Loading...
INSPIRASI
Penulis: Gurgur Manurung 11:52 WIB | Kamis, 10 November 2016

Pendidikan Pluralitas Sejak Dini

Saya berharap anak saya merasakan indahnya perbedaan itu.
Foto: istimewa

SATUHARAPAN.COM – Saya menonton video di YouTube Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama berbicara di kalangan tokoh muslim. Ahok, begitu nama Gubernur DKI biasa disebut,  membuat para tokoh agama  Islam itu terbahak-bahak. Mereka tertawa lepas  karena Ahok menceritakan pengalamannya sejak kecil,  termasuk ajaran  orangtuanya  bagaimana bersikap kepada umat lain di luar iman yang Ahok imani.  Ahok  bersekolah di SD dan SMP perguruan Islam  di Kabupaten Belitung Timur, provinsi Bangka Belitung.

Mengamati  pidato Ahok  yang santai itu, saya mencoba membandingkannya dengan pengalaman saya dengan umat beragama lain. Sejak kecil hingga SMA saya hidup  di wilayah yang  penduduknya 90% lebih beragama kristen.  Umat Islam dan aliran kepercayaan sangat sedikit.  Lalu, saya ingat sewaktu pesta nikah saya,  yang diharuskan memotong kerbau agar umat muslim dan aliran kepercayaan merasa nyaman untuk makan.  Tentunya, dari pertimbangan biaya memotong babi untuk pesta adat pernikahan jauh lebih murah.  

Keputusan untuk memotong kerbau  waktu pesta pernikahan saya tidak cukup, ada syarat lain yaitu harus  yang beragama Islam yang memotong. Waktu mau memotong kerbau itu sedikit rumit karena warga Islam yang biasa memotong kerbau di kampung kami baru meninggal. Jadi, setelah diskusi panjang diputuskan  bahwa yang memotong kerbau itu seorang anak muda anak dari almarhum yang biasa memotong kerbau di kampung kami. Walaupun di Desa kami mayoritas kristen, permintaan umat Islam semua dipenuhi. Yang terpenting adalah kebersamaan. Bagi orang kristen siapa yang memotong tidak masalah, maka titik temunya adalah orang Islam yang memotong kerbau jika ada pesta.

Istri saya   sekolah di Jakarta yang  teman-teman sekolahnya kebanyakan  muslim pernah mengeluh, bagaimana dengan anak kita, sekolah di yayasan kristen, kursus-kursus dan berbagai kegiatan teman-temannya hampir semua kristen. Di tempat tinggal kami teman-temannya beragama kristen.  Lalu, saya sarankan  agar sekolah di negeri saja. Istri saya tidak setuju karena di tempat kami tinggal,  kami merasa bahwa swasta lebih bermutu dibanding sekolah negeri. Apakah swasta lebih bermutu dari sekolah negeri? Tidak jelas indikatornya. Konon sekolah negeri gurunya suka absen.  Padahal, belum dicek kebenarannya.

Menyadari masa depan anak harus hidup berdampingan dengan berbagai suku dan agama yang berbeda, saya mengambil komitmen agar setiap Sabtu bermain futsal dengan anak-anak   seumuran dengan anak  saya yang keyakinannya berbeda.  Setelah berlangsung  sekitar 3 tahun saya merasa lega. Anak saya punya sahabat karib anak-anak yang berbeda keyakinan.  Mereka bermain futsal sepuasnya, minum bersama, jajan bersama, tanpa ada  sekat.

Ketika Hari Raya Idul Fitri, saya minta anak saya agar  menyalam dan mengucapkan selamat Idul Fitri. ”Apakah bisa, pak?” tanya anak saya.

”Pasti bisa! Hiduplah bersama dengan yang berbeda keyakinan. Terpenting jaga imanmu.  Berakar, bertumbuh dan berbuahlah imanmu, anakku,” jelas saya. 

Kini saya lega, kelak di masa dewasa anak saya akan bercerita kepada dunia bahwa sejak kecil dia sudah bergaul dengan  teman-temannya yang memiliki  iman berbeda. Kisah-kisah di lapangan bola cukup untuk dia bicarakan. Saya berharap, anak saya merasakan indahnya perbedaan itu.

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home