Loading...
HAM
Penulis: Eben E. Siadari 14:28 WIB | Jumat, 13 Mei 2016

Studi Warwick: Referendum Papua Bisa Terjadi Tanpa Restu RI

Seorang pengunjuk rasa menyuarakan penentuan nasib sendiri bagi Papua di Jayapura pada awal Mei 2016 (Foto:theconversation.com)

LONDON, SATUHARAPAN.COM -  Referendum tentang penentuan nasib sendiri di Papua selama ini ditentang oleh pemerintah Republik Indonesia. Namun, referendum tersebut dapat saja terjadi tanpa persetujuan pemerintah bila disponsori oleh kelompok-kelompok yang pro-kemerdekaan.

Namun, bila hal itu dipaksakan, kekerasan antara yang pro dan kontra tak dapat terhindarkan. Oleh karena itu komunitas internasional harus turun tangan sejak tahap awal, bekerjasama dengan kedua belah pihak, untuk mendapatkan persetujuan Indonesia  menyelenggarakan referendum damai. Referendum itu diawasi oleh dunia internasional untuk menghindari kekerasan dalam skala yang lebih luas.

Ini adalah satu dari enam skenario masa depan Papua yang dipaparkan oleh sebuah laporan hasil studi Economic and Social Research Council (ESRC), Universitas Warwick, Inggris. Laporan yang diberi judul Assesment Report on the Conflict in the West Papua Region of Indonesia, an Overvier of the Issues and Recommendations for the UK and the International Community juga telah menjadi salah satu acuan Ketua Partai Buruh Inggris, Jeremy Corbyn, ketika menyerukan diberikannya kebebasan melaksanakan aspirasi bagi rakyat Papua.

Menurut studi Universitas Warwick, permintaan referendum selama ini ditentang oleh pemerintah RI yang ingin mempertahankan keutuhan negara. Apalagi referendum selalu dikaitkan dengan aspirasi untuk merdeka. Namun di sisi lain, studi Universitas Warwcik juga tidak mengabaikan meningkatnya tuntutan untuk melaksanakan referendum tersebut di kalangan rakyat Papua.  Sebagai contoh, pada tahun 2010, Majelis Rakyat Papua (MRP) mengembalikan UU Otonomi Khusus kepada pemerintah dan menuntut referendum, yang didukung oleh 28 organisasi masyarakat sipil yang melakukan unjuk rasa menyampaikan dukungan.

Tekanan dari dunia internasional, baik dari negara atau pun kelompok negara, seperti Melanesian Spearhead Group (MSG), serta dukungan dari kelompok moderat di dalam negeri, menurut laporan Universitas Warcik, juga berpotensi memuluskan diperolehnya persetujuan pemerintah RI akan dilaksanakannya referendum.

Namun, kata laporan itu, referendum tanpa persetujuan pemerintah dapat saja terjadi apabila organisasi-organisasi pro penentuan nasib sendiri ngotot ingin melaksanakannya. Bila skenario ini terjadi, pemerintah diperkirakan tidak tinggal diam dan akan ada perlawanan. Selanjutnya, kemungkinan besar tidak terhindarkan terjadinya kekerasan.

Pengalaman Timor Timur (sekarang Timor Leste) menunjukkan, setelah terwujudnya referendum yang diawasi oleh PBB pada 1999, negara itu dilanda konflik horizontal. Diperkirakan 1.400 orang terbunuh pasca referendum. Sebanyak 300.000 orang terpaksa meninggalkan negeri itu. Kekerasan baru berakhir setelah adanya intervensi pasukan penjaga perdamaian Australia.

Salah satu isu yang penting dibicarakan apabila referendum dilaksanakan adalah siapa yang layak untuk mendapat hak suara. Ini penting karena warga Papua  bukan hanya orang Papua asli. Diperkirakan  setengah penduduk Papua dewasa ini bukan orang asli Papua.

Di Timor Timur pada 1999, hanya orang asli Timor Timur yang diberi hak memberi suara. Sedangkan migran dari Indonesia dikecualikan. Namun, kondisinya berbeda dengan di Papua. Di Timor Timur ketika itu hanya 10 persen migran dari Indonesia yang menjadi warga Timor Timur, yang berarti jumlahnya tidak signifikan. Sedangkan di Papua kini jumlah warga non asli Papua mencapai 50 persen.

Masalah ini akan sangat krusial dalam menyiapkan referendum. Lebih jauh, warga non asli Papua juga masih harus dibedakan antara mereka yang sudah berada di Papua sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 dan mereka yang baru datang ke Papua setelah itu. Ke dalam kelompok yang disebut belakangan, juga harus dibedakan antara mereka yang datang ke Papua karena disponsori oleh pemerintah RI, atau mereka yang datang atas kemauannya sendiri.

Menurut studi Universitas Warwick, diperlukan kesepakatan tentang hal ini sebelum terlaksananya referendum damai. Dan jika referendum itu memiliki pilihan untuk merdeka, harus dipikirkan transisi yang mulus kepada pemerintahan yang baru.

Dalam studi Universitas Warwick, referendum hanyalah satu dari enam skenario, yang mungkin terjadi di masa depan bagi penyelesaian konflik Papua. Skenario lain adalah dilaksanakannya otonomi khusus yang berarti Papua tetap berada dalam wilayah NKRI. Skenario ini paling diinginkan oleh pemerintah RI. Namun, di kalangan rakyat Papua sendiri, otonomi khusus yang selama ini dijalankan dirasakan belum cukup untuk mengakomodasi hak-hak politik rakyat Papua.

Skenario lain adalah terciptanya dialog antara Jakarta dan Papua yang melibatkan berbagai pihak di dalam negeri.

Skenario berikutnya adalah Papua berada di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-bangsa sebagai wilayah tidak berpemerintah.

Skenario lain yang ditolak oleh pemerintah Indonesia adalah diberikannya kemerdekaan kepada Papua.

Walaupun referendum mengambil porsi yang cukup besar dalam paparan, studi Universitas Warwick belum merekomendasikan ini sebagai salah satu dari 14 rekomendasi yang ditawarkan. Rekomendasi yang lebih menonjol diberikan adalah mendesak keterlibatan parlemen Inggris dalam mencari solusi konflik di Papua. Selain itu studi ini mendesak keterlibatan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk mencari fakta pelanggaran HAM di Papua.

Selain itu, studi Universitas Warwick juga menekankan dan merekomendasikan diadakannya dialog antara Jakarta dan Papua.

Solusi dialog juga ditawarkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan telah disambut oleh sejumlah tokoh Papua, termasuk oleh beberapa tokoh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Hanya saja, pemerintah Indonesia tampaknya masih berhati-hati terhadap tawaran dialog. Menurut Peneliti LIPI, Adriana Elisabeth, pemerintah RI belum sepenuhnya memahami kerangka dialog inklusif dan menyeluruh yang ditawarkan oleh LIPI. Pemerintah Indonesia juga belum mengakui ULMWP sebagai wakil masyarakat Papua. Padahal menurut Adriana, eksistensi ULMWP tidak mungkin diabaikan lagi karena mereka sudah diakui oleh MSG sebagai peninjau.

Di sisi lain, tokoh-tokoh Papua sendiri menerima dialog dengan catatan dimediasi oleh pihak ketiga atau Perserikatan Bangsa-bangsa. Pendeta Socratez Yoman, yang baru-baru ini mengunjungi Selandia Baru untuk bertemu dengan anggota parlemen negara itu, mengatakan dialog dengan Jakarta harus dilaksanakan dengan perantaraan pihak ketiga. Socratez menjadikan perundingan antara Jakarta-GAM sebagai contoh. Ketika itu, dialog tersebut dimediasi oleh Martti Ahtisaari, mantan presiden Finlandia lewat lembaga resolusi konflik yang didirikannya, Crisis Management Initiative.

Salah seorang tokoh gereja di Papua, Pendeta Benny Giay, baru-baru ini menulis di theconversation.com, yang menyerukan perlunya penyelesaian yang bermartabat bagi konflik Papua. Ia menilai dialog antara Jakarta-Papua perlu dilakukan dengan mediasi komunitas internasional.

"Sebuah resolusi sejati bagi rakyat Papua hanya bisa muncul dari kesediaan Indonesia mendengar dan menghentikan tekanan terhadap rakyat Papua. Indonesia harus menyambut dukungan dunia internasional, seperti MSG dan PBB, sebagai mediator untuk menemukan resolusi konflik Papua," tulis dia.

Sementara itu di kalangan tokoh ULMWP, tawaran dialog juga masih ditafsirkan dengan ekstra hati-hati. Sebagian yang moderat, dapat menerima dialog dengan syarat bukan dalam konteks NKRI. Dialog itu juga harus dimediasi oleh pihak ketiga.

Di titik ekstrem lainnya, seperti yang disuarakan oleh Juru Bicara ULMWP, Benny Wenda, adalah dialog dengan tujuan akhir memberikan kemerdekaan kepada Papua. Dalam sebuah artikelnya di huffingtonpost.com, kemarin, ia justru menyerukan agar pemerintah RI mencari solusi bagi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Papua.

Suara lain yang lebih keras, dikemukakan tokoh ULMWP lainnya, Buchtar Tabuni. Menurut dia, ULMWP tidak memiliki agenda untuk melakukan dialog dengan Jakarta. Agenda ULMWP, menurut dia sebagaimana dikutip oleh suarapapua.com, hanya dua, yakni kampanye hak penentuan nasib sendiri dan mendorong ULMWP untuk menjadi anggota penuh di MSG.

Editor : Eben E. Siadari

Baca Juga:


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home