Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 18:41 WIB | Kamis, 03 Desember 2015

Mengapa Tak Ada Calon Kepala Daerah Bicara Pancasila?

Pemikir Muda Lingkar Studi Terapan Filsafat, Ito Prajna Nugraha, saat menjadi pembicara dalam diskusi bertema 'Kepemimpinan Tanpa Wajah dalam Pilkada' yang digelar Forum Semar di Djati Food Festival, Jalan Raya Serpong, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, hari Kamis (3/12). (Foto: Martahan Lumban Gaol)

TANGERANG SELATAN, SATUHARAPAN.COM – Pemikir Muda Lingkar Studi Terapan Filsafat, Ito Prajna Nugraha, mempertanyakan alasan para calon kepala daerah yang maju dalam kontes Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2015 tidak membawa nilai-nilai Pancasila dalam kampanye politik yang dilakukan.

Padahal, menurut dia, Pancasila merupakan rumusan kekuasaan lengkap yang menyajikan kerangka panduan terbaik bagi penguasa, sehingga bertanggung jawab menjalankan kekuasaan negara yang diberikan. Pancasila, ialah dasar penyelenggaraan kekuasaan negara Indonesia dan seharusnya menjadi prinsip moral para pemimpin bangsa.

“Pancasila merupakan rumusan kekuasaan paripurna yang menyajikan formula terbaik bagi mereka yang berkuasa. Pancasila merupakan dasar penyelenggaraan kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menentukan prinsip moral para pemimpin politik,” kata Ito dalam diskusi bertema ‘Kepemimpinan Tanpa Wajah dalam Pilkada" yang digelar Forum Semar di Djati Food Festival, Jalan Raya Serpong, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, hari Kamis (3/12).

Menurut dia, dengan membawa nilai-nilai Pancasila, para kepala daerah terpilih dapat mendengar dan berpihak pada aspirasi masyarakat. Para kepala daerah terpiliha nantinya juga mampu mewujdukan keberpihakan pada masyarakat dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan.

“Sebagaimana tokoh filsafat, Sokrates, pemimpin bukan saja mau mendengar masyarakat, tetapi akan berpihak pada masyarakat dan mampu mewujudkan keberpihakan itu ke dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan negara,” ucap Ito.

Kepemimpinan Tanpa Wajah

Menurut dia, kepemimpinan yang ada di Indonesia saat ini, baik di tingkat pusat ataupun daerah, bersifat tanpa wajah. Dimana, kepemimpinan di Indonesia terlalu banyak dipengaruhi politik transaksional yang terjadi di belakang ruang publik. Hal tersebut membuat kepemimpinan di Indonesia banyak terdikte dalam membuat berbagai kebijakan.

“Efek yang muncul dari bertambah suburnya underground economy dan underground politics, yaitu wilayah bayang-bayang dalam ekonomi dan politik yang mendikte jalannya berbagai kebijakan publik di wilayah terang,” kata Ito.

Padahal, salah satu staf pengajar Ilmu Filsafat di Universitas Pertahanan itu melanjutkna, kepemimpinan di Indonesia seharusnya bisa mengedepankan kepentingan masyarakat dengan senantiasa menjunjung nilai-nilai pancasila dan landasan konstitusi, Undang-undang Dasar 1945.

“Demokrasi dan sistem republik mengandaikan wilayah bayang-bayang ekonomi dan politik dapat dijinakkan dengan tegaknya kepentingan publik. Transparansi dan legalitas sistem hukum sama sekali bukan jawaban atas persoalan ekonomi dan dalam politik yang berbayang-bayang ini,” tutur Ito.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home