,5 triliun menjadi Rp 205,4 triliun.
"Untuk menjaga penerimaan perpajakan, pemerintah akan mengendalikan tax ratio pada 12 persen terhadap PDB, melakukan optimalisasi kebijakan tax amnesty dan mendorong penerimaan cukai," ujar Bambang.
Sementara, pagu belanja pemerintah pusat dari sebelumnya Rp 1.325,6 triliun mengalami perubahan menjadi Rp 1.289,5 triliun, dengan belanja Kementerian Lembaga terkena revisi turun dari sebelumnya Rp 784,1 triliun menjadi Rp 743,5 triliun.
"Kebijakan pemerintah pusat antara lain dengan melakukan penghematan dan efisiensi belanja kementerian/lembaga (KL), yang berdampak belanja transfer ke daerah lebih tinggi dari belanja KL, serta mendorong pemanfaatan belanja energi yang berkelanjutan," kata Bambang.
Dengan demikian, defisit anggaran dipastikan melebar dari sebelumnya 2,15 persen dari PDB atau Rp 273,2 triliun menjadi 2,48 persen terhadap PDB atau Rp 313,3 triliun, yang antara lain akan ditutup dari penggunaan Sisa Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp 19 triliun dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) baru sekitar Rp 21 triliun. (Ant)
GKI Sinwil Jabar Harapkan Pilkada Asyik dan Penting
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sinode Wilayah Jawa Barat berkomitmen mewu...