Loading...
INSPIRASI
Penulis: Endang Hoyaranda 04:55 WIB | Senin, 07 Maret 2016

Kalah-Kalah; Tanda Tak Mampu

Kesempatan berkomunikasi selalu ada.
Dampak komunikasi positif (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Dalam menghadapi dilema sosial, sikap manusia beragam. Baik Dalam pekerjaan maupun pelayanan sosial, manusia bisa mengambil sikap yang mengarah pada keuntungan diri atau keuntungan bersama. Sikap manusia mencerminkan juga sikap masyarakatnya atau kelompoknya.

Ada sebuah percobaan yang menguji sikap manusia dalam situasi yang dilematis, yaitu Prisoner’s Dilemma Game, yang dirancang untuk memperkirakan berbagai kemungkinan ketika jika manusia harus mengambil sikap dalam dilema sosial. Manusia bisa bersikap sama-sama menang, kalah-menang ,atau sama-sama kalah. 

Penjelasannya demikian: polisi ingin mengetahui  pelaku kejahatan yang sesungguhnya  di antara dua orang tahanan yang telah bekerja sama dalam melakukan kejahatan,  dengan cara menginterogasi mereka secara terpisah.  Kedua tahanan itu tidak mengetahui bagaimana rekannya akan bereaksi. Namun, jika masing-masing bereaksi dengan tepat akan tersedia keringanan hukuman bagi mereka.  Jika A mengaku dan B tak mengaku, A akan bebas dari hukuman, sementara  B akan menerima hukuman 3 tahun karena tidak kooperatif dengan polisi.  Ini situasi  menang-kalah, A menang, B kalah.  Begitu pula sebaliknya, jika B mengaku dan A tidak mengaku. 

Jika keduanya tidak mengaku, keduanya akan dihukum 1 tahun karena polisi tak punya cukup bukti. Ini adalah situasi menang-menang.  Jika keduanya mengaku, maka keduanya akan menerima hukuman 2 tahun.  Ini situasi kalah-kalah,  keduanya kena hukuman. Karena diinterogasi secara terpisah, setiap orang hanya bisa memperkirakan sikap rekannya dan bagaimana itu bisa menguntungkan dirinya.  Keadaan tentu akan menjadi lebih mudah ketika kedua pihak bisa berkomunikasi untuk bekerja sama.  

Kehidupan sehari-hari penuh dengan dilema sosial. Sikap mana yang akan dipilih? Contoh dalam bisnis: apakah sebaiknya menggunakan dana untuk mengiklankan produk  sehingga mengurangi keuntungan, atau tidak beriklan yang mengakibatkan produk kurang laku. Apa yang akan dilakukan pesaing? Beriklan atau tidak?

Kenyataannya, kesempatan untuk berkomunikasi untuk mencapai hasil bersama hampir selalu tersedia, tidak seperti kedua tahanan di atas yang saling terpisah.  Tetapi, apakah kesempatan telah cukup dimanfaatkan untuk keuntungan bersama?  

Situasi kalah-kalah sering terjadi di masyarakat karena spekulan ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa memedulikan orang lain, namun berujung pada sama-sama rugi. Muncullah sikap ”daripada  dia dapat dan saya tidak, lebih baik sama-sama tak dapat”.  Sikap ini merugikan semua pihak.

Jika mengamati masyarakat di sekitar kita, sepertinya tak terlalu salah jika dikatakan bahwa sejak kecil sikap kalah-kalah tertanam cukup dalam.  Lihatlah bagaimana di setiap sekolah persoalan bullying antarsiswa demikian sulit diatasi! Atau, tengoklah anak-anak yang bersemangat  mengejar layangan putus, namun saat layangan tertangkap malah ramai-ramai dikoyak! Lihatlah bagaimana skenario kebanyakan tontonan di stasiun TV, khususnya komedi  situasi didominasi oleh lelucon yang mengejek dan menertawakan orang lain!

Sungguh situasi langka yang mengunggulkan dan meninggikan orang lain. Seolah dengan meninggikan orang lain, diri sendiri akan tampak lemah. Tak bisa lihat orang lain senang. Kalau orang lain senang, mari kita beramai-ramai mencari cara untuk membuat ia tak senang, sama seperti kita. Kebiasaan mencela ketimbang memuji, atau selalu curiga terhadap orang lain, itu tanda budaya kalah-kalah yang mendalam.  Akibatnya sulit untuk memercayai orang lain.  Sulit untuk bekerja sama. Lalu jadi sulit untuk bersinergi.  Sikap kalah-kalah, tanda tak mampu.  Sudah saatnya rantai ini diputus, agar sikap menang-menang diunggulkan. Tidak mudah, namun jika tak dimulai niscaya tak akan pernah tercapai.

Jika mau belajar dari sikap yang menumbuhkan posisi  menang-menang,  kalimat di latar belakang salah seorang penyiar CNN Indonesia ini cukup menarik: To be persuasive, one must be  believable. To be believable, one must be credible. To be credible, one must be trustful.  Saling memengaruhi dengan positif hanya dapat terjadi jika terdapat kesalingpercayaan.

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home