Loading...
DUNIA
Penulis: Sabar Subekti 19:08 WIB | Kamis, 15 September 2022

155 Tenara Tewas, Armenia dan Azerbaijan Rundingkan Gencatan Senjata

Foto dari video, prajurit membawa peti mati prajurit Azeri, Shamistan Sadykhov, yang terbunuh di perbatasan Azerbaijan-Armenia, selama pemakamannya di Lerik, Azerbaijan, Selasa, 13 September 2022. Armenia dan Azerbaijan saling menuduh satu sama lain melakukan putaran baru penembakan pada Rabu pagi saat permusuhan kembali terjadi antara dua musuh lama. (Foto: AP)

YEREVAN, SATUHARAPAN.COM-Armenia dan Azerbaijan merundingkan gencatan senjata untuk mengakhiri pertempuran yang telah menewaskan 155 tentara dari kedua belah pihak, kata seorang pejabat senior Armenia hari Kamis (15/9).

Armen Grigoryan, sekretaris Dewan Keamanan Armenia, mengumumkan gencatan senjata dalam pidato yang disiarkan televisi, dengan mengatakan gencatan senjata itu mulai berlaku beberapa jam sebelumnya, pada pukul 20:00 malam. (16:00 GMT) hari Rabu. Gencatan senjata sebelumnya yang ditengahi Rusia pada hari Selasa dengan cepat gagal.

Beberapa jam sebelum pengumuman Grigoryan, Kementerian Pertahanan Armenia melaporkan bahwa penembakan telah berhenti, tetapi tidak menyebutkan kesepakatan gencatan senjata. Tidak ada komentar langsung dari pemerintah Azerbaijan.

Deklarasi gencatan senjata itu menyusul dua hari pertempuran sengit yang menandai pecahnya permusuhan terbesar antara dua musuh lama dalam hampir dua tahun.

Pada Rabu malam, ribuan pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan di ibu kota Armenia menuduh Perdana Menteri Nikol Pashinyan mengkhianati negaranya dengan mencoba menenangkan Azerbaijan dan menuntut pengunduran dirinya.

Armenia dan Azerbaijan saling menyalahkan atas permusuhan tersebut, dengan otoritas Armenia menuduh Baku melakukan agresi tanpa alasan dan pejabat Azerbaijan mengatakan negara mereka menanggapi penembakan Armenia.

Pashinyan mengatakan 105 tentara negaranya telah tewas sejak pertempuran meletus hari Selasa pagi, sementara Azerbaijan mengatakan kehilangan 50 tentara. Pihak berwenang Azerbaijan mengatakan mereka siap untuk secara sepihak menyerahkan mayat hingga 100 tentara Armenia.

Negara-negara bekas Uni Soviet itu telah terkunci dalam konflik puluhan tahun atas wilayah Nagorno-Karabakh, yang merupakan bagian dari Azerbaijan tetapi telah berada di bawah kendali pasukan etnis Armenia yang didukung oleh Armenia sejak perang separatis di sana berakhir pada tahun 1994.

Selama perang enam pekan pada tahun 2020, Azerbaijan merebut kembali petak luas Nagorno-Karabakh dan wilayah sekitarnya yang dikuasai oleh pasukan Armenia. Lebih dari 6.700 orang tewas dalam pertempuran itu, yang berakhir dengan kesepakatan damai yang ditengahi Rusia.

Moskow mengerahkan sekitar 2.000 tentara ke wilayah itu untuk melayani sebagai penjaga perdamaian di bawah kesepakatan itu.

Pashinyan mengatakan pada hari Rabu bahwa pasukan Azerbaijan telah menduduki 10 kilometer persegi (hampir empat mil persegi) wilayah Armenia sejak pertempuran dimulai.

Dia mengatakan kepada anggota parlemen bahwa pemerintahnya telah meminta Rusia untuk dukungan militer di bawah perjanjian persahabatan antara negara-negara, dan juga meminta bantuan dari Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif.

“Sekutu kami adalah Rusia dan CSTO,” kata Pashinyan, menambahkan bahwa pakta keamanan kolektif menyatakan bahwa agresi terhadap satu anggota adalah agresi terhadap semua.

“Kami tidak melihat intervensi militer sebagai satu-satunya kemungkinan, karena ada juga opsi politik dan diplomatik,” kata Pashinyan, berbicara di parlemen negaranya.

Dia mengatakan kepada anggota parlemen bahwa Armenia siap untuk mengakui integritas teritorial Azerbaijan dalam perjanjian damai di masa depan, asalkan mereka melepaskan kendali atas wilayah-wilayah di Armenia yang telah direbut pasukannya.

“Kami ingin menandatangani sebuah dokumen, di mana banyak orang akan mengkritik dan mencela kami dan menyebut kami pengkhianat, dan mereka bahkan mungkin memutuskan untuk memecat kami dari jabatan, tetapi kami akan berterima kasih jika Armenia mendapatkan perdamaian dan keamanan abadi sebagai hasil dari itu,” kata Pashinyan.

Beberapa pihak oposisi melihat pernyataan itu sebagai tanda kesiapan Pashinyan untuk menyerah pada tuntutan Azerbaijan dan mengakui kedaulatan Azerbaijan atas Nagorno-Karabakh. Ribuan pengunjuk rasa yang marah dengan cepat turun ke markas pemerintah, menuduh Pashinyan melakukan pengkhianatan dan menuntut dia mundur.

Pashinyan dengan marah membantah laporan yang menuduh bahwa dia telah menandatangani kesepakatan yang menerima tuntutan Azerbaijan sebagai "serangan informasi." Grigoryan, sekretaris Dewan Keamanan, mengecam protes di Yerevan, menggambarkannya sebagai upaya untuk menghancurkan negara.

Arayik Harutyunyan, pemimpin Nagorno-Karabakh, bereaksi terhadap keributan itu dengan mengatakan bahwa wilayah itu tidak akan setuju untuk masuk ke dalam cengkeraman Azerbaijan dan akan terus mendorong kemerdekaannya.

Ketika ketegangan meningkat di Yerevan, Moskow telah terlibat dalam tindakan penyeimbangan yang rumit dalam upaya mempertahankan hubungan persahabatan dengan kedua negara. Ia memiliki hubungan ekonomi dan keamanan yang kuat dengan Armenia, yang menjadi tuan rumah pangkalan militer Rusia, tetapi juga memelihara kerja sama yang erat dengan Azerbaijan yang kaya minyak.

Beberapa pengamat melihat pecahnya pertempuran sebagai upaya Azerbaijan untuk memaksa otoritas Armenia agar lebih cepat menerapkan beberapa ketentuan dari kesepakatan damai 2020, seperti pembukaan koridor transportasi melalui wilayahnya.

“Azerbaijan memiliki potensi militer yang lebih besar, dan karenanya mencoba mendiktekan kondisinya ke Armenia dan menggunakan kekuatan untuk mendorong keputusan diplomatik yang diinginkannya,” kata Sergei Markedonov, seorang ahli Rusia di wilayah Kaukasus Selatan, menulis dalam sebuah komentar.

Markedonov mencatat bahwa gejolak permusuhan saat ini datang tepat ketika Rusia telah dipaksa untuk mundur dari daerah-daerah di timur laut Ukraina setelah serangan balasan Ukraina, menambahkan bahwa permintaan bantuan Armenia telah menempatkan Rusia dalam posisi yang genting.

Presiden Rusia, Vladimir Putin, dan para pemimpin anggota CSTO lainnya membahas situasi tersebut dalam panggilan telepon pada hari Selasa malam, mendesak penghentian cepat permusuhan. Mereka setuju untuk mengirim misi pejabat tinggi dari aliansi keamanan ke daerah tersebut.

Pada hari Jumat, Putin akan mengadakan pertemuan dengan Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev di Samarkand, Uzbekistan, di mana mereka berdua berencana untuk menghadiri pertemuan puncak Organisasi Kerja sama Shanghai, sebuah kelompok keamanan yang didominasi oleh Rusia dan China. Pemerintah Armenia mengatakan bahwa Pashinyan, yang juga akan menghadiri KTT, tidak akan muncul karena situasi di negara itu.

Di Washington, sekelompok anggota parlemen yang mendukung Armenia melobi pemerintahan Biden. Perwakilan Amerika Serikat, Adam Schiff, ketua Demokrat yang berpengaruh dari Komite Intelijen DPR, dan empat anggota Kongres lainnya meminta Gedung Putih dan Departemen Luar Negeri untuk “secara tegas mengutuk tindakan Azerbaijan dan menghentikan semua bantuan” ke Azerbaijan. (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home