Loading...
DUNIA
Penulis: Sabar Subekti 15:13 WIB | Jumat, 06 Desember 2013

Tutu Mengenang Mandela: Terima Kasih Tuhan, untuk Madiba

Desmond Tutu dan Nelson Mandela. (Foto: mg.co.za)

PRETORIA, SATUHARAPAN.COM – Nelson Mandela dan Bhishop Desmond Tutu, adalah dua sosok tokoh Afrika Selatan yang tidak bisa dilupakan, terutama dalam saat-saat negara itu menjalani transisi politik yang kritis dari politik apartheid ke  negara yang demokratis.

Setelah kabar meninggalnya Mandela, pada Jumat (6/12) Desmond Tutu menulis di media Afsel,  Mail & Guardian. Dia memberi judul tulisannya: “We Thank God for Madiba.”

Tutu yang pada masa pemerintahan Mandela dipercaya menjadi Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,menyebutkan, “Saya tidak percaya itu, tapi, ya, itu benar. Madiba (panggilan Mandela yang merujuk suku di mana dia berasal-Red.), yang menjadi berkat bagi kita dan dunia menjadi begitu kaya, tidak lebih.”

Desmond Tutu kemudian juga menerima hadiah Nobel Perdamaian. Tutu menulis, “Tampaknya dia selalu bersama kami. Meskipun dia benar-benar berjalan di dunia sebagai raksasa moral setelah tahun 1994, ketika dia menjadi presiden Afrika Selatan.”

Namun menurut Tutu, sosoknya mulai tumbuh saat dia berada di Robben Island, ketika dia menjadi tahanan politik yang paling terkenal pada masanya, dan menginspirasi banyak orang untuk mendukung Kampanye Pembebasan Mandela.

Mandela sudah banyak menjelaskan hal-hal yang membuatnya menjadi lebih besar daripada kehidupan, kata Tutu. Ada rumor bahwa beberapa orang di ANC (partai Kongres Nasional Afrika, dan Mandela sebagai salah satu pimpinannya.-Red.) takut kalau dia akan terperosok ke lumpur, dan dia begitu diinginkan untuk "dihilangkan" sebelum dunia melihat kenyataan lain. “Mereka tidak perlu takut. Luar biasa, dia melebihi harapan yang populer,” kata Tutu.

Gemblengan Liga Pemuda

Di masa mudanya, Mandela digembleng dalam Liga Pemuda ANC.  Tutu mencatat bahwa hal itu dianggap sebagai peluang sempit untuk pemimpin nasional ANC yang dianggap terlalu moderat, seperti Dr. AB Xuma.

Mandela berulang kali melancarkan serangan kepada aparat keamanan Apartheid, mengangkat jari melawan rezim dan memberikan sesuatu untuk meringankan kesuraman hidup yang dialami komunityas kulit hitam yang tertindas.

Tutu mengatakan, “Saya bertemu Madiba sekali, sekilas, di awal tahun1950-an. Saya sedang berlatih untuk menjadi guru di Sekolah Normal Bantu, di dekat Pretoria, yang kami jadikan guyonan dan disebut sebagai "Sekolah Normal Bantu untuk Bantu yang normal". Dan dia adalah juri dalam kontes debat kami melawan Jan Hofmeyr School of Social Work. Dia berperawakan tinggi, ceria dan gagah.”

“Luar biasa, waktu berikutnya saya melihat dia pada 40 tahun kemudian, pada bulan Februari 1990, ketika dia dan Winnie menghabiskan malam pertama kebebasan Mandela di rumah kami di Bishopscourt di Cape Town,” kata Tutu mengenang.

Perlawanan Pasif

Peristiwa penting yang terjadi pada mereka dalam kurun 40 tahun adalah  kampanye perlawanan pasif, penerapan Piagam Kebebasan dan Pembantaian di Sharpeville pada tanggal 21 Maret 1960, yang menyengat ke dalam kesadaran kolektif  rakyat Afrika Selatan. “Hal itu menyampaikan pesan bahwa jika kita protes secara damai kita akan ditembak mati seperti hama, dan bahwa kehidupan orang kulit hitam tidak berarti banyak,” kata dia.

Afrika Selatan adalah tanah di mana ada pemberitahuan publik tanpa malu-malu yang mengumumkan "Pribumi dan anjing dilarang masuk.'' Organisasi politik  kulit hitam dilarang, banyak dari anggota mereka dilarang, ditangkap atau dibung ke pengasingan. Organisasi-organisasi ini tidak lagi beroperasi  dengan non kekerasan. Mereka tidak memiliki pilihan, kecuali beralih pada perjuangan bersenjata.

Itu sebabnya ANC membentuk Umkhonto we Sizwe (sering disebut MK, sayap bersenjata ANC-Red.), dengan Nelson sebagai komandan. Menurut Tutu, Mandela memahami bahwa rakyat tertindas tidak akan mendapatkan kebebasan mereka sebagai turunnya “roti manna” dari surga, dan bahwa penindas tidak menyerahkan kekuasaan dan hak istimewa mereka secara sukarela.

Hal itu akan dianggap sebagai pelanggaran dan pengkhianatan, dan akan menjadikan mereka dihubungkan dengan organisasi-organisasi terlarang. Maka ketika Mandela ditangkap dan dihukum di pengadilan Rivonia, Tutu sangat khawatir.

“Kami takut bahwa Mandela dan terdakwa lain akan dihukum mati sebagaimana tuntutan  jaksa Percy Yutar,” kata Tutu. “Pada saat itu, saya dan keluarga tinggal di London, tempat saya belajar. Doa dilakukan di Katedral St Paul dan lokasi lainnya dalam upaya untuk mencegah hukuman mati.”

Tim pembela Mandela berusaha membujuk dia, karena khawatir pernyataannya mungkin akan memprovokasi hakim. Namun Mandela bersikeras bahwa dia ingin berbicara tentang cita-cita yang telah dianutnya,  yaitu apa yang dia upayakan selama ini, dan jika perlu, dia siap mati untuk itu.

“Kami menarik napas lega ketika terdakwa dijatuhi hukuman kerja paksa seumur hidup, walaupun itu berarti kerja keras membanting tulang di tambang kapur di Robben Island,” kata Tutu.

Jurang Neraka

Periode di Penjara Robben Island kadang-kadang didramatisir. “Padahal itu adalah neraka semata, terutama untuk narapidana kulit hitam,” kata Tutu.  Tahanan orang kulit putih, berwarna dan India mengenakan celana panjang, sepatu dan kaus kaki, dan kaos. Sementara rekan-rekan mereka kulit hitam hanya mengenakan celana pendek dan sandal, apa pun cuacanya, dan tidur di kasur tipis di lantai beton. Mereka juga memiliki menu makanan terburuk.

Pihak berwenang bersikeras untuk menghancurkan mental orang-orang yang mereka anggap mengerikan sebagai teroris. Ada sebuah foto yang menunjukkan Nelson berdiri di dekat Walter Sisulu, teman di penjara, bersama beberapa narapidana hitam lainnya, melakukan pekerjaan mematikan pikiran, membawa batu dengan kantong pos yang tergantung dari kepala.

“Presiden masa depan kita melakukan itu!” kata Tutu. Namun kemudian banyak perbaikan, seperti tempat tidur dan hak istimewa untuk belajar, hal itu adalah berkat tekanan dari Helen Suzman dan Palang Merah Internasional.

Beberapa orang mengatakan  27 tahun Mandela di penjara adalah waktu yang sia-sia, yang menunjukkan bahwa jika dia dibebaskan sebelumnya dia akan memiliki lebih banyak waktu untuk menenun pesona pengampunan dan rekonsiliasinya. “Saya berpendapat berbeda,” kata Tutu.

Spiritualitas di Penjara

Menurut Tutu, dia dipenjara sebagai seorang pemuda yang marah. Marah oleh gugurnya keadilan dalam parodi di Pengadilan Rivonia. Dia tidak  ingin membuat perdamaian. Selain semua itu, dia adalah komandan MK yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan apartheid secara paksa.

Selama 27 tahun adalah periode yang benar-benar penting dalam perkembangan spiritualnya, kata Tutu. Pederitaan adalah wadah yang menghapus sampah yang sangat besar, memberinya empati terhadap lawan-lawannya. Hal ini membantu untuk memuliakan dia, merendamnya dengan kemurahan hati yang sulit untuk didapatkan dengan cara lain.

Hal ini memberinya otoritas dan kredibilitas yang bagi orang lain akan sulit untuk mencapainya. Tidak ada yang bisa menantang mandatnya. Dia telah membuktikan komitmen dan  tidak mementingkan diri melalui apa yang telah menjalani. Dia memiliki otoritas dan daya tarik yang menyertai penderitaan yang mewakili, dan atas nama orang lain, seperti Mahatma Gandhi, Mother Teresa, dan Dalai Lama, kata Tutu.

“Kami terpesona pada hari Minggu tanggal 11 Februari 1990, ketika dunia terdiam dan menunggu dia untuk muncul dari penjara. Ketika dia keluar dengan Winnie di sisinya, kami bersatu dalam kekaguman kami. Betapa besar kebahagiaan untuk hidup, untuk mengalami saat itu!” kata Tutu.

“Kami merasa bangga menjadi manusia, karena satu  manusia yang menakjubkan ini. Untuk beberapa saat, kami semua percaya bahwa adalah mungkin untuk menjadi baik. Kami pikir musuh bisa menjadi teman, karena kami mengikuti Madiba di jalur pengampunan dan rekonsiliasi yang dicontohkan oleh komisi kebenaran dan lagu kebangsaan, dan pemerintahan persatuan nasional di mana presiden apartheid terakhir bisa menjadi wakil presiden dan yang dulu "teroris" menjadi kepala pemerintahan,” kata Tutu.

Sosok Mengagumkan

Bagi Tutu, Mandela adalah sosok yang mengagumkan. Madiba hidup dengan cara seperti yang dia khotbahkan. “Bukankah dia mengundang  mantan kepala penjara orang kulit putih sebagai tamu VIP untuk pelantikannya sebagai presiden? Bukankah dia makan siang dengan Percy Yutar, jaksa di pengadilan Rivonia yang menuntutnya hukuman mati? Bukankah dia terbang ke Orania, pos Afrikaner terakhir, minum teh bersama Betsy Verwoerd, janda dari imam besar ideologi apartheid?” kata Tutu.

Tutu melanjutkan dengan mengatakan, dia sangat mengagumkan. Siapa yang akan melupakan dukungannya untuk retensi lambang Springbok untuk tim nasional rugby, meskipun itu banyak dibenci oleh orang kulit hitam? Dan banyak yang mengambil nafas ketika dia berjalan ke lapagan rumput di Ellis Park untuk menerima Piala Dunia Rugby dari kapten Springbok, Francois Pienaar, yang timnya mengalahkan All Blacks di babak  final Piala Dunia Rugby 1995?

Tutu, mengenang, kerumunan besar penonton terutama Afrikaner berteriak "Nelson, Nelson... "Dan siapa yang bisa percaya bahwa kita akan hidup untuk melihat hari ketika kulit hitam di Soweto akan merayakan kemenangan Springbok, seperti yang mereka lakukan pada tahun 1995?”

Madiba, menurut Tutu, adalah hadiah yang mengagumkan bagi Afrika Selatan dan bagi dunia. Dia percaya sungguh-sungguh bahwa seorang pemimpin ada untuk memimpin, bukan untuk membesarkan diri. Dia adalah seorang “pemboros” yang bekerja tanpa lelah untuk mengumpulkan dana bagi sekolah-sekolah dan klinik di daerah pedesaan. Sementara di kantor, dia menggunakan beberapa gajinya untuk mendirikan Dana Nelson Mandela Children dan kemudian mendirikan yayasannya untuk karya amal.

Dia terkenal di seluruh dunia sebagai ikon tak terbantahkan mengenai pengampunan dan rekonsiliasi, dan semua orang ingin seperti sebagaian dari dia. Rakyat Afrika Selatan bergembira dari pancaran kemuliaannya. “Kami menikmati dalam perasaan baik tentang diri kita sendiri. Kami bahkan berutang padanya untuk membantu kami mendapatkan tawaran untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia FIFA 2010,” kata dia.

Peduli Orang Lain

Mandela  membayar harga yang berat untuk itu semua. Setelah penjara selama 27 tahun, kemudian dia kehilangan Winnie (istri keduanya-Red.). “Segera setelah pembebasannya, Leah dan saya mengundang mereka untuk makan menu tradisional Xhosa di rumah kami di Soweto. Bagaimana dia memuja istrinya! Sementara semua mengikutinya setiap gerakannya seperti anak anjing menyayanginya. Dia cukup terpukul dengan perceraian itu. Terima kasih, Tuhan untuk Graça Machel (istri ketiga Mandela-Red.), berkah yang luar biasa,” kata Tutu.

Madiba benar-benar peduli pada orang-orang, kata Tutu. “Suatu hari saya makan siang dengan dia di rumahnya di  Houghton. Ketika kami selesai makan dia berjalan ke pintu dan berteriak: "Driver!" Saya mengatakan kepadanya bahwa saya menyupir sendiri dari Soweto. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi beberapa hari kemudian dia menelepon saya untuk mengatakan, "Mpilo, saya khawatir bahwa Anda sedang mengemudi sendiri dan meminta beberapa teman bisnis saya. Salah satu dari mereka telah menawarkan untuk mengirimkan R 5.000 per bulan untuk menyewa seorang sopir!"

Menurut Tutu, kadang-kadang Mandela bisa lucu. Tetapi dia juga menunjukkan kerendahan hati yang luar biasa ketika dikritik secara terbuka ketika akan menikah dengan Graça. “Beberapa kepala negara mengkritik saya. Segera setelah itu saya menerima undangan untuk pernikahannya,” kata Tutu.

“Dunia kita adalah tempat yang lebih baik karena kita memiliki Nelson Mandela, dan kami di Afrika Selatan yang sedikit lebih baik. Betapa indahnya jika penerusnya meniru dia dan jika kita menghargai karunia besar kebebasan yang dia menangkan bagi kita dengan harga begitu banyak penderitaan,” kata Tutu.

Tutu mengakhiri dengan mengatakan, “Kami berterima kasih kepada Tuhan untuk Anda, Madiba. Semoga Anda beristirahat dalam damai dan bangkit dalam kemuliaan.” (mg.co.za)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home