Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 09:52 WIB | Jumat, 02 September 2016

Prancis Harus Lakukan Terobosan Daripada Larang Burkini

Seorang perempuan mengenakan burkini di sebuah pantai di Turki. (Foto: politico.eu)

DUBLIN, SATUHARAPAN.COM – Pelarangan pemakaian baju renang muslimah – burkini – di sejumlah kota di Prancis merupakan tindakan yang membuang waktu dan tenaga. Prancis seharusnya memikirkan masalah lain yang mengancam identitas negara tersebut daripada hanya burkini

Hal tersebut dikemukakan kolumnis The Irish Catholic, David Quinn dalam kolom opininya hari Kamis (1/9). Menurut Quinn burkini tidak sekadar pakaian bagi perempuan dan muslimah, namun burkini menjadi sumber konflik politik, karena beberapa  kota memutuskan  melarang pemakaian  burkini.

“Ada banyak tindakan yang lebih efektif, cara yang lebih konstruktif untuk melestarikan identitas nasional Perancis  dari sekadar larangan burkini,” tulis Quinn.

Quinn menyadari tingginya jumlah Muslim di Prancis menjadi salah satu penyebab negara dengan simbol Menara Eiffel tersebut mengalami ketakutan identitas nasionalismenya rusak. “Anda tidak bisa menyamakan Irlandia,  dan Prancis, karena jumlah Muslim  di sini sangat kecil, selain itu iklim di Irlandia tidak mendukung untuk berjemur di pantai seperti di Prancis,” kata Quinn.

Beberapa pekan lalu, dunia dikejutkan dengan gambar yang memperlihatkan beberapa petugas keamanan di sebuah pantai di Nice, Prancis yang melihat perempuan melepas burkini yang dia kenakan saat berjemur.

Pelarangan tersebut tidak hanya di satu kota namun di beberapa wilayah lain di Prancis, dan semakin mendapat dukungan dua tokoh ternama negeri itu. Perdana Menteri (PM) Prancis, Manuel Valls mengatakan tetap mendukung larangan burkini, sementara itu Mantan Presiden Prancis, Nicolas Sarkozy  yang berniat maju dalam Pemilihan Presiden pada 2017.  

Quinn mempertanyakan apakah burkini merupakan ancaman bagi umat  Kristiani di Eropa. Di sisi lain Quinn menekankan adanya kebebasan beragama yang harus didukung, termasuk untuk muslimah yang berkeinginan berhijab. 

Dalam pandangan Quinn, dia melihat partai berhaluan kiri dan kanan di Prancis mengambil peran dalam kasus tersebut. “Partai berhaluan kiri cenderung menjadi pendukung terbesar  sekularisme yang ingin menghilangkan agama  ke domain pribadi,” kata dia.

Sementara itu partai berhaluan kanan yang konservatif, menurut dia seharusnya lebih mendukung perempuan mengenakan burkini. Quinn mengapresiasi  Menteri Dalam Negeri Prancis Bernard Cazeneuve yang  mengatakan Pemerintah menolak  membuat undang-undang tentang masalah ini karena hukum tersebut akan inkonstitusional, tidak efektif dan  menciptakan ketegangan di tengah masyarakat.

Quinn mendukung perundingan yang telah dilakukan hari Senin (29/8) antara Bernard Cazeneuve, beberapa anggota parlemen Prancis dan beberapa pemimpin organisasi Muslim di Prancis.

Dalam pertemuan tersebut, menurut harian Prancis, Le Figaro, Cazeneuve menunjuk Mantan Menteri Pertahanan Prancis, Jean Pierre Chevenement sebagai pemimpin  “Fondation pour les œuvres de l'islam de France” (yayasan yang mengurusi Islam di Prancis).

“Menurut saya yang terpenting yakni bagaimana umat Muslim bersama umat beragama lain di Prancis mau menerima nilai-nilai demokrasi Perancis dan tidak membuat beberapa bagian dari Prancis terlihat seperti wilayah Afrika Utara,” kata Quinn.

Quinn menyarankan Pemerintah Prancis  harus menjamin rasa aman dan kenyamanan untuk umat Muslim dalam segala bentuk dan dijauhkan dari diskriminasi. “Muslimah yang mengenakan burkini di pantai bukan sebuah ancaman,” kata dia.

(irishcatholic.ie/lefigaro.fr)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home