Loading...
SAINS
Penulis: Sotyati 08:11 WIB | Selasa, 17 Maret 2015

Buku Intelijen, Catatan Harian Seorang Serdadu

Buku Intelijen, Catatan Harian Seorang Serdadu
Buku Intelijen - Catatan Harian Seorang Serdadu.
Buku Intelijen, Catatan Harian Seorang Serdadu
Slamet Singgih pada saat meluncurkan bukunya, Intelijen - Catatan Harian Seorang Serdadu di Jakarta, penggal awal Februari lalu. (Foto: Sotyati)

SATUHARAPAN.COM – Satu bulan lebih sejak diterbitkan pada penggal awal Februari lalu, kini buku Intelijen: Catatan Harian Seorang Serdadu dalam persiapan memasuki cetak ketiga.

“Sebulan lebih setelah diluncurkan. Artinya, buku seperti ini, catatan harian yang terus terang, yang kebetulan ditulis seorang intel, bisa laku,” kata Atmadji Soemarkidjo, dari Penerbit Kata Hasta Pustaka, yang menerbitkan buku yang ditulis Slamet Singgih itu kepada satuharapan.com.

Brigadir Jenderal (Purn) Slamet Singgih (72), penulis buku itu, menamatkan pendidikan Akademi Militer Nasional  Magelang pada 1965. Tanpa melalui pendidikan intelijen, dia mengawali kariernya di bidang intelijen dengan ditempatkan sebagai staf intelijen Kodam X/Lam dan Satgas Intel Laksusda Kalsel. Sebelum mengakhiri karier militernya sebagai Wairjenad di SUAD pada 1988, Slamet Singgih bertugas di Bais ABRI/BIA. 

Mengawali dengan Bab “Mengapa Intelijen Diperlukan”, Slamet Singgih membuka tuturan pengalamannya dengan peristiwa “Kerusuhan Mei 1998”. Dalam keadaan sudah tidak aktif di TNI, dia turun tangan menyelamatkan putri seorang kawan semasa bertugas di Jambi, yang terjebak dalam kekacauan di perumahan Green Garden, Jakarta Barat.

Slamet Singgih tak lupa menyertakan renungannya atas peristiwa itu. Kerusuhan yang banyak memakan korban itu, menurut pendapatnya, penanganannya sangat terlambat (hal 15).

Dari perenungan itu, dia mengajak pembaca kembali ke awal kariernya sebagai militer. Seperti dikemukakan Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan 2009 – 31 Desember 2014, mantan Menteri Pertambangan dan Energi, yang menulis Prolog buku ini, Slamet Singgih adalah sosok mengagumkan: anak gedongan (sebutan anak kalangan elite Menteng , Jakarta Pusat, Red), tinggi kurang dari 155 cm tapi bisa masuk militer, berhasil menjadi pemimpin batalyon. Pada kenyataannya, dia mampu menutupi kekurangan fisiknya dengan tampil sebagai jago judo, juara halang rintang, piawai main sepatu roda, jago tembak, dan "berotak besar". 

Slamet Singgih memberikan porsi besar menuturkan pengalamannya di bidang intelijen. Menarik membaca kisahnya tentang penetrasi PKI ke Kodam Jaya, gerakan mahasiswa dan penangkapan anggota Dewan Mahasiswa UI pada 1978 (hal 107). Namun, pada bagian lain, dia membuat kisah tersendiri tentang “Minta Bantuan Hariman Siregar”, tokoh mahasiswa pada Peristiwa Malari, 1974.

Slamet Singgih mengungkapkan ke permukaan kisah di dunia intelijen yang selama ini hanya menjadi bisik-bisik di kalangan tertentu. Dia mengisahkan kasus GPK Warsidi yang dikenal dengan Peristiwa Talangsari Lampung. Dia juga menuturkan operasi pemberantasan perjudian termasuk perjudian di kapal, ekspor fiktif dan tokohnya, pengamatannya atas kinerja dan "permainan" polisi, dan mengungkapkan tugas yang dia emban selama menjadi Ketua Tim Terpadu BBM untuk menangani penyalahgunaan BBM.

Kisah tentang Prabowo Subianto menjadi bagian yang sayang dilewatkan, demikian juga tentang Rosario Amaral yang lebih dikenal dengan nama Hercules. Dia juga secara jujur mengungkapkan perkenalannya dengan pengusaha Tomy Winata, persinggungannya dengan Jenderal Benny Moerdani, dan lain-lain.      

Mengaku ikut-ikutan rekan-rekan yang telah menulis buku tentang pengalamannya, Slamet Singgih mempersiapkan bukunya selama lebih kurang satu tahun. Peluncurannya di Jakarta, 7 Februari, dihadiri rekan-rekan sejawatnya, di antaranya Kepala Badan Intelijen Negara 1999 – 9 Agustus 2001 AM Hendropriyono, mantan Kepala Staf Umum ABRI Letjen (Purn) Suyono, mantan Direktur A BAIS Letjen (Purn) Ari Sudewo, Kuntoro Mangkusubroto, Sekretaris Kabinet RI dan Menteri Hukum dan Perundang-undangan era Presiden Abdurrahman Wahid Marsilam Simanjuntak, bahkan termasuk Hendardi yang dulu dikenal sebagai aktivis mahasiswa.

“Saya sangat menyadari bahwa pengalaman yang saya miliki ini tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan mereka yang telah membuat buku,” kata Slamet Singgih di Bab Prakata.

Dia beralasan, di pasukan “hanya” mengecap pengalaman sebagai komand an batalyon dan belum pernah terlibat kontak di medan pertempuran. Berkaitan dengan operasi ke Kalimantan Barat menumpas Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak pada 1969 dan tugas operasi ke Timor Timur pada 1982, langkahnya “hanya” sampai di tahap persiapan.

Namun, seperti pengakuannya, dia punya pengalaman cukup di bidang intelijen. “Saya menulis tentang apa yang pernah saya alami, apa yang pernah saya lakukan, apa yang pernah saya lihat, apa yang pernah saya dengar, dan apa yang pernah saya baca, tanpa bermaksud untuk mendiskreditkan seseorang,” kata Slamet Singgih, “Saya hanya ingin meluruskan fakta sejarah yang saat ini telah banyak dimanipulasi dan diputarbalikkan demi kepentingan pribadi maupun golongan.”     

“Saya yakin akan menarik dan bermanfaat bagi generasi muda yang saat ini haus akan ‘keteladanan’,” demikian komentar Kepala Badan Intelijen Negara Marciano Norman tentang buku ini.

“Pasti ada pro-kontra terhadap pengungkapan tersebut, meskipun demikian hemat saya tidak terdapat hal yang potensial akan mempermalukan, apalagi membahayakan institusi TNI ataupun pemerintah masa lalu … Sebaliknya, cerita yang diungkapkan penulis secara jujur dan terbuka tersebut, dalam perspektif masa kini justru akan menaikkan pamor TNI,” demikian komentar Kiki Syahnakri, Letjen (Purn), mantan Wakil Kasad yang menulis Epilog buku ini.   

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home