Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 18:57 WIB | Sabtu, 27 Februari 2016

Petugas Partai, Dinamika Kehendak Publik dan Nafsu Partai

Ilustrasi. Presiden Tunda Revisi UU KPK. (Karikaturis: Pramono Pramoedjo)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, kembali tidak sejalan dengan partai pengusung utamanya dalam revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Presiden Jokowi memilih mendengarkan desakan publik daripada mendukung upaya Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan merevisi UU KPK lewat kursi parlemen.

Hal ini memunculkan pertanyaan terkait makna sesungguhnya ‘petugas partai’. Apakah seorang ‘petugas partai’ harus menjalankan keinginan partainya atau ‘petugas partai’ diizinkan lebih mendengarkan desakan publik.

Tantangan Menyeimbangkan

Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, menilai, seorang ‘petugas partai’ bertugas untuk menyeimbangkan keinginan partainya dengan kehendak yang ada di publik. Menurutnya, ‘petugas partai’ harus membuka ruang bagi publik untuk berdiskusi dan berpartisipasi dalam sebuah kebijakan yang akan diambil.

“Partai harus mendengarkan dan mempertimbangkan kehendak publik itu. Dalam sebuah kebijakan, terkadang publik bereaksi tanpa membaca draf kebijakan yang akan diambil tersebut. Di sini tugas ‘petugas partai’, menyeimbangkan suara partai dengan membuka ruang partisipasi publik,” katanya.

Dia mencontohkan, dalam pertentangan publik pada revisi UU KPK, dirinya mencoba menghimpun kehendak publik yang ingin agar rencana tersebut dibatalkan, kemudian dia menyampaikan hal tersebut kepada partainya (PPP). “Itu tantangannya, kita harus menyeimbangkan kehendak publik mendekati dengan keinginan partai,” tutur Arsul.

Menjaga Keseimbangan

Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Bandung, Muradi, mengatakan dinamika dalam pemerintahan dan partai politik berbeda. Seorang ‘petugas partai’ yang duduk di kursi pengambil kebijakan harus tetap menjaga keseimbangan antara kehendak publik dengan keinginan partai politiknya.

“Pada situasi tertentu, seorang ‘petugas partai’ harus bisa berselancar di keduanya, kehendak publik dan keinginan partai,” kata Muradi.

Dalam langkah Presiden Jokowi menunda revisi UU KPK, menurut Muradi, merupakan strategi Presiden Jokowi agar tidak sekadar menjadi pemimpin populis. Presiden Jokowi yang sebenarnnya berkeinginan merevisi UU KPK, kata Muradi, ingin menggunakan pendekatan yang lebih mengedepankan wawasan agar publik mengerti tujuan revisi UU KPK.

“Kalau tidak begitu, Pak Jokowi hanya akan jadi rezim populis saja, apa bedanya dengan rezim sebelumnya?” ujar dia.

Pemerintah dan DPR sepakat menunda pembahasan revisi UU KPK. Presiden Jokowi mengatakan menghargai proses dinamika politik yang ada di DPR, khususnya dalam rancangan revisi UU KPK.

Namun, dia melanjutkan, mengenai rencana revisi UU KPK tersebut, Pemerintah dan DPR sepakat bahwa revisi ini sebaiknya tidak dibahas saat ini. Menurut Presiden Jokowi, rencana revisi UU KPK perlu mendapat kajian lebih mendalam, termasuk sosialisasi terhadap masyarakat.

Revisi UU KPK masuk dalam Program Legislasi (Prolegnas) Prioritas pada tahun 2016 ini. Setidaknya, ada empat poin yang ingin dibahas dalam revisi, yakni pembatasan kewenangan penyadapan, pembentukan dewan pengawas, pemberian kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), serta kewenangan rekrutmen penyelidik dan penyidik.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home