Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 01:00 WIB | Sabtu, 12 Juli 2014

Jenis Tanah yang Mana?

Perumpamaan seorang penabur (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – ”Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!” (Mat 13:9). Demikianlah seruan Yesus. Keras kedengarannya. Tanpa tedeng aling-aling. Mengapa? Kenyataannya, tak sedikit orang lupa bahwa mereka mempunyai telinga. Istilah yang dipakai anak muda era 80-an telinga menjadi sekadar cantelan karena punya telinga, namun tak mau mendengar.

Atau, yang sering terjadi juga ada orang yang hanya mau mendengar apa yang ingin mereka dengar. Sikap begini sungguh aneh. Sebab telinga bukan mata. Tak ada kelopak telinga, yang ada daun telinga. Jika mata dapat memilih apa yang mau dia lihat, baik dengan suruhan otak atau reflek karena ada benda yang masuk ke mata, telinga tidak mempunyai organ yang dapat menyeleksi apa yang ingin didengarnya.

Seruan Yesus tadi berkait erat dengan perumpamaan penabur (Mat 13:1-8). Tampak jelas dalam perumpamaan itu, meski sama-sama mendengarkan berita tentang Kerajaan Sorga, namun tanggapannya berbeda-beda. Dari yang cuek hingga yang sungguh ingin memahaminya karena penting.

Itu jugalah yang terjadi pada kedua anak Ishak. Kisah masakan ”yang merah-merah” merupakan tragikomedi—menggelikan sekaligus menyedihkan (Kej 25:29-34). Menggelikan karena Yakub dan Esau memperjualbelikan status. Hak kesulungan menjadi barang dagangan. Menyedihkan karena ada orang yang demi tujuan menghalalkan segala cara. Dengan menggunakan masakan yang dibuatnya, Yakub membuat jerat agar Esau menjual hak kesulungannya.

Yang lebih menyedihkan, Esau menjual hak kesulungannya demi makanan. Penulis Kejadian mencatat perbuatan Esau itu dengan ”Demikianlah Esau memandang ringan hak kesulungan itu.” (Kej. 25:34).

Yakub turut bersalah dalam tragikomedi ini. Namun, tindakan Esau tak dapat dibenarkan. Bagaimanapun, dia memandang sepele hak kesulungan yang melekat erat dalam hidupnya. Hanya demi urusan perut, Esau telah menjual dirinya.

Perhatikanlah teriakan Esau: ”Sebentar lagi aku akan mati; apakah gunanya bagiku hak kesulungan itu?” (Kej 25:32). Esau lebih menghargai masakan ”yang merah-merah” itu ketimbang hak kesulungan. Esau tidak berpikir jauh ke depan. Pikirannya dibatasi kepentingan sesaat: rasa lapar.

Memandang ringan hak kesulungan sejatinya menyepelakan Tuhan Sang Pemberi. Memandang sepele status diri demi sesuap nasi sesungguhnya menyepelkan Yuhan. Memandang ringan status diri tak beda dengan mengecilkan Tuhan—Sang Pemberi Status.

Dalam hidup, kita mungkin akan bertemu dengan sesuatu yang menarik—sejenis dengan masakan ”yang merah-merah”. Itu bisa berarti harta, takhta, atau wanita (laki-laki). Apa yang hendak kita lakukan? Menjual diri atau tetap menghargai status kita—sebagai pengikut Kristus—dengan menolak semuanya itu?

Jawaban kita berkait erat dengan pandangan kita mengenai firman Allah! Menghargai atau meremehkannya? Atau, dengan kata lain, kita jenis tanah yang mana?

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home