Loading...
RELIGI
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 09:59 WIB | Kamis, 13 Maret 2014

WCC Gelar Dialog tentang HIV, Kesehatan Reproduksi Seksual dan Hak Perempuan

Koordinator EHAIA, Nyambura Njoroge dan Phumzile Mlambo-Ngcuka, direktur eksekutif PBB Perempuan. (Foto: oikumene.org)

NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Asosiasi Perempuan Muda Kristen Dunia (YWCA), Dewan Gereja Dunia (WCC) dan beberapa organisasi internasional lainnya menyelenggarakan sebuah “Dialog antar-generasi dalam iman, budaya, HIV, dan kesehatan reproduksi seksual dan hak-hak perempuan”pada Selasa (11/3) di kota New York. Acara ini merupakan salah satu agenda di PBB dalam Sidang Komisi Status Perempuan yang ke 58.

Para peserta dalam acara tersebut termasuk para iman dan tokoh masyarakat, membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan HIV dan hak perempuan atas kesehatan, termasuk kesehatan perempuan dan reproduksi.

Dialog tersebut ditekankan kepada tindak diskriminatif terhadap pencegahan HIV, kesehatan seksual dan reproduksi serta hak mengintensifkan pola pikir yang ditujukan kepada orang yang terinfeksi HIV.

Para panelis dalam acara tersebut membahas cara-cara memperkuat kontribusi dan komunitas agama dalam memajukan agenda pembinaan dan hak-hak perempuan dan mengembangkan strategi untuk menghilangkan atau mengurangi pernikahan anak secara paksa dan di bawah umur.

Rudelmar Bueno de Faria, wakil WCC untuk PBB menghadiri acara tersebut dan berbicara tentang perjanjian WCC pada masalah HIV.

Dia memperkenalkan Inisiatif Ekumenis HIV dan AIDS di Afrika (EHAIA) dan berbagi tentang cara di mana program ini telah mendorong gereja-gereja untuk peduli dalam solidaritas dengan mereka yang menderita HIV dan memberika ruang aman untuk dialog penuh kasih dan tidak menghakimi untuk memahami dan memberikan dukungan yang lebih besar.

Bueno de Faria menyatakan bahwa: “Masuknya EHAIA dalam wacana tersebut telah melalui tahap menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh remaja gereja yang lahir dengan status HIV positif dan saat ini dihadapkan dengan tantangan untuk berkencan, pernikahan dan ingin memiliki anak dengan HIV negatif.”

“Klinik dan rumah sakit berbasis gereja harus memenuhi kebutuhan anak-anak perempuan tersebut dan faktor lainnya melalui teologi kehidupan dalam arti teologi yang melayani hidup dan berani melawan praktek patriarki, cara pandang, pengucilan sosial dan marjinalisasi,” kata dia.

Hendrica Okondo, manajer program global untuk SRHR dan HIV YWCA Dunia, mengatakan dalam sambutannya, “Saat ini penting bagi komunitas agama untuk sama-sama berjuang dan memajukan kesejahteraan perempuan muda dan anak perempuan.”

“Dalam menghadapi kemiskinan dan HIV, banyak perempuan muda yang mati karena mencegah kematian saat melahirkan, pernikahan dini dan paksa, sementara beberapa menderita kekerasan. Agama, budaya dan tradisi harus menegaskan hak-hak asasi perempuan dan mempromosikan kesempatan yang sama bagi semua,” kata Okondo.

Pembicara lainnya antara lain adalah Hans Brattskar, wakil menteri urusan luar negeri Norwegia; Dr Azza Karam, penasehat senior dalam pembangunan sosial-budaya, UNFPA; Azra Abdul Cader, pengurus program dalam ekstremisme agama, Sumber Daya Asia-Pasifik dan Pusat Penelitian Wanita; Haldis Karstad, penasihat senior kesehatan dan Norwegian Church Aid dan Loretta Minghella, kepala eksekutif dari Christian Aid. (oikumene.org)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home