Loading...
INDONESIA
Penulis: Bayu Probo 15:25 WIB | Rabu, 03 Juni 2015

Sidang Praperadilan, Pengacara Novel Minta Tertutup

Penyidik KPK, Novel Baswedan (Foto: Antara/Putra)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Tim pengacara penyidik KPK Novel Baswedan dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (3/6), meminta sidang pemeriksaan tertutup atau tidak dihadiri kuasa hukum Polri atas beberapa bukti surat yang diajukan.

Mengacu pada Pasal 17 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Informasi yang Dikecualikan, maka salah satu kuasa hukum Novel, Febi Yonesta, meminta hakim praperadilan agar beberapa bukti surat hanya diperlihatkan kepada hakim tanpa ditunjukkan kepada pihak termohon praperadilan dalam hal ini Polri.

“Jikalau diperkenankan kami memohon adanya sidang pemeriksaan tertutup. Sesuai dengan yang dipraktikkan dalam sengketa informasi, kami memohon (sidang tersebut) tidak dihadiri termohon,” tutur Febi dalam sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan bukti tertulis di PN Jakarta Selatan, Rabu.

Namun, hakim tunggal Suhairi yang memimpin sidang tersebut menolak permintaan sidang pemeriksaan tertutup yang diajukan pihak Novel.

“Kalau Saudara menganggap (bukti) itu perlu, ya disampaikan di persidangan,” tuturnya.

Keputusan hakim juga didukung dengan pernyataan kuasa hukum Mabes Polri, Joel Baner Toendan.

“Ini kan sengketa praperadilan bukan sengketa informasi publik. Jadi mohon disampaikan dalam sidang terbuka, baik terhadap termohon maupun publik,” katanya.

Menanggapi penolakan tersebut kuasa hukum Novel, Julius Ibrani, menjelaskan bahwa permintaan sidang tertutup itu dimaksudkan untuk mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam penanganan praperadilan Novel karena hal tersebut menjadi perhatian banyak pihak.

Ia pun menegaskan bahwa jika permintaan sidang tertutup benar-benar ditolak oleh hakim, maka tim kuasa hukum Novel urung mengajukan bukti yang dimaksud.

“Kalau tidak diterima, ya tidak kami ajukan,” ujarnya.

Usai persidangan Julius menjelaskan bahwa bukti surat yang dikecualikan atau diminta diperiksa secara tertutup itu di antaranya adalah surat yang bersifat pribadi baik tentang Novel maupun institusi-institusi terkait dengannya yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri.

“Urgensinya sama seperti bukti surat yang lain. Ada salah satu permohonan kita yang menyebutkan bahwa Novel bertugas (di KPK) dan dia tidak mangkir dari panggilan (pemeriksaan penyidik Bareskrim),” ujarnya.

Dalam sidang tersebut pihak Novel menyerahkan 77 bukti surat yang di antaranya juga mencakup piagam penghargaan atas nama Novel Baswedan selama ia berkarier.

Karena menilai adanya kesalahan prosedur dalam penangkapan dan penahanan yang dilakukan penyidik Bareskrim atas kliennya, maka kuasa hukum Novel Baswedan meminta hakim praperadilan memutuskan tidak sah penangkapan berdasarkan surat perintah penangkapan tertanggal 24 April 2015 dan penahanan berdasarkan surat perintah penahanan tertanggal 1 Mei 2015.

Proses hukum terhadap Novel dimulai sejak Jumat (1/5) pagi, yaitu sekitar pukul 00.30 WIB, Novel dijemput paksa oleh penyidik Bareskrim Polri untuk dibawa ke Bareskrim.

Dalam perkara ini, Novel diduga keras melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan atau seseorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan maupun untuk mendapat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat 2 KUHP dan atau Pasal 422 KUHP Jo Pasal 52 KUHP yang terjadi di Pantai Panjang Ujung Kota Bengkulu tanggal 18 Februari 2004 atas nama pelapor Yogi Hariyanto.

Novel Baswedan dituduh pernah melakukan penembakan terhadap enam pelaku pencuri sarang burung walet di Bengkulu pada 2004. Penembakan tersebut diyakini menjadi penyebab utama tewasnya salah satu pelaku, yaitu Mulyan Johani alias Aan.

Novel yang saat itu berpangkat Inspektur Satu (Iptu) dan menjabat Kasat Reskrim Polres Bengkulu dianggap melakukan langsung penembakan tersebut.

Polri: Penangkapan dan Penahanan Novel Bertujuan Hukum

Sebelumnya, Kepala Divisi Hukum Mabes Polri Brigjen Pol Ricky HP Sitohang dalam sidang praperadilan Novel Baswedan menegaskan bahwa penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri terhadap penyidik KPK itu bertujuan untuk penegakan hukum.

Berdasarkan laporan polisi tertanggal 1 Oktober 2012 atas nama korban Mulyan Johani, ia menjelaskan, ada perubahan pasal yang disangkakan pada Novel dari semula Pasal 351 ayat 1 dan 3 KUHP menjadi Pasal 351 ayat 2 dan Pasal 422 jo Pasal 52 KUHP.

“Bahwa pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana sebagaimana yang diatur dan diancam dalam Pasal 351 ayat 2 KUHP dan Pasal 422 KUHP jo Pasal 52 KUHP. Bukan Pasal 442 KUHP seperti yang disebut pemohon dalam permohonan praperadilannya,” tutur Ricky saat membacakan jawaban atas permohonan praperadilan Novel di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin.

Menurut dia, pihak Novel dalam permohonan praperadilannya, telah salah menyebutkan pasal yang menjadi dasar penangkapan dan penahanan Novel yaitu Pasal 442 KUHP tentang Tindak Pidana Pelayaran.

“Termohon sangat mengetahui sejak awal bahwa pemohon tidak bekerja di bidang pelayaran dan peristiwa pidana yang menjadi dasar fakta dalam perkara, di mana pemohon ditetapkan sebagai tersangka adalah sama sekali tidak bersangkut paut dengan dunia pelayaran,” ia memaparkan.

Dalam menetapkan Novel sebagai tersangka, katanya, penyelidik dan penyidik Polri juga telah memiliki bukti permulaan yang cukup di antaranya keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, surat-surat, dan barang bukti.

Di antara semua bukti tersebut ada pula bukti surat yang disampaikan kuasa hukum dari saksi Irwansyah Siregar dan Dedi Nuryadi pada 3 September 2012 yang menjelaskan bahwa keduanya telah menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh Kasat Reskrim Polresta Bengkulu yaitu Novel Baswedan, yang pada tahun 2004 itu masih berpangkat Inspektur Satu (Iptu).

Selain itu, Ricky juga memaparkan kronologi peristiwa penembakan yang dilakukan Novel terhadap enam pelaku pencuri sarang burung walet di Pantai Panjang Ujung, Bengkulu pada 2004. Penembakan tersebut ditengarai menjadi penyebab utama tewasnya salah satu pelaku yaitu Mulyan Johani alias Aan.

Dia juga menjelaskan bahwa sebelum menetapkan Novel sebagai tersangka, penyidik Polri telah melakukan gelar perkara pada 16 Februari 2015 bertempat di ruang Rapat Subdit II Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri yang pada pokoknya diperoleh hasil bahwa perbuatan pidana yang dilakukan Novel telah menyalahi Pasal 351 ayat 2 KUHP dan atau 422 KUHP jo Pasal 52 KUHP.

“Namun, perlu ditegaskan bahwa proses pemeriksaan dan penentuan pasal atau rumusan delik yang dipersangkakan terhadap pemohon adalah tetap dalam koridor peristiwa pidana yang sama dengan peristiwa pidana gang dilaporkan sebelumnya,” tuturnya.

Sebelumnya, kuasa hukum Novel menduga ada maksud dan tujuan lain di balik penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh penyidik Bareskrim Polri terhadap kliennya pada 1 Mei 2015.

“Bahwa penangkapan dan penahanan telah dilakukan terhadap Novel Baswedan dengan tujuan di luar tujuan penegakan hukum yang dapat terlihat dari rangkaian peristiwa yang terjadi sebelum, saat, dan sesudah dilakukannya penangkapan dan penahanan,” ujar salah satu kuasa hukum Novel, Febi Yonesta, saat membacakan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (29/5).

Ia menjelaskan bahwa dugaan tersebut didasarkan pada perbedaan pasal yang disangkakan pada Novel yaitu Pasal 351 ayat 1 dan 3 KUHP, namun yang dijadikan dasar penangkapan adalah surat perintah penyidikan (Sprindik) yang memuat Pasal 351 ayat 2 dan Pasal 442 jo Pasal 52 KUHP.

Selain itu, penangkapan dan penahanan Novel juga dinilai tidak memenuhi syarat subjektif dan tidak sesuai prosedur karena dilakukan tanpa gelar perkara.

Salah satu kuasa hukum Novel, Bahrain, menjelaskan bahwa dalam Pasal 45 ayat 2 Perkap 14/12 diatur bahwa penahanan harus melalui mekanisme gelar perkara sebagai dasar merumuskan kebijakan penyidikan secara cermat dan objektif dalam bentuk pertanggungjawaban hukum dari penyidik dalam melakukan tindakan dalam penyidikan, dan dalam Pasal 72 ayat 4 KUHAP secara eksplisit disebutkan bahwa gelar perkara harus dibuatkan laporan hasil gelar perkara.

“Melihat fakta keluarnya keputusan untuk melakukan penahanan terhadap Novel Baswedan yang sangat cepat, yaitu tidak beberapa lama setelah Novel menolak diperiksa di Markas Komando Brimob serta tidak adanya penjelasan lisan maupun tertulis terkait penahanan, maka dapat disimpulkan bahwa keputusan melakukan penahanan selain tanpa alasan yang sah berdasarkan hukum juga tanpa melalui mekanisme gelar perkara,” tuturnya. (Ant)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home