Loading...
OPINI
Penulis: Trisno S Sutanto 00:00 WIB | Kamis, 20 Oktober 2016

Keadilan Ekologis

Perjuangan ekologi dewasa ini sudah mengalami pergeseran penting, yakni dari upaya-upaya yang sekadar berkutat pada “pelestarian lingkungan”, menjadi perjuangan demi keadilan bagi semua makhluk. Di situ gagasan tentang “keadilan ekologis” (ecological justice) menjadi wacana penting.

SATUHARAPAN.COM - Krisis lingkungan pada skala global – apa yang, dewasa ini, memuncak pada persoalan Global Warming (pemanasan global) – telah mengubah secara mendasar persepsi orang mengenai apa yang disebut “persoalan lingkungan” (environmental problem) dan gerakan sosial yang memperjuangkan isu tersebut. Jika latar belakangnya disederhanakan, maka setidaknya harus dilihat dua tahapan penting ini.

Mulanya gerakan-gerakan yang memperjuangkan lingkungan hidup berkutat dengan masalah perlindungan dan pelestarian lingkungan yang terancam oleh arus industrialisasi. Kesadaran akan krisis lingkungan itu, yang mulai menguat sejak paruh pertama abad ke-20, terutama dipicu oleh makin hilangnya kawasan asri dan binatang-binatang langka.

Salah satu buku yang sangat terkenal dan mendorong lahirnya keprihatinan itu, adalah karya Rachel Carson, The Silent Spring (terbit pertama kali 1962). Buku yang sangat fenomenal itu memberi gambaran konkret tentang dampak pemakaian pestisida terhadap alam dan burung-burung, sehingga “musim semi terasa sunyi”. Carson menuduh para produsen pestisida telah memberi informasi palsu mengenai racun yang terkandung dalam produk mereka. Buku karya Carson ini sering disebut sebagai titik awal bangkitnya kesadaran pelestarian lingkungan hidup.

Kesadaran itu memperoleh dimensi globalnya, sejak Klub Roma (didirikan 1968 oleh Aurelio Peccei, seorang industriawan kaya raya dari Italia) menerbitkan laporan yang sangat terkenal, Limits to Growth tahun 1972. Kajian para ilmuwan yang bergabung dalam Klub Roma itu memperlihatkan dengan gamblang, jika arus industrialisasi dan modernisasi tetap dipertahankan pada tingkatan yang sama, maka daya dukung bumi bagi kehidupan umat manusia akan runtuh dan dunia akan mengalami kiamat. Padahal tanpa industrialisasi dan modernisasi itu, jurang ketimpangan antara negara-negara kaya di Utara dengan negara-negara miskin di Selatan akan makin lebar.

Maka orang seakan terjebak dalam dua pilihan yang sama-sama sulit: mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang berakibat makin rusaknya lingkungan, atau mengurangi (bahkan yang ekstrem menghentikan) laju pertumbuhan namun membuat jurang ketimpangan kaya-miskin makin melebar. Situasi inilah yang melahirkan perjuangan demi “keadilan lingkungan”, yakni gerakan sosial-politik yang secara sungguh-sungguh memperjuangkan agar beban kerusakan lingkungan ditanggung oleh semua kelompok, tanpa membedakan ras, warna kulit, asal negara, maupun kelas sosial. Setiap kelompok sosial berhak menikmati perlindungan yang setara dari ancaman degradasi lingkungan dan kesehatan, sekaligus memiliki akses yang sama pada proses pengambilan keputusan. Paling tidak, itulah definisi “keadilan lingkungan” yang dikemukakan Environmental Protection Agency di AS (US EPA, https://www.epa.gov/environmentaljustice).

Di Amerika, gerakan-gerakan sosial yang memperjuangkan keadilan lingkungan ini bertumbuh pesat sejak 1980-an, dan menjadi bagian dari gerakan sipil yang melawan praktik diskriminasi rasial, khususnya terhadap kulit hitam, yang dipelopori Martin Luther King, Jr. Sebab dari berbagai kajian menjadi jelas, upaya-upaya pelestarian lingkungan yang ada justru tidak melibatkan kelompok kulit berwarna maupun mereka yang kurang mampu. Mereka yang memperjuangkan isu pelestarian lingkungan umumnya elitis, datang dari kelas menengah dan atas, berkulit putih, bersifat sangat ideologis, dan kerap kali hanya menguntungkan kelompok-kelompok pendukung mereka.

Karena itu, perjuangan demi lingkungan hidup harus memasukkan juga perjuangan demi keadilan sosial, sehingga setiap kelompok dalam masyarakat memiliki akses dan dapat ikut menanggung beban lingkungan yang sama. Tanpa menggarap aspek ini, maka gerakan lingkungan hidup kembali akan terjebak ke dalam elitisme dan tidak mampu mendorong perubahan yang sungguh-sungguh mendasar dalam masyarakat.

Namun hal itu dirasa belum cukup memadai. Gagasan tentang keadilan lingkungan dianggap masih melihat “keadilan” melulu secara distributif (distributive justice), yakni berkaitan dengan proses pemerataan, baik barang yang dihasilkan maupun beban yang harus dipikul. Begitu juga, “lingkungan” di situ masih dilihat sebagai sesuatu yang terpisah, ada di luar sana, dan menjadi “sumber daya alam” (natural resource) bagi kepentingan manusia.

Itulah sebabnya akhir-akhir ini, sejak pergantian milenium yang lalu, berkembang gagasan baru yang disebut “keadilan ekologis” (ecological justice). Di situ lingkungan hidup lebih dilihat sebagai ekosistem menyeluruh di mana kehidupan manusia merupakan salah satu bagiannya. Manusia ternyata bukanlah puncak dan tujuan, atau memiliki martabat yang lebih mulia ketimbang lingkungan sekitarnya. Alih-alih dari itu, manusia merupakan salah satu bagian dari mata rantai dan tarian kehidupan yang menggerakkan semesta. Itu sebabnya jika salah satu bagian dari mata rantai kehidupan tersebut rusak, maka kehidupan manusia juga terancam.

Kesadaran ini punya implikasi penting. Karena ternyata hutan, sungai, binatang, perbukitan dll memiliki “hak asasi” yang setara, dan karena itu harus dihormati sama seperti hak asasi manusia! Mereka semua merupakan bagian utuh yang, bersama dengan manusia, membentuk jejaring kehidupan (web of life) seluruh semesta. Maka jika Anda menebang pohon sembarangan, atau mengotori sungai, maka sesungguhnya Anda sedang menciderai hak asasi pohon atau sungai yang, nantinya, akan menciderai diri Anda sendiri.

Atau seperti pepatah adat Mollo dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, Fatu, nasi, noel, afu amsan a’fatif neu monit mansian. Artinya; batu, hutan, air dan tanah bagai tubuh manusia. Pepatah itu ditegaskan lagi dalam pidato Aleta Baun yang menggetarkan World Culture Forum 2016 baru-baru ini di Bali. Ia mengajarkan lagi pada kita kebijaksanaan kuno, tentang kaitan sangat erat antara alam, tubuh, kedaulatan dan kemandirian. Melalui perjuangan Mama Aleta kita menjadi sadar, bahwa perjuangan bagi keadilan ekologis adalah sekaligus merupakan perjuangan demi kedaulatan dan kemandirian!

Terima kasih, Mama, yang sudah mengingatkan kami lagi.

 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home