Loading...
RELIGI
Penulis: Francisca Christy Rosana 14:14 WIB | Kamis, 11 Juni 2015

Pdt Patty: Hadapi Konflik Horizontal, Negara Sering Impoten

Dari kiri, Pdt. Dr. Benny Giay (Ketua Sinode Gereja Kingmi Papua), Pdt. Dr. Albertus Patty, moderator, dan Dr. M. Mas'ud Said (Staf Khusus Menteri Sosial) pada seminar bertajuk "Meninjau Peta Konflik dan Membangun Budaya Damai dalam Rangka Penguatan Bhinneka Tunggal Ika Indonesia di Universitas Indonesia,Depok, Kamis (11/6). (Foto: Francisca Christy Rosana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua IV Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Pdt Albertus Patty mengungkap kekhawatirannya terhadap negara yang kerap mengidap ‘impotensi’ saat menghadapi konflik horizontal.

“Negara ini absen di tengah kekerasan, baik atas nama agama atau atas nama apa pun terhadap warga negaranya sehingga kekerasan terus berlangsung. Negara sering mengalami impotensi di situ. Kita harus bisa mengkritik kebijakan-kebijakan negara,” kata Patty dalam seminar nasional bertajuk “Meninjau Peta Konflik dan Membangun Budaya Damai dalam Kerangka Penguatan Bhinneka Tunggal Ika” di Universitas Indonesia, Depok, Kamis (11/6).

Konflik horizontal di tengah masyarakat kerap terjadi dalam pelabelan perbedaan kepercayaan atau agama. Agama pun sering dijadikan jubah untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti kepentingan berbau politik dan ekonomi.

Kekhawatiran Patty juga muncul saat agama-agama di Indonesia menjadi sekadar institusi yang jauh sangkutan nya dengan nilai spiritualitas.

“Kekuatan institusi sangat ditekankan sehingga kalau ada yang sesat-sesat, institusi bisa merekomendasikan pada pemerintah untuk membubarkan aliran itu. Ini menjadi konflik horizontal,” kata Patty.

   Baca juga:

Dipetik dari pemikiran Hatta, masyarakat diajak untuk menggali nilai-nilai agama untuk menyatukan rasa kebangsaan. Sayangnya pikiran manusia telanjur terbelenggu dengan label agama yang kerap menjadi kambing hitam perpecahan.

“Agama itu seolah selalu menjadi sumber konflik. Kata Wilson, orang coba diajak untuk beristirahat beragama sehari, mereka lalu tidak melihat sebagai pemeluk agama tapi sebagai manusia. Di balik itu, apakah benar agama menjadi sumber konflik yang memecah belah?” Kata Patty.

Sebuah penelitian mengungkap, dari sekitar 1.700-an konflik yang terjadi di dunia, ternyata konflik yang muncul karena perbedaan agama hanya sekitar 123 peristiwa. Konflik yang lain timbul karena adanya perebutan kekuasaan, perebutan tanah, dan lain-lain.

“Konflik yang lain mungkin menggunakan jubah agama tapi di dalamnya ternyata karena ekonomi. Coba dicari mana yang pure agama. Jangan-jangan itu hanya dalam rangka upaya untuk merebut kekuasaan, ada isu-isu ekonomi, ada upaya untuk merebut tanah masyarakat tertentu. Sebetulnya konflik yang betul-betul karena agama berapa jumlahnya?

Janganlah agama disalahkan lalu kita jadi apatis terhadap agama padahal kita butuh agama,” kata Patty.

Dalam hal ini, agama punya tugas menggali kearifan dalam kepercayaannya masing-masing sendiri untuk memberi kontribusi terhadap masalah-masalah kemanusiaan.

Dalam hal perbedaan agama, pluralisme dilihat sebagai panggilan teologis untuk persoalan-persoalan kebangsaan dan kemanusiaan.

“Di tengah-tengah dunia yang makin plural, mari kita peluk pluralitas tersebut,” ujar dia.

“Kita juga harus usulkan pada negara untuk memfasilitasi pendidikan kebinekaan baik melalui pelajaran formal maupun informal. Negara harus proaktif melakukan pendidikan warganya agar mampu hidup dalam keanekaragaman sehingga cinta menjadi bagian dari hidup kita bersama,” kata pendeta GKI Maulana Yusuf Bandung ini.

Editor : Bayu Probo

Ikuti berita kami di Facebook


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home