Loading...
SAINS
Penulis: Prasasta Widiadi 04:55 WIB | Rabu, 08 Oktober 2014

Transparansi Penting, Jangan Permalukan Profesi Pendidik

Transparansi Penting, Jangan Permalukan Profesi Pendidik
Lasro Marbun (tengah) saat memberi pemaparan tentang transparansi anggaran. (Foto-foto: Prasasta Widiadi).
Transparansi Penting, Jangan Permalukan Profesi Pendidik
Lasro Marbun (tengah) dan Febri Hendri dari Indonesian Corruption Watch (kanan) beberapa saat seusai memberi materi, keduanya mendapat kenang-kenangan dari Yayasan Cahaya Guru dan Federasi Serikat Guru Indonesia.
Transparansi Penting, Jangan Permalukan Profesi Pendidik
Lasro Marbun (tengah) bersama perwakilan beberapa guru yang meminta berfoto bersama.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Transparansi dalam dunia pendidikan penting, oleh karena itu diharapkan jangan sampai mempermalukan profesi seorang pendidik.

“Transparansi harus dimulai dari diri kita sendiri selaku pemimpin di sekolah, karena kalau tidak maka akan mencelakakan anda sendiri dan rekan rekan seprofesi anda di Jakarta,” hal ini dikemukakan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Lasro Marbun dalam seminar dalam seminar  menyongsong Hari Guru Internasional dengan tema Mewujudkan Revolusi Mental Melalui Transparansi Anggaran Pendidikan dan Pendindakan Korupsi Dalam Pendidikan yang diselenggarakan di Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (7/10).  

Lasro menjelaskan kalimatnya tadi dengan contoh perangkat sekolah yang bersikap tidak jujur, dan tidak transparan tentang kondisi sebenarnya di sekolah tempat dia mengajar.

“Saya pernah melakukan kunjungan ke SMP 272 Jakarta, waktu itu saya menjumpai sebuah kelas dalam ruangan kelas berukuran 4 x 6 meter, akan tetapi kok diisi lebih dari 30 orang, ini kan nggak wajar, saya herannya kenapa keadaan seperti ini terjadi di Jakarta,” kata Lasro.

Usut punya usut, Lasro menambahkan, ternyata ruangan kelas berukuran sempit tersebut tidak hanya menampung siswa tetapi juga kelebihan guru, karena menurut Lasro masalah sesungguhnya di SMP 272 Jakarta adalah kekurangan ruang, akan tetapi kelebihan guru sehingga para guru yang kebetulan tidak mengajar ada di ruangan yang sama dengan kegiatan belajar mengajar.

“Transparansi dimulai dari diri kita sendiri, kalau kita ada niat untuk jujur kan tidak harus seperti itu, di sekolah itu kan ada kelebihan guru, sementara di sisi lain ada sekolahan yang fasilitasnya bagus, ruangannya bagus tetapi kekurangan guru. Nah, ini kan contoh konkret dan riil nggak transparan ya seperti ini,” Lasro menambahkan.

Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan transparansi anggaran, maka dia tidak akan begitu saja percaya apabila ada sekolah yang meminta anggaran ke Dinas Pendidikan DKI Jakarta kekurangan guru atau sarana-prasarana.

“Buat saya transparansi anggaran bukan melihat analisisnya saja, tetapi keadaan konkret di lapangan, apakah benar-benar perlu atau tidak ada penambahan anggaran untuk sarana prasarana. Kalau di sekolah yang ini kelebihan kursi atau bangku, sementara sekolah yang lain kekurangan kan bisa dimutasi, sama halnya dengan guru, kalau ada sekolah yang kekurangan guru Fisika, sementara sekolah lain ada yang membutuhkan kan bisa dimutasi juga,”Lasro menjelaskan.

Lasro menjelaskan bahwa transparansi dalam pendidikan berarti adanya keinginan untuk mengubah egosentrisme dari seorang pemimpin dalam satu institusi pendidikan, atau dalam hal ini seorang kepala sekolah yang harus mengubah pola pikir.

“Transparansi pendidikan suatu saat masyarakat para orang tua akan mepertanyakan apa yang ada sebenarnya dalam institusi pendidikan, dan bagaimana sekolah mengelola keuangan pada sektor pendidikan, itu adalah hakekat transparansi,” kata Lasro.

Seminar ini diselenggarakan Dinas Pendidikan DKI Jakarta bekerja sama dengan Federasi Serikat Guru Indonesia dan Yayasan Cahaya Guru dalam rangka memperingati Hari Guru Internasional.

Seminar dengan tema tersebut merupakan rangkaian terakhir dari empat seminar sebelumnya yang memilki tema-tema berbeda antara lain Keragaman dalam Pendidikan di Sekolah Negeri, Peningkatan Kualitas Guru sebagai Pendidik, dan Revolusi Mental dalam Pendidikan sebagai Antisipasi Kekerasan di Sekolah.

“Transparansi sulit terjadi karena budaya malu, dalam artian bangsa indonesia ini cenderung menjadi bangsa yang feodalistik  karena kita terbiasa tunduk oleh kekuasaan, dan jarang untuk kritis atau menuntut transparansi terhadap kekuasaan,” Lasro menambahkan.

Bagi dia secara pribadi, Lasro menjelaskan transparansi bukan sebuah hal yang remeh karena ini menyangkut tanggung jawab seseorang yang menduduki jabatan tinggi.

“Bagi saya transparansi bukanlah sebuah hal yang main-main karena saya sebagai seorang kepala dinas memegang teguh sebuah jabatan teknis, dan saya harus benar-benar transparan sebagai seorang pejabat, karena jabatan saya dan seluruh keputusan yang saya keluarkan untuk kepentingan orang banyak,” Lasro mengakhiri penjelasannya.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home