Loading...
OPINI
Penulis: Trisno S Sutanto 07:09 WIB | Kamis, 06 Februari 2014

Saksi Bisu

* Untuk Ibu Maria Catarina Sumarsih

SEORANG Ibu berdiri sendirian. Rambutnya sudah memutih semua. Tubuh pendeknya kelihatan ringkih. Tetapi, di matanya, juga di sekujur tubuhnya, terpancar tekad sekukuh baja.​ Kamis tanggal 16 Januari 2014 lalu, sudah genap tujuh tahun ia berdiri di depan Istana Negara. Tidak dengan pekik atau ribut-ribut ala demonstran. Apalagi dengan teriakan slogan-slogan ala politisi yang makin lama makin memuakkan itu. Tidak. Maria Catarina Sumarsih (62 tahun) justru memilih diam membisu. Hanya berdiri tegar, menghadap Istana Negara, setiap hari Kamis sore di tengah  kebisingan lalu lintas di sekitarnya. Bahkan udara panas yang masih tersisa, atau hujan lebat pun, tidak pernah mengurangi niat dan keteguhan hatinya.
Dan kebisuannya adalah protes paling dalam serta subtil pada kesewenang-wenangan para pemimpin Negara ini. 15 tahun silam, Bernardinus Realino Norman Irawan (akrab dipanggil “Wawan”), putra Maria Sumarsih, mati tertembak di kampus Unika Atmajaya dalam huru-hara politik yang mengiringi proses transisi politik. Padahal Wawan bukan tokoh demonstran. Ia hanya mahasiswa biasa yang berusaha menolong teman-temannya, sampai peluru tajam menghajar tubuhnya, 13 November 1998.
Peristiwa itu, kemudian dikenal sebagai “Tragedi Semanggi I”, mengubah hidup Maria Sumarsih. Dulu ia pegawai negeri biasa, bagian dari mesin birokrasi yang tak pernah bersentuhan dengan hiruk-pikuk politik. Kematian Wawan mengubahnya jadi pejuang HAM yang gigih. “Siapa yang rela membiarkan anaknya diperlakukan tidak adil oleh Negara,” katanya dalam salahsatu wawancara.  Ia sudah kehilangan buah hatinya, menjadi tumbal bagi perubahan rezim. Dan ia bertekad akan menuntut keadilan, agar dalang di belakang para pembunuh Wawan diadili. Tetapi Negara ini diam saja. Seluruh teriakan protesnya, beserta para korban kekerasan lainnya yang tergabung dalam JSKK (Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan), bak membentur tembok bisu. Mulai dari Presiden, sampai para politisi yang kini pongah serta gemar berbicara “demokrasi”, “keadilan”, “HAM”, dan slogan-slogan lain, justru menutup telinga mereka rapat-rapat. Bahkan tindakannya melempar telur busuk ke tengah Sidang Paripurna DPR saat memutuskan bahwa peristiwa Tragedi Semanggi I dan II serta kasus Trisakti bukan pelanggaran HAM berat, juga tidak menggoyahkan kebebalan para politisi. Saya menduga, kebebalan para politisi itulah yang menjadi alasan mengapa Maria Sumarsih dan lainnya memilih jalan protes tak lazim: berdiri diam di depan Istana Negara setiap hari Kamis sore. Ibu Maria Catarina Sumarsih, di seberang Istana, 7 tahun aksi Kamisan. (Foto: Ist.) Ibu Maria Catarina Sumarsih, di seberang Istana, 7 tahun aksi Kamisan. (Foto: Ist.) Boleh jadi bagi banyak orang, termasuk saya pada awalnya, protes diam yang dilakukan Maria Sumarsih dan lainnya adalah tindakan mubazir. Bukankah politik, seharusnya, merupakan proses negosisasi, dan karenanya selalu ada kaitan erat antara politik dengan kata-kata?  Sementara sikap membisu, yakni saat kata-kata dilucuti daya magisnya, justru menjungkirbalikkan makna politik. Tak mungkin lagi ada negosiasi; masing-masing berdiri pada posisinya sendiri-sendiri. Namun, perlahan-lahan, akhirnya saya memahami sikap membisu yang dipilih aksi “Kamisan”. Di tengah hiruk-pikuk wacana politik yang hanya mengumbar janji-janji palsu, memilih sikap diam yang konsisten – tetapi selalu hadir sebagai saksi – merupakan langkah politik yang lebih mendalam dan eksistensial. Aksi “Kamisan” lalu merupakan proses yang menelanjangi selubung kebohongan dan kepura-puraan tatanan politik Negara ini. Seakan aksi “Kamisan” itu mau menunjukkan bahwa kata-kata sudah kehilangan arti dan daya magisnya, karena tak lagi mampu menggerakkan hati, atau menyentuh nurani. Karena itu lebih baik mereka memilih diam, membiarkan nurani berbisik dalam keheningan. Dan konsistensinya sungguh menakjubkan. Sudah tujuh tahun lebih Maria Sumarsih dengan teguh memilih jalannya. Saya bahkan membayangkan, ia akan terus ada di sana, sampai orang mampu menangkap pesan bisunya, terutama para penguasa Negara ini. Sebab apa yang dilawan Maria Sumarsih, seperti para korban lainnya, bukan hanya kebebalan para politisi, tetapi juga melawan politik pelupaan yang kerap dipakai oleh para penguasa untuk menghapus jejak-jejak kenangan berbahaya tentang para korban dan mereka yang dikorbankan, sehingga urusan politik bisa berjalan sebagai sesuatu yang wajar, business as usual. Tetapi, kita tahu, justru kewajaran itu membungkam suara mereka yang dikorbankan, dan kenangan pada mereka makin meredup ditelan perjalanan waktu. Sementara para pelaku kejahatan tidak tersentuh, memperoleh impunitas dan hidup wajar, seakan tanpa masalah apapun. Persis itulah yang mau dilawan oleh para saksi bisu aksi “Kamisan”. Sebab politik pelupaan, sesungguhnya, merupakan pembunuhan kedua terhadap Wawan dan korban-korban lainnya. Kehadiran mereka, para saksi bisu itu, merupakan protes subtil terhadap mekanisme politik pelupaan yang mengabsahkan impunitas. Dengan berdiri diam di depan Istana Negara setiap hari Kamis sore, mereka seperti mau menandaskan, “Kami ada di sini sebagai saksi. Engkau bisa menutup telinga dan batinmu dari suara-suara kami. Tetapi engkau tidak akan pernah mampu menghapus kami yang telah menyaksikan perbuatan kejimu. Kami adalah saksi sejarah itu.” Apakah Anda mendengar pesan bisu itu? Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI, Jakarta

BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home