Loading...
INDONESIA
Penulis: Endang Saputra 14:19 WIB | Jumat, 15 Juli 2016

Tim Evaluasi Penanganan Teroris Kritik Tito Soal Bom Solo

Tim Evaluasi Penanganan Terorisme di Kantor PP Muhammadiyah Jalan Menteng Raya Nomor 62, Jakarta Pusat, hari Jumat (15/7). (Foto: Endang Saputra)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Salah satu anggota Tim Evaluasi Penanganan Terorisme yang dibentuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) Hafid Abbas memberikan beberapa catatan mengenai komentar Tito Karnavian yang kala itu menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) terkait pelaku bom di Mapolresta Surakarta Nur Rohman.

Menurut Hafid, penanganan teroris jangan melupakan unsur Hak Asasi Manusia (HAM) sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

“Pertama amanat Undang-undang HAM Nomor 39 Tahun 1999 dan sejumlah Undang-undang terkait lainya, serta pandungan penanganan terorisme yang dipublikasikan oleh Dewan HAM PBB (Fact Sheet Nomor 32), menekankan bahwa penanganan terorisme haruslah dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak asasi manusia,” kata Hafid di Kantor PP Muhammadiyah Jalan Menteng Raya Nomor 62, Jakarta Pusat, hari Jumat (15/7).

Kendati demikian, kata Hafid seseorang yang telah diduga teroris, harus tetap diperlakukan sebagai manusia dengan menghargai segala kehormatan dan martabatnya.

“Diberi kesempatan untuk membela diri dan didampingi oleh pengacara, terbebas dari intimidasi retaliasi dan kekerasan dalam bentuk apapun,” kata dia.

“Kerahasiaan pribadinya terlindungi, dan mendapatkan perawatan, bantuan spikologis dan sosial jika diperlakukan, bahkan dalam kondisi darurat, penanganan terorisme hendaklah dilakukan dengan memperhatikan asas proporsionalitas dan seluruh penanganannya dipantau dan diaudit oleh satu lembaga yang independen,” kata dia menambahkan.

Kedua, kata Hafid di berbagai media terlihat inkonsistensi penjelasan Kepala BNPT Tito Karnavian yang menyatakan bahwa jaringan teror bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta tidak ada hubungannya dengan serangan bom di Thamrin pada bulan Januari lalu.

Akan tetapi, kata Hafid sehari sebelumnya di berbagai media lain muncul ulasan mengenai keterkaitanya dengan bom Thamrin karena Tito mengemukakan bom bunuh diri di Mapolresta Solo memiliki kaitan dengan peristiwa penyerangan dan bom di Thamrin.

“Padahal dua aksi itu dilakukan oleh dua jaringan yang terkait,” kata dia.

Ketiga, kata Hafid sosok Nur Rohman, pelaku bom diri di Mapolresta Solo itu sudah diidentifikasi sebagai buronan aparat sejak tahun 2000 dan kemudian terindentifikasi pula kaitanya dengan kelompok militan Islamic State Iraq and Syria (ISIS).

“Berarti yang bersangkutan baru 14 tahun, dengan kelahiran 1 November 1985. Apabila Nur Rohman masuk sekolah usia tujuh tahun berarti ia sudah menjadi terorisme ketika duduk di kelas 6 SD atau kelas 1 SMP dan ia dengan mudah dapat ditangkap dengan mendatangi sekolahnya, perlu disampaikan bahwa jaringan ISIS baru dinyatakan lahir pada tahun 2013,” kata dia.

Menurut Hafid konsistensi dan informasi akurat amat diperlukan masyarakat luar agar penanganan kasus terorisme tetap mengormati due process of law dan terbatas dari kesan penanganan yang menghalalkan segala cara serta jauh dari kesan pencarian dan pemanfaatan momentum untuk mempercepat revisi Undang-undang terorisme.

“Semoga penanganan terorisme di tanah air, tidak hanya menjadi tanggung jawab satu atau dua intitusi, tetapi menjadi tanggung jawab bersama antara aparat, masyarakat dan organisasi sosial melalui penegakan supremasi hukum dan pemajuan serta perlindungan hak asasi manusi,” kata dia.

Tim Evaluasi Penanganan Terorisme yang terdiri dari M. Busyro Muqoddas, Bambang Widodo Umar, KH Salahuddin Wahid, Trisno Raharjo, Ray Rangkuti, Dahnil Anzar Simanjuntak, Haris Azhar, Siane Indriani, Hafid Abbas, Manager Nasution, Franz Magnis Suzeno, Magdalena Sitorus dan Todung Mulya Lubis.

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home