Loading...
DUNIA
Penulis: Sabar Subekti 12:28 WIB | Sabtu, 09 Maret 2024

PM Singapura: Kode Etik Laut Cina Selatan Hadapi Masalah Sulit untuk Dilaksanakan

Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, bicara pada konferensi pers bersama dengan Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, usai pertemuan bilateral pada KTT Khusus ASEAN-Australia di Melbourne, Australia, hari Selasa, 5 Maret 2024. (Foto: AP/Hamish Blair)

MELBOURNE, SATUHARAPAN.COM-Upaya negara-negara Asia Tenggara untuk mencapai kesepakatan dengan China mengenai kode etik di Laut Cina Selatan yang disengketakan akan memakan waktu, dengan permasalahan sulit yang belum terselesaikan meskipun ada upaya baru-baru ini untuk mempercepat prosesnya, kata Perdana Menteri Singapura, hari Selasa (5/3) pada pertemuan puncak regional.

Meningkatnya ketegasan militer China di jalur perairan yang sibuk terhadap negara-negara tetangga yang memiliki klaim teritorial yang bersaing telah menjadi agenda utama KTT Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN). KTT tiga hari tersebut, yang diselenggarakan di Melbourne untuk memperingati 50 tahun sejak Australia menjadi mitra eksternal pertama ASEAN, berakhir pada hari Rabu (6/3).

Para pemimpin blok 10 negara tersebut berharap kode etik dengan China akan menjadi kunci untuk mengurangi risiko konfrontasi angkatan laut.

Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, mengatakan rancangan pertama kode etik tersebut telah ditulis namun negosiasi masih diperlukan.

“Persoalan-persoalan ini tidak mudah untuk diselesaikan dan, sungguh, negosiasi kode etik pasti akan menimbulkan permasalahan mengenai hasil akhir yang akan dicapai, dan oleh karena itu, karena jawaban akhir sulit diperoleh, maka menegosiasikan kode etik juga akan memerlukan waktu yang cukup lama,” kata Lee kepada wartawan.

Dalam insiden berbahaya terbaru ini, kapal-kapal penjaga pantai  China memblokir kapal-kapal Filipina di perairan dangkal yang disengketakan di Laut Cina Selatan pada hari Selasa (5/3), sehingga menyebabkan tabrakan kecil, kata penjaga pantai Filipina.

Para pejabat keamanan Filipina menuduh penjaga pantai China dan tersangka kapal-kapal milisi memblokir kapal-kapal Filipina dan menggunakan meriam air dan laser tingkat militer yang membutakan sementara beberapa awak kapal Filipina dalam serangkaian permusuhan di laut lepas tahun lalu.

Para pemimpin sepakat pada KTT ASEAN di Indonesia September lalu untuk mempercepat proses negosiasi dengan tujuan menyelesaikan kode etik dalam waktu tiga tahun. KTT tersebut dihadiri oleh Wakil Presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, Perdana Menteri China, Li Qiang, dan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov.

ASEAN berharap kode etik ini akan mencerminkan norma, prinsip dan aturan internasional, mengacu pada hukum internasional, dan bertujuan untuk mencapai “Laut Cina Selatan yang stabil, aman dan damai,” menurut dokumen yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia.

Presiden Filipina, Ferdinand Marcos Jr. mengatakan status hukum perselisihan tersebut menjadi jelas setelah kemenangan Filipina atas China dalam keputusan arbitrase tahun 2016 di Den Haag, Belanda, yang membatalkan klaim teritorial Beijing yang luas di Laut Cina Selatan. China tidak menerima keputusan tersebut.

“Sangat disayangkan meskipun hukum internasional sudah jelas, tindakan provokatif, sepihak, dan ilegal terus melanggar kedaulatan, hak kedaulatan, dan yurisdiksi kami,” kata Marcos, hari Senin (4/3).

Australia dan Filipina telah mendesak negara-negara tetangganya untuk bersatu lebih kuat dalam menegakkan supremasi hukum di Laut Cina Selatan, di mana China telah membangun garnisun di beberapa pulau buatan untuk memperkuat klaimnya.

Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, yang menolak tekanan untuk memihak dalam perebutan kekuasaan di kawasan, mengatakan pada hari Senin, “Kami tidak memiliki masalah dengan China.”

Sembilan pemimpin ASEAN dan Perdana Menteri Timor Timur, Xanana Gusmão, secara resmi disambut di pertemuan puncak pada hari Selasa dengan upacara merokok tradisional masyarakat adat yang melibatkan pembakaran dedaunan.

ASEAN pada prinsipnya telah setuju untuk mengakui Timor Timur dan memberinya status pengamat. Myanmar, yang merupakan negara ASEAN ke-10, tidak mendapat perwakilan politik pada pertemuan tersebut karena kegagalannya membendung kekerasan sejak junta militer mengambil alih kekuasaan pada tahun 2021.

Gusmão mengatakan kepada wartawan pada hari Selasa bahwa dia ingin melihat ASEAN berbuat lebih banyak untuk memulihkan perdamaian dan demokrasi di Myanmar. (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home