Loading...
SAINS
Penulis: Kartika Virgianti 20:41 WIB | Selasa, 21 Oktober 2014

Penderita Skizofrenia Bukan Gila Hanya Perlu Proses

• Kisah rumah pemulihan pasien skizofrenia yang sederhana.
• Ketika telah sembuh, ada kalanya mereka kambuh. Kondisi tersebut bagian dari proses penyembuhan seorang penderita skizofrenia atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
• Mereka membutuhkan dukungan keluarga dan lingkungan untuk memperoleh kesembuhan itu.
• Mereka membutuhkan masyarakat yang membuka kesempatan bagi mereka untuk kembali berkarya dan bersosialisasi.
Penderita Skizofrenia Bukan Gila Hanya Perlu Proses
Para pasien yang kondisi sakit mentalnya masih sekitar 80 persen tingkat kekambuhan. (Foto-foto: Kartika Virgianti)
Penderita Skizofrenia Bukan Gila Hanya Perlu Proses
Bangunan panti yang tengah direnovasi, ditargetkan pada pertengahan 2015 rampung.
Penderita Skizofrenia Bukan Gila Hanya Perlu Proses
Pasien yang berada di luar barak, kondisinya sudah 30 persen.
Penderita Skizofrenia Bukan Gila Hanya Perlu Proses
Menu makan siang, juru masak tengah sibuk menyiapkan makan siang untuk pasien.
Penderita Skizofrenia Bukan Gila Hanya Perlu Proses
Kondisi dapur saat ini menggunakan kayu bakar, nantinya ketika renovasi rampung akan menggunakan kompor gas.
Penderita Skizofrenia Bukan Gila Hanya Perlu Proses
Pendiri Yayasan Galuh, Gendu Mulatip.
Penderita Skizofrenia Bukan Gila Hanya Perlu Proses
Berbagai piagam penghargaan yang diberikan kepada Yayasan Galuh, dari Presiden RI (kiri atas), Dinas Sosial Pemkot Bekasi (kiri bawah), dari Wali Kota Bekasi kepada pendiri, Gendu Mulatip (tengah).
Penderita Skizofrenia Bukan Gila Hanya Perlu Proses
Kepala Perawat Yayasan Galuh, Jajat Sudrajat saat meninjau kondisi pasien.

SATUHARAPAN.COM – Penderita skizofrenia sering disalahartikan masyarakat sebagai mengidap penyakit gila. Namun di Yayasan Galuh, orang yang distigma tidak normal itu diupayakan pemulihan jiwanya. Bagaimanapun, selalu ada proses untuk kesembuhan jiwa. Kadang ada masanya pasien yang telah dinyatakan sembuh itu kembali kambuh, dan kembali harus mendapat perawatan di pusat rehabilitasi mental.

Memasuki Jl Cut Mutiah Gg. Bambu Kuning No. 9, Kp. Sepatan, Bekasi, kita akan menemui bangunan sederhana yang berada di paling ujung gang. Namun, begitu melewati gerbang ternyata bangunan di dalamnya memiliki luas tanah cukup besar, sekitar 3.900 meter persegi.

Di sanalah lokasi yayasan yang menyebut diri mereka sebagai Panti Rehabilitasi Disabilitas Mental, Yayasan Galuh, tempat penderita skizofrenia dirawat.

Terlihat orang-orang berada di dalam area bersekat yang nota bene adalah pasien. Fungsi sekat itu terutama untuk memisahkan pasien laki-laki dan perempuan. Rambut mereka hampir semuanya plontos sampai botak. Menurut Kepala Perawat Yayasan Galuh, Jajat Sudrajat yang ditemui satuharapan.com pada Senin (20/10) siang itu menjelaskan, hal itu demi kebersihan tubuh pasien sendiri, mengingat penderita skizofrenia biasanya tidak sadar akan kebersihan diri mereka.

Jajat yang sudah delapan tahun menjadi perawat mengatakan beberapa pasien ada yang tidak tahan dengan cuaca panas, sehingga mereka melepaskan pakaian. Namun, terhadap kondisi pasien seperti ini, perawat tidak ada yang bisa melarang perilaku pasien yang membuka seluruh pakaiannya, karena ketika sudah dipakaikan, mereka akan melepasnya sendiri. Tetapi, mereka tetap paham untuk mengenakan kembali pakaian mereka, terutama jika sudah malam dan cuacanya menjadi lebih dingin.

Saat melewati depan barak yang disekat itu, seorang pasien laki-laki tiba-tiba berteriak meminta rokok kepada Jajat. Diakui Jajat bahwa sangat sulit melepaskan pasien ODGJ yang kecanduan nikotin. Tetapi, rokok tetap diberikan dengan dibatasi tentunya, misalnya sehari hanya tiga batang, lama-kelamaan jatah tersebut akan dikurangi.

Jajat menjelaskan pasien yang ada di dalam sekat tersebut biasanya yang kondisi sakitnya masih 80 persen tingkat kekambuhannya. Pasien yang diperbolehkan berada di luar pun sudah cukup banyak. Mereka adalah yang kondisi tingkat kekambuhannya tinggal 30 persen dan dianggap sudah cukup stabil.

“Bangunan memang agak berantakan untuk saat ini, karena sedang direnovasi. Perlunya renovasi karena sarananya dirasakan sudah kurang mendukung, sudah banyak yang rapuh, selain itu yayasan juga telah mendapatkan donasi dari pihak-pihak yang peduli ingin membantu merehabilitasi sarana dan prasarana supaya lebih memadai,” ujar Jajat menjelaskan alasan renovasi yang tengah dikerjakan itu.

Bagian-bagian yang paling penting dari bangunan gedung antara lain sarana sanitasi seperti kamar mandi akan ada 10 unit untuk laki-laki dan empat unit untuk perempuan setelah renovasi rampung. Sebelumnya hanya ada delapan untuk laki-laki dan tiga untuk perempuan. Bagian lainnya, yaitu taman, lapangan, aula atau ruang pertemuan, ruang kantor, dan ruang lainnya yang sekiranya dibutuhkan untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Bangunan setinggi dua lantai itu terutama untuk mess yang akan berisi barak-barak sebagai tempat perawatan dan istirahat pasien.

Di sudut lain dari bangunan yang tengah direnovasi itu terdapat dapur. Juru masaknya memasak menggunakan bahan bakar kayu bakar. Dengan kondisi dapur yang terbuka, memakai kayu bakar dirasakan lebih aman, lantaran ada kekhawatiran terhadap perilaku pasien. Usai renovasi nantinya, ditargetkan yayasan akan menggunakan kompor gas yang tentu lebih memperhatikan segi keamanan.

Salah satu juru masak mengatakan, biasanya mereka menyiapkan 300 piring hanya untuk pasien. Namun, ia mengakui bahwa banyak dari pasien yang meminta untuk menambah makan sebanyak 2-3 piring. Saat itu, penulis melihat menu yang disajikan berupa nasi dengan lauk ayam dan sayur acar kuning, sedangkan untuk menu malamnya yakni nasi dengan lauk tahu dan sayur buncis. Pasien makan secara teratur sehari tiga kali.

“Renovasi ini ditargetkan selesai selama satu tahun empat bulan, insya Allah jika tidak ada kendala, pada pertengahan 2015 renovasi ini bisa rampung,” kata Jajat.

Niat Membantu Sejak Awal

Didirikan sejak 1983, namun karena terbentur masalah administrasi, yayasan yang diketuai oleh Suhanda itu baru mendapat kesempatan dilegalkan pada 1994, dan saat ini berada di bawah naungan Dinas Sosial Pemkot Bekasi.

Pendiri Yayasan Galuh tak lain adalah kakek Jajat sendiri, Gendu Mulatip yang merupakan anggota veteran dan di kampungnya. Gendu Mulatip dipercaya sebagai Ketua RK (Rukun Keluarga, sekarang RW/Rukun Warga). Galuh yang merupakan singkatan dari gagasan luhur, pada awal tujuannya hanya ingin membantu ODGJ.

Dulu, ODGJ selalu mendapat perlakuan buruk dari masyarakat, misalnya pernah suatu kali ada ODGJ di jalan yang selalu diteriaki orang gila, ditimpuk batu, lalu ODGJ itu menimpuk balik salah satu warga sampai berdarah. Kemudian setelah dilaporkan, ODGJ itu dibawa ke rumah Gendu Mulatip yang berada di Jalan Hasibuan, Kampung Poncol, Bekasi. ODGJ itu mendapat perawatan seperti diurut, diobati, diberi makan, sampai akhirnya ia pulih baik secara mental maupun fisik.

Dari awal tersebut, sang pendiri memberikan nasihat kepada warga apabila melihat orang sakit jiwa di jalan-jalan, segera dibawa ke rumah beliau agar mendapat pengobatan yang selayaknya. Nama Yayasan Galuh selanjutnya dikenal masyarakat dari mulut ke mulut.

Pada 2006 rumah caregiver yang berkembang menjadi yayasan itu pindah dari Jalan Hasibuat ke lokasi saat ini. Alasannya karena lokasi sebelumnya akan digunakan PLN, dan PLN pun telah memberikan ganti rugi tanah dan bangunan yang selayaknya.

Keseharian Pasien di Panti

Diperincikan Jajat, pasien Yayasan galuh saat ini ada sekitar 290 orang dengan usia produktif usia 17-65 tahun. Pasien perempuan sekitar 70 orang dan sisanya laki-laki. Meskipun jumlah pasien di sana sudah cukup banyak, namun atas dasar rasa kemanusiaan, berapa pun pasien yang meminta dititipkan kepada Yayasan Galuh akan selalu diterima.

Kegiatan pasien selama masa renovasi itu antara lain senam pagi, bersih-bersih terutama karena kondisi bangunan yayasan yang sedang direnovasi, banyak bahan material yang bisa berbahaya, misalnya paku.

Dari 290 pasien itu kondisinya berbeda-beda, ada yang dirawat intensif di panti, ada pula yang datang-pulang, pulang dengan dijemput keluarga, bahkan apabila kondisinya sudah stabil (terlihat dari emosi, tingkah laku, dan aspek lainnya), pasien diperbolehkan pulang sendiri dengan diberikan ongkos dari yayasan.

Pasien dinyatakan sembuh biasanya ditandai dengan kembalinya mereka ke masyarakat dalam arti mereka mampu berkarya kembali. Profesinya mereka berbeda-beda, misalnya yang sebelumnya bekerja sebagai karyawan kantor dapat kembali lagi ke profesi itu, lainnya ada yang berdagang, dan lain sebagainya.

Beberapa pasien yang meskipun sudah sembuh, ada yang tetap ingin tinggal di Yayasan Galuh. Yayasan pun memberikan kesempatan kepada mereka untuk berkarya, yakni membantu Yayasan Galuh sendiri, misalnya membantu juru masak, bersih-bersih, dan lain sebagainya.

Sisi Religi

Pasien ODGJ kondisinya tidak bisa dilepaskan dari aspek keagamaan, meski kenyataannya orang dengan gangguan jiwa sering tidak menyadari iman apa yang mereka miliki. Jajat mengungkapkan untuk Muslim, setiap Kamis ada ulama yang memberikan bimbingan rohani. Sedangkan untuk pasien Kristen, sekitar 10 pasien, setiap Rabu atau Minggu ada pendeta yang datang meluangkan waktunya untuk berbagi kasih kepada pasien.

Para tokoh agama ini datang dengan sendirinya secara sukarela, dan tentu saja niat baik tersebut disambut baik olah pengurus Yayasan Galuh.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home