Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 12:12 WIB | Senin, 07 November 2016

Gereja Harus Gunakan Kekuatan dalam Masyarakat Sipil untuk Perdamaian

Suasana pertemuan di Ecumenical Centre, Jenewa. (Foto: oikoumene.org)

JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Kepala Uskup dari Evangelische Kirche in Deutschland (EKD) atau Dewan Gereja Injili di Jerman, Heinrich Bedford Strohm, mengemukakan gereja mungkin dapat dianggap sebagai kelompok masyarakat sipil global yang memiliki pengaruh paling kuat, dan gereja-gereja memiliki tanggung jawab untuk perdamaian.

Seperti diberitakan oikoumene.org, pada hari Jumat (4/11), Strohm mengemukakan hal tersebut pada sebuah acara untuk mempromosikan perdamaian di Ecumenical Centre, Jenewa, pada Kamis (3/11). 

Dalam diskusi tersebut para pemateri menggunakan peringatan reformasi gereja sebagai kesempatan untuk lebih kritis melihat dan merenungkan masa lalu. Dalam kesempatan tersebut sejumlah tokoh kunci ekumenis menggunakan ulang tahun ke-500 dari reformasi gereja yang mengubah Kristen dan dunia sebagai bahan diskusi mereka.

Acara yang terkait dengan peran Jenewa sebagai "ibu kota perdamaian" dunia tersebut dipimpin oleh Sekretaris Jenderal World Council of Churches (WCC) atau Dewan Gereja Dunia, Olav Fykse Tveit. Acara tersebut dimoderatori oleh presiden Association of Correspondents Accredited to the United Nations atau Asosiasi Wartawan Terakreditasi untuk PBB, Jan Dirk Herbermann.

Sejumlah pembicara menekankan gereja perlu menyadari bahwa mereka dapat menjadi instrumen konflik, pada sisi lain gereja menjadi pihak pembawa damai.

Salah satu penanya menggarisbawahi gereja dapat berperan meredam industri persenjataan di dunia, yang sering terkait dengan kepentingan kuat dan konflik.  

Strohm mengatakan doa dan komunikasi sangat penting untuk mempromosikan perdamaian. Ia mencatat gereja adalah agen bagi lahirnya masyarakat sipil global, karena gereja-gereja memiliki suara yang sama, gereja-gereja memiliki motivasi yang sama yang mengacu kepada Yesus Kristus.

Dia mengatakan baru saja kembali dari Israel. Dia menemukan hal yang luar biasa sekaligus menyedihkan, karena melihat bagaimana dua pihak – Israel dan Palestina – tidak berkomunikasi, sehingga menurut dia, bila ingin menceritakan sebuah kisah dari sekian banyak gereja yang berbeda dan sangat global, sangat penting. 

Sementara itu Olav Fykse Tveit mengaitkan konsep perdamaian ekumenis dari WCC yakni bekerja untuk perdamaian yang adil. Konsep tersebut adalah alternatif dari konsep perang yang adil.

Membangun Perdamaian dari Bawah

WCC bekerja pada pengembangan cara-cara untuk membangun perdamaian dari bawah yakni dari masyarakat, mulai di pasar tradisional, dan di antara bangsa-bangsa sebagai bagian dari ziarah untuk perdamaian dan keadilan.

Tveit mengatakan WCC bekerja dengan sejumlah gereja yang saat ini berada dalam konflik, salah satu contoh yakni Sudan Selatan. Di sana, ia mengatakan, gereja adalah pihak yang dianggap paling berkewajiban memperjuangkan perdamaian.

Tveit mengatakan WCC juga bekerja dengan cara lain dalam mencari perdamaian, dengan memiliki komitmen yang kuat untuk mempererat hubungan antaragama, agar hubungan tersebut senantiasa berkembang. Tveit mencatat di Nigeria, WCC telah membuka pusat untuk mendengarkan cerita dari konflik.

Direktur dari Divisi Kemitraan Umum UNICEF kantor penghubung Jenewa, Marilena Viviani, memuji kemitraan lembaga PBB dengan WCC yang melindungi anak-anak.

Dia mengatakan UNICEF berurusan dengan anak-anak di daerah konflik. “Jumlah anak-anak yang berada di daerah konflik terlalu tinggi,” Vivani menegaskan.

Dia percaya mengurusi sisi psikologi dan sosial dapat membantu menyembuhkan anak-anak. UNICEF bekerja pada upaya perdamaian dengan banyak kelompok termasuk gereja.

Viviani mengatakan UNICEF bekerja sama membuat kesepakatan dengan WCC tentang berbagi sumber daya untuk bekerja sama dalam mempromosikan hak-hak anak.  

Sekretaris eksekutif untuk komunikasi World Communion of Reformed Churches (WCRC), Philip Tanis, memberi contoh tentang kerja perdamaian dengan gereja-gereja di Kolombia, Timur Tengah, dan di Semenanjung Korea.

Dia mengatakan salah satu kesulitan bekerja di Korea adalah Pemerintah Korea Utara dan Korea Selatan tidak terlalu menyukai satu sama lain.

Dia mengutip pernyataan Sekretaris WCRC, Chris Ferguson, yang pernah mengatakan bahwa menciptakan platform dialog adalah langkah pertama menyusun perdamaian.

Tanis mengutip pernyataan dari pastor asal Suriah,  Mofid Karajili, dari National Evangelical Synod of Syria and Lebanon atau Sinode Nasional Injili Suriah dan Lebanon, yang pernah mengatakan mereka tidak bisa mengubah dunia, namun setidaknya dapat membuat satu langkah yang benar menuju kehidupan yang lebih baik.

Sementara itu wakil dari Gereja Ortodoks Finlandia, Isa Heikki Huttunen, berbicara tentang peran Conference of European Churches (CEC) atau Konferensi Gereja Eropa, organisasi yang terdiri atas 115 gereja di Eropa dari Kepulauan Channel di barat hingga Vladivostok di timur.

“Dalam organisasi kami, proses mengembangkan perdamaian artinya adalah membangun jembatan,” kata Huttunen.

Dia mengatakan saat Perang Dingin terjadi, dia sempat melakukan banyak kontak dengan orang-orang Kristen di balik tirai besi (penjara). 

Tirai besi tersebut sudah turun namun hingga hari ini, kata dia, banyak orang dengan mudah menemukan dinding dan perbedaan.

Dia mengatakan banyak orang yang mencoba membangun dinding di sekitar Eropa untuk menjaga orang lain keluar. Dia menyebut jurang pembatas tersebut adalah kesenjangan ekonomi antara Eropa bagian utara dan selatan, dan saat ini pihaknya mengaku masih perlu membangun semacam jembatan penghubung antara bagaimana mengurusi orang yang memiliki kenangan yang terluka dan bagaimana menangani mereka.  

CEC sedang memeriksa banyak dokumen yang melihat upaya untuk memperbolehkan kegiatan militer di politik Eropa yang melibatkan banyak gereja minoritas.

Sementara itu, asisten sekretaris jenderal untuk Urusan Internasional dan Hak Asasi Manusia Federasi Lutheran Dunia atau Lutheran Wolrd Federation (LWF), Ralston Deffenbaugh, mencatat LWF adalah mitra berbasis agama terbesar di UNHCR, badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

LWF bekerja sama dengan PBB dalam sisi penanganan pengungsi dan pembuat kebijakan. Dia mengatakan saat ini menjalankan aktivitasnya

"Kami memiliki kelompok berbasis agama Kristen yang membantu orang Muslim yang membutuhkan. Ini tanda perdamaian," kata Deffenbaugh.

Sementara itu, direktur Penelitian dan Advokasi Right Livelihood Award Foundation Sharan Srinivas menjelaskan  yayasannya melihat selama lima tahun terakhir ruang terbuka bagi masyarakat sipil semakin menyusut, dan contohnya yakni Church of Sweden atau Gereja Swedia, gereja anggota WCC.  

Setiap tahun yayasan mengeluarkan apa yang disebut sebagai Alternative Nobel Prize atau Penghargaan Nobel Alternatif. Pemenang-pemenang penghargaan tersebut sering dianggap sebagai orang yang berani atau organisasi menawarkan solusi dari masalah global.

“Ketika kita terhubung dengan gereja-gereja yang melakukan perubahan yang progresif, kita semakin diperkuat,” kata Srinivas. "Masyarakat sipil yang sesungguhnya adalah organisasi berbasis agama,” kata dia. (oikoumene.org)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home