Loading...
RELIGI
Penulis: Eben Ezer Siadari 09:28 WIB | Minggu, 05 April 2015

Pesan Paskah GKI: Kasih Kristus Tidak Pernah Bisa Terhentikan

Pdt Yahya Wijaya dalam ibadah Kamis Putih di GKI Klaten pada 17 April 2014 (Foto: Purnawan Kristanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Peristiwa Paskah dalam iman Kristen setidaknya memperlihatkan dua hal. Pertama, Paskah adalah perlawanan terhadap kematian. Kedua, Paskah adalah keberpihakan Tuhan pada kehidupan.

Dalam kebangkitan Yesus Kristus tergambar sekalipun kematian menjadi akhir yang mengancam,  kesetiaan dan tindakan penuh belas kasih serta keadilan tidak pernah dapat terhentikan atau dimatikan. Yesus menunjukkan kesetiaan tanpa rasa takut untuk hidup benar terus-menerus melalui tindakan penuh belas kasih dan keadilan. Itulah yang mempersatukan kehidupan manusia dan seluruh ciptaan.

Demikian antara lain Pesan Paska Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Kristen Indonesia (BPMS GKI) yang ditandatangani oleh Ketua Umum, Pdt Yahya Wijaya dan Sekretaris Umum, Pdt. Arliyanus Larosa. Pesan Paska tersebut pada hari ini (5/4) disebarluaskan di semua gereja-gereja anggotanya yang tersebar di Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Jawa TImur,  termasuk di GKI Sarua Indah, Ciputat Tangsel, gereja di mana satuharapan.com beribadah mendapatkan Pesan Paska tersebut . (GKI menggunakan istilah Paska ketimbang Paskah, Red).

BPMS GKI yang menjadi payung bagi 224 jemaat dalam 19 Klasis di tiga Sinode Wilayah, .memandang bahwa peristiwa kebangkitan Kristus menunjukkan bahwa Allah tidak pernah membiarkan tindakan penuh belas kasih serta keadilan berakhir begitu saja pada kematian. Pada dasarnya tindakan Yesus Kristus yang memperjuangkan dan mengajarkan belas kasih serta keadilan adalah soal merayakan kehidupan yang berkenan kepada Allah Sang Pemberi Kehidupan.

Merayakan Paskah, menurut BPMS GKI, juga memiliki makna membiarkan kuasa Ilahi Roh Kudus menuntun Gereja untuk hidup seperti Yesus Kristus, merayakan kehidupan di dunia ini melalui sikap penuh belas kasih dan keadilan. Ia tidak pernah boleh terbatas hanya pada ibadah formal melainkan mewujud pada ibadah kehidupan, di dunia ini dan saat ini.

BPMS GKI berpendapat bahwa pada saat ini  situasi kontekstual yang dapat menjadi tantangan sikap iman dan konsep merayakan kehidupan adalah eksklusifitas iman. Ditekankan bahwa eksklusifitas iman dapat menutup ruang untuk membangun persekutuan manusia yang lebih hidup. Dan, sikap iman yang eksklusif  merupakan bentuk fanatisme dan radikalisme yang justru sejak awal dilawan oleh Yesus Kristus sendiri.

“Dalam dirinya, eksklusifitas iman yang selalu enggan untuk bercermin pada kekinian dan menolak proses menafsirkan kembali sikap iman justru pada akhirnya menyingkirkan konsep belas kasihan dan keadilan manusiawi yang lebih luas,” bunyi Pesan Paska GKI.

“Ekskusifitas iman itu tidak merayakan kehidupan seperti yang dirayakan dalam peristiwa Paskah.“

Diantara berbagai bentuk eksklusifitas yang menjadi tantangan besar saat ini, menurut BPMS GKI,  adalah eksklusifitas pendapat. “Eksklusifitas pendapat di sini adalah sikap antidialog, anti pada perbedaan pendapat, keangkuhan, pemusatan kekuasaan dan pembenaran diri. Ada banyak perselisihan antarkelompok, perpecahan bahkan peperangan yang mematikan, didasari oleh hal ini. Muara dari ekslusifitas pendapat ini adalah tersingkirnya kembali sikap belas kasih dan keadilan.”

“Paskah kembali diperhadapkan pada tantangan untuk menghadirkan nilai-nilai etis Kristiani di setiap lini, baik pimpinan gereja dan jemaat maupun anggota jemaat secara umum yang peduli pada kehidupan dan persekutuan yang lebih baik."

Pesan Paska  BPMS GKI mengajak umat  untuk berintrospeksi karena eksklusifitas iman  dapat terjadi di mana-mana termasuk dalan kehidupan  bermasyarakat, bergereja dan berjemaat.  Tantangan pembangunan jemaat pada masa kini , menurut BPMS GKI, adalah mengembangkan nilai-nilai teologis yang mampu menghidupkan sikap iman yang membangun inklusifitas dan menghadirkan belas kasih serta keadilan secara luas.

Sebagai catatan, GKI sering disebut sebagai sebuah ‘gereja baru' di Indonesia sebagai buah penyatuan dari GKI Jawa Barat, GKI Jawa Tengah, dan GKI Jawa Timur. Walau 'gereja baru,' cikal bakalnya sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni dalam kiprah Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee (THKTKH) gereja berbahasa Hokian pada tahun 1800-an. Gereja THKTKH di Jawa Tengah dan Jawa Timur didirikan oleh Zending dari Belanda (Nederlandsche Zendings Vereeniging) sedangkan di Jawa Barat diawali oleh penemuan sebuah Alkitab berbahasa Melayu oleh Ang Boen Swie di tahun 1858.

Pada perjalanannya, gereja yang dirintis oleh Zending Belanda tersebut, menjadi GKI Jawa Timur, yang berdiri pada  22 Februari 1934 di Jawa Timur, GKI Jawa Barat yang berdiri  pada tanggal 24 Maret 1940 di Jawa Barat dan GKI Jawa Tengah yang berdiri pada tanggal 8 Agustus 1945 di Jawa Tengah.

Mulai pada 1950, nama GKI digunakan untuk  menunjukkan kesadaran dalam menjalankan misi dan panggilannya secara nasional, tidak lagi terikat pada suku tertentu. Dan, sejak tanggal 27 Maret 1962 ketiga gereja itu memulai upaya menggalang kebersamaan untuk mewujudkan penyatuan GKI, dalam wadah Sinode Am GKI.  

Pada tanggal 26 Agustus 1988 ketiga gereja tersebut diikrarkan menjadi satu gereja yaitu GKI.  Saat ini Klasis GKI terdiri dari Klasis Yogya, Klasis Banten, Klasis Semarang Barat, Klasis Cirebon, Klasis Semarang Timur, Klasis Bandung, Klasis Jakarta Barat, Klasis Solo, Klasis Jakarta II, Klasis Bojonegoro, Klasis Magelang, Klasis Madiun, Klasis Banyuwangi, Klasis Purwokerto, Klasis Priangan, Klasis Jakarta I, Klasis Jakarta Utara, Klasis Jakarta Timur dan Klasis Jakarta Selatan. 

Baca Juga:

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home