Loading...
INDONESIA
Penulis: Prasasta 11:47 WIB | Kamis, 04 Juli 2013

Rekonsiliasi Penting Bagi Bangsa Indonesia

Ketua FSAB, Setyo Susilo, menyampaikan kata pembuka saat peluncuran buku Children of War, Rabu (3/7) di Jakarta.

 

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rekonsiliasi diperlukan dalam sebuah bangsa supaya masyarakat tidak terjebak dalam pemahaman konflik antar generasi yang turun-temurun. Hal ini dinyatakan Agus Widjojo, putra mendiang Pahlawan Revolusi Let.Jend. (Anm.) Soetojo Siswomihardjo dalam peluncuran buku “Children Of War” yang digelar di Gedung Nusantara V Kompleks MPR RI, pada Rabu (3/7) malam.

“Rekonsiliasi diperlukan agar bangsa ini tidak terkungkung dalam konflik antar generasi, konflik ini bukan tentang siapa yang menang atau kalah dalam jumlah kuantitas. Tetapi rekonsiliasi lebih kepada keinginan dari bangsa ini mau menerima keadaan kami tanpa melihat pertentangan ideologi antara orangtua kami dahulu,” ujar Agus.

Dalam acara peluncuran buku yang dibawakan jurnalis senior Budiarto Shambazy, menghadirkan KH. Solahuddin Wahid dari Jombang, Jend. Pol. (Purn.) Siddharta Danusubroto, Amelia Yani (putri Jend. Anm. Ahmad Yani), Catherine Panjaitan (anak dari Let.Jend. D.I Panjaitan), Sarjono Kartosoewirjo (Putra Kartosoewirjo, DI/TII ), Setyo Susilo (Ketua Forum Solidaritas Anak Bangsa/ FSAB), Svetlana Njoto (anak dari Njoto PKI), Agus Widjojo (putra pahlawan revolusi Let.Jend. Soetojo Siswomihardjo).

Dalam sambutannya, Agus menerangkan bahwa walaupun konflik antar generasi terjadi dalam hal ini melibatkan antara putra putri korban Gerakan 30 September melawan para pelaku Gerakan 30 September 1965, namun FSAB (Forum Solidaritas Anak Bangsa) selalu menggelar kesempatan untuk memantapkan soliditas.

“FSAB (Forum Solidaritas Anak Bangsa) dapat berseberangan tetapi dapat saling merangkul karena ada kemauan memaafkan dari diri sendiri,” tambah Agus.

Agus mengajak masyarakat Indonesia menemukan empati, karena yang menjadi korban ideologi komunis yang waktu itu termasuk ideologi terlarang tidak hanya putra-putri pahlawan revolusi. Di sisi lain, generasi keturunan komunis yang waktu itu dikategorikan terlarang ini juga mengalami stigma sebagai korban.

“Melalui FSAB ini kami menemukan empati, dan buku ini menjelaskan kepada kita semua bahwa kita diajak menemukan makna sesungguhnya dari kata ‘korban‘. Pada satu sisi orangtua kami adalah korban dari pembunuhan keji secara fisik, tetapi di sisi lain ibu Svetlana (putri dari Njoto, aktivis politbiro PKI), pak Ilham (anak dari mantan ketua PKI, D.N. Aidit), Pak Sardjono (anak dari Kartosoewirjo) merupakan “korban” dari kesalahan pemerintahan saat itu.

"Saat Anda membaca buku ini, tidak akan menemukan gagasan tunggal, tidak hanya untuk FSAB tetapi menyongsong masa depan," katanya.

Setyo Susilo selaku Ketua FSAB membuka acara ini dengan mengajak seluruh peserta mengheningkan cipta mengenang kepergian Taufik Kiemas, karena almarhum Taufik Kiemas turut membidangi penerbitan dan penyusunàn buku ini, selanjutnya Setyo Susilo memperkenalkan para penyusunnya yakni Nina Pane, Stella Warouw, Bernarda Triwara Rurit.

Setyo setuju dengan pendapat Agus Widjojo bahwa di masa mendatang diharapkan tidak terjadi lagi salah persepsi di masyarakat tentang konflik antar generasi ini.

“Lewat kesempatan ini FSAB ingin berbagi kepada bangsa Indonesia bahwa konflik pada masa lalu dapat dimaafkan sehingga tidak ada konflik lagi pada masa mendatang,” ujar Setyo.

Acara yang tertunda satu jam karena menunggu kedatangan Lukman Hakim Saifuddin didahului dengan penyerahan secara simbolis kepada Agus Wijoyo, Svetlana Njoto, Harry Tjan Silalahi, Setyo Susilo, dan Solahuddin Wahid.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home