Loading...
HAM
Penulis: Bayu Probo 15:35 WIB | Rabu, 03 Desember 2014

HRW: Pemerintah Harus Akhiri Tes Keperawanan

Ilustrasi. Hari Internasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan diperingati hari ini, Selasa (25/11). (Foto: poverties.org)

NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah harus segera melaksanakan rekomendasi terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) untuk mengakhiri perlakuan merendahkan, diskriminasi, dan “tes keperawanan” terhadap perempuan dan anak perempuan, Human Rights Watch (HRW) melansir, Selasa (2/12).

Rekomendasi tersebut masuk ke Buku Pegangan WHO edisi November 2014 Perawatan Kesehatan bagi Perempuan Mengalami Kekerasan dari Pasangan Intim atau Kekerasan Seksual. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa petugas kesehatan dilarang melakukan tes keperawanan.

Buku ini menekankan penghormatan terhadap hak-hak dan kenyamanan wanita. Dan, membuat jelas bahwa setiap pemeriksaan fisik harus dilakukan hanya dengan persetujuan dan terfokus pada penentuan sifat perawatan medis yang diperlukan. Ini menyimpulkan bahwa pemeriksaan yang merendahkan seperti test keperawanan atau “'test dua jari”—masih digunakan di beberapa negara untuk membuktikan apakah perempuan atau anak perempuan masih perawan—tidak memiliki kebenaran ilmiah.

“Buku WHO menjunjung tinggi pandangan medis yang diterima secara luas bahwa tes keperawanan tidak berharga,” kata Liesl Gerntholtz, Direktur Hak Perempuan HRW. “Otoritas kesehatan di seluruh dunia harus mengakhiri praktik tes keperawanan dalam semua kasus dan melarang petugas kesehatan mengabadikan praktik diskriminatif dan merendahkan ini.”

Walaupun WHO berfokus pada perawatan kesehatan setelah kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga, memiliki relevansi yang lebih luas untuk kasus lain misalnya tes keperawanan, kata HRW. Ini termasuk diskriminasi kerja dan tuntutan hukum terhadap hubungan seks suka-sama-suka di antara orang dewasa di luar nikah.

Praktik Merendahkan

Penggunaan tes keperawanan dipraktikkan di sejumlah negara di seluruh dunia, kata HRW. Misalnya, di Afghanistan, pemerintah secara rutin memaksa wanita dan anak perempuan yang dituduh melakukan “kejahatan moral”, seperti “melarikan diri”, dan zina mengikuti tes keperawanan. Perempuan yang dituduh melakukan kejahatan ini biasanya melarikan diri dari kekerasan dalam rumah tangga, termasuk kawin paksa.

Prosedur yang tidak dapat diterima ini dilakukan dua atau tiga kali pada wanita yang sama karena kebijakan atau kesalahan birokrasi. Bahkan, kadang-kadang juga dikenakan pada perempuan yang dituduh melakukan kejahatan lain seperti perampokan dan penyerangan. Hasil dari tes keperawanan memengaruhi hakim, memberi kontribusi untuk banyak keputusan yang salah. Korban pemerkosaan sering tidak melaporkan pelanggaran atau mencari bantuan karena risiko bahwa hal itu akan digabungkan dengan zina. Dan itu memicu pejabat memaksa korban untuk melakukan tes keperawanan.

“'Tes Keperawanan adalah bentuk kekerasan dan diskriminasi berbasis gender,” kata Gerntholtz. “Pihak berwenang mengeksploitasi tes yang tidak ilmiah dan merendahkan ini meskipun sejarah seksual seorang wanita sama sekali tidak berkaitan dengan apakah ia memenuhi syarat untuk pekerjaan atau menentukan apakah dia diperkosa.”

Di Timur Tengah dan Afrika Utara, perempuan dapat mengalami tes keperawanan dalam berbagai keadaan, termasuk atas perintah keluarga mereka. Pada akhir 2011, beberapa pengunjuk rasa perempuan di Mesir yang ditangkap bersaksi bahwa seorang dokter militer memaksa mereka menjalani tes keperawanan. Pengadilan administratif Mesir memutuskan bahwa melakukan tes keperawanan pada wanita dalam tahanan adalah tindakan ilegal dan melanggar hak-hak perempuan dan serangan terhadap martabat mereka. Namun, pada Maret 2012, satu-satunya perwira militer yang dituduh terlibat dalam  tes keperawanan, dibebaskan. Terlepas dari putusan pengadilan, praktik ilegal masih digunakan dalam fasilitas penahanan Mesir. Libya dan Yordania juga telah menggunakan tes keperawanan terhadap tahanan wanita.

Di Indonesia, polisi nasional memasukkan tes keperawanan sebagai bagian dari prosedur perekrutan bagi calon perempuan meskipun polisi wanita senior keberatan dan menuntut tes dilarang. Proposal untuk memperkenalkan tes keperawanan untuk anak perempuan sekolah di Indonesia juga telah berulang kali diusulkan.

Pada tahun 2014, Departemen Kesehatan India mengeluarkan protokol baru untuk perawatan medis pasca-pemerkosaan menjelaskan bahwa petugas kesehatan yang merawat dan memeriksa korban pemerkosaan tidak harus melakukan tes dua jari. Namun, protokol belum secara sistematis dimasukkan ke dalam operasi di seluruh negeri.

Tes Keperawanan telah diakui secara internasional sebagai pelanggaran hak asasi manusia khususnya ini masuk kategori tindakan “kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat”. Ini berdasarkan pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan pasal 16 dari Konvensi Menentang Penyiksaan, yang keduanya diratifikasi banyak negara.

Komite Hak Asasi Manusia PBB—badan ahli internasional yang memantau kepatuhan terhadap Kovenan—menyatakan dalam Komentar Umum bahwa tujuan dari pasal 7 adalah “melindungi martabat dan integritas fisik dan mental individu”. Pasal 7 berhubungan tidak hanya untuk tindakan yang menyebabkan rasa sakit fisik, tetapi juga tindakan yang menyebabkan penderitaan mental untuk korban. Tes keperawanan memaksa kompromi martabat perempuan, dan melanggar integritas fisik dan mental mereka.

Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan berbagai perjanjian hak asasi manusia lainnya melarang diskriminasi terhadap perempuan. Tes Keperawanan merupakan diskriminasi terhadap perempuan karena memiliki efek atau tujuan menyangkal perempuan atas hak-hak mereka atas dasar kesetaraan dengan laki-laki.

“Prasangka dan stereotip negatif terhadap perempuan dan anak perempuan diteruskan saat melalui ilmu kedokteran digunakan banyak dokter yang percaya bahwa mereka dapat menentukan keperawanan wanita. Padahal mereka salah,” kata Gerntholtz. “Pemerintah dan dokter harus mematuhi buku pegangan WHO untuk memastikan bahwa mereka berperilaku etis, menghormati privasi dan martabat perempuan. Dan, pemerintah harus  mengambil langkah-langkah untuk mendidik rekan-rekan mereka untuk mengakhiri momok tes keperawanan.” (hrw.org)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home